Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 02 Agustus 2023

Nasr Hamid Abu Zayd

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Semisal angin puting beliung yang menghempas segala apa yang tadinya dianggap kokoh dan tegak berdiri. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tiba-tiba saja muncul, mengguncang sendi-sendi agama yang selama ini diyakini sebagai sebuah kebenaran. Dia mengatakan, al Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqofi) yang dihasilkan oleh realitas manusia yang menyejarah.

 

Saya sendiri terkejut saat kali pertama mengetahui pemikiran Nasr semacam itu. Nalar dogmatis saya meronta, memberontak, sulit menerima kesimpulan di luar kesepakatan umum umat Islam. Apa yang disebutnya al Qur’an sebagai produk budaya tidak pernah saya dapatkan rujukannya dari kitab-kitab turats masa lalu yang saya baca sejak di pesantren dulu.

 

Kalaupun saya pernah belajar asbâb al nuzûl, hanyalah untuk memperlihatkan konteks historis dari ayat tertentu yang turun kepada Nabi. Sementara kesimpulan Nasr seperti disebutkan di atas benar-benar meruntuhkan sistem keyakinan yang selama ini dianggap kokoh dan meyakinkan. Teks al Qur’an tidak lagi sepenuhnya dianggap illahiyah dan suci. Tapi dia mulai disejajarkan dengan teks sastra dan lainnya.

 

Apa pun komentar orang, faktanya, al Qur’an turun di negeri Arab, kepada orang Arab, dan menggunakan perangkat budaya Arab, dalam hal ini adalah bahasa Arab. Dan al Qur’an yang terkodifikasi saat ini tidaklah menggunakan bahasa Tuhan yang tanpa huruf, tanpa aksara, tanpa rangkaian kata-kata. Itu artinya, sejak semula al Qur’an diturunkan sudah terikat dengan unsur budaya tertentu dan model bahasa tertentu.

 

Tapi sebagai pengkaji al Qur’an yang serius dan mendalam, Nasr telah melahirkan ratusan karya otoritatif baik berupa buku ataupun paper yang ditulis untuk jurnal ilmiah. Sependek kajian saya, paling tidak terdapat tiga kitab yang bisa dibilang cukup mewakili, sekaligus menandai kepakarannya dalam bidang kajian al Qur’an.

 

Pertama, al Ittijah al ‘Aqli fî al Tafsîr. Kitab ini merupakan kajian tentang persoalan majaz (majâz) dan aplikasinya dalam hermeneutika al Qur’an menurut Mu’tazilah. Dia tidak hanya meninjau majas dari aspek kebahasaannya, tetapi secara jeli menempatkannya dalam kerangka historis pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Mu’tazilah sesuai dengan konteks sosiologis masyarakat Islam.

 

Kedua, Falsafah al Ta’wîl. Kitab ini merupakan kajian tentang penafsiran al Qur’an menurut Ibn ‘Arabi. Dalam kitab ini, Nasr berupaya menyajikan cara baca esoteris dengan perangkat takwil. Sampai sini, Nasr kemudian mengajukan konsep al ma’na (dalalah/makna) dan al maghzâ (signifikansi). Makna merupakan makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks, sedangkan signifikansi untuk menamai hubungan antara sebuah makna itu dan seseorang atau sebuah persepsi, situasi atau sesuatu yang dapat dibayangkan.

 

Dan ketiga, adalah Mafhûm al Nash. Kitab ini mengkaji ilmu-ilmu al Qur’an (‘ulûm al tafsîr) seperti konsep wahyu, asbâb al-nuzûl, makkî dan madanî, nâsikh dan mansûkh, dll. Namun kitab tersebut, kata Ali Harb, lebih tepat disebut kritik teks (Naqd al Nash), karena di dalamnya membahas tentang al Qur’an dan ilmu-ilmunya dengan analisis-kritis. Wahyu yang tadinya dianggap bebas dari intervensi ruang dan waktu, kini, di tangan Nasr konsep tersebut mulai digugat.

 

Nasr dikenal sebagai pemikir kontroversial. Gagasan-gagasannya sangat provokatif, banyak diganderungi generasi muda, dan secara bersamaan telah mengusik tata nilai yang dianggap mapan. Apa yang dianggap mapan sebetulnya, di mata Nasr, adalah nama lain dari tirani pemikiran yang mengerangkeng kebebasan berpikir. Hal yang sebetulnya tidak boleh terjadi di alam demokrasi.

 

Namun faktanya sebuah pemikiran selalu dikafirkan. Di tengah gejolak pemikiran di era pengkafiran (al tafkîr fî zaman al takfîr) seperti itu, Nasr konsisten menyuarakan kebebasan berpikir. Sebab dia sendiri adalah suara dari kebebasan pemikiran (hurriyah al-tafkîr) yang menentang segala jenis pelarangan (tahrîm) dan pengafiran (takfîr). Kebangkitan Islam tanpa kebebasan berpikir hanyalah angan-angan yang utopis, yang bila diibaratkan bagai pungguk merindukan bulan.

 

Nasr lahir di Quhafa, Provinsi Thantha, Mesir, pada 10 Juli 1943. Orangtuanya memberi nama Nasr dengan satu harapan selalu membawa kemenangan yang sempurna dalam setiap ‘pertaruangan’ yang dijalaninya. Ketika Mesir dilanda pergulatan pemikiran antara Islam konservatif dengan Islam sekuler, Nasr turun gelanggang sebagai kaum pencerah yang menengahi dua kutub yang saling bertikai tanpa henti.

 

Sengketa dalam pemikiran keislaman di Mesir kala itu betul-betul riuh dan meriah, menghidupi ruang-ruang sunyi yang luput dari bahasan ulama terdahulu. Dalam Naqd Khitâb al Dînî, Nasr memetakan tiga trend pemikiran yang saling berebut pengaruh ruang publik. Pertama adalah trend Islam konservatif yang diwakili institusi agama formal semisal al Azhar. Kedua, trend pemikir liberal-sekuler yang diwakili Kiri Islam Hassan Hanafi. Dan ketiga adalah trend kaum pencerah, di mana Nasr berada di dalamnya.

 

Pertarungan ketiga trend pemikiran itu kadang begitu keras, yang tidak jarang menuduh lawan-lawannya sebagai murtad dan kafir. Padahal lawan dalam pemikiran tidak memerlukan embel-embel semacam itu. Pemikiran tidak perlu divonis apalagi dibawa ke meja pengadilan. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran. Tapi apa yang terjadi pada diri Nasr. Pemikiranya dituduh telah menista agama. Dan karena itu dia divonis murtad dan kafir. Bahkan status perkawinannya dengan sang istri dibatalkan pengadilan. Begitulah nasib seorang intelektual yang dikucilkan oleh bangsanya sendiri.

 

Kritik kerasnya terhadap tradisi (turâts) dan keilmuan Islam begitu keras dan pedas hingga mengundang komentar Hassan Hanafi. Filosof yang dikenal dengan Kiri Islam ini mengibaratkan permainan yang sedang dimainkan Nasr seperti bertarung dengan membenturkan kepalanya kesana ke mari di tembok yang masih kuat dan kokoh. Nasr bahkan, bagi saya, seperti pedang bermata dua yang siap ‘membabat’ siapa saja yang berbeda dengan hasil ijtihad ilmiahnya.

 

Meski di awal Nasr memosisikan dirinya sebagai kaum pencerah yang menengahi dua kutub yang saling bertikai, tidak berarti dia membiarkan keduanya bebas tanpa kritik. Terhadap trend pertama, Nasr berulang kali mengkritik metodologi literalis-tekstual yang sering digunakan dalam menyikapi tradisi. Dan terhadap trend kedua, Nasr menuding problem yang dialami Kiri Islam adalah ketidak-mampuannya memproduksi analisis sosiologis dalam merekonstruksi keilmuan Islam. Betapapun Hassan Hanafi menjungkirbalikkan teologi ke bumi, tetap saja, menurut Nasr, masih saja ada ruang kosong dari analisis sosiologis-humanistis.

 

Perang pemikiran yang berlangsung di Mesir, kata Nasr, merupakan perpanjangan dari perang pemikiran yang telah memanas pada masa Thaha Husein. Itu semua bermula dalam menyikapi teks secara berbeda. Di satu sisi ada kelompok yang mengedepankan pembacaan dengan “mekanisme-mekanisme nalar yang ghaib di dalam khurafat dan mitos”, dan ia merupakan pembacaan yang dilakukan oleh para qudama dan islamis kontemporer. Dan di sisi yang berbeda sebuah pembacaan “yang menerapkan mekanisme-mekanisme nalar historis-humanis”, dan ia merupakan pembacaan yang dilakukan kaum sekularis dan kaum pencerah.

 

Kebangkitan Islam akan terpenuhi, hanya bilamana tradisi kritik melalui nalar kritis diaktifkan oleh setiap individu muslim. Sebaliknya, angan-angan tentang kejayaan Islam akan kembali di pangkuan umat hanyalah utopia belaka bila mana nalar dogmatis-ideologis mendominasi cara pandang umat. Mengenai hal ini, Nasr dalam al Nash, al Sulthan, al Haqiqah menulis dengan getir: “masa lampau betapa pun gemilang dan megah, namun tetaplah telah lewat dan berakhir”. Umat Islam kini tidak memiliki apa-apa selain ketundukan terhadap sebuah tradisi yang menihilkan nalar waras manusia.

 

Kebangkitan Islam mensyaratkan inovasi dalam berpikir. Tidak membebek secara buta pada sebuah tradisi, yang sebetulnya untuk ukuran zaman sekarang tidak lagi relevan. Atas dasar itulah, Nasr melakukan upaya-upaya inovatif dalam kajian yang digelutinya selama ini, yaitu ‘ulûm al qu’an. Hingga pada akhirnya dia membuat pernyataan yang cukup menggegerkan dunia pemikiran, “al Qur’an adalah produk budaya”. Dengan kesimpulan tersebut, tentu saja Nasr mengetahui konsikuensinya. Namun, sepertinya dia lebih setia pada kebenaran yang diperolehnya melalui upaya-upaya ilmiah.

 

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Nasr untuk semua umat Islam. Dalam al Nash, al Sulthan, al Haqiqah, Nasr memberi peringatan keras, bahwa wacana keagamaan (khithâb al dîn) memiliki pengaruh dalam struktur kesadaran seseorang. Dia menyusup tidak hanya pada kesadaran orang awam tapi juga pada lapisan cendikiawan, tokoh, dan ulama. Wallahu’alam bisshawab.

Tidak ada komentar: