Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 06 Juni 2023

Sejarah Kelam Umat Islam


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Salah satu sejarah kelam umat Islam yang sulit kita lupakan adalah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Dia dihabisi oleh umat Islam sendiri dengan cara yang amat sadis. Tubuhnya dicincang, lengannya dipatahkan, telinganya ditusuk dengan anak panah sampai tembus tenggorokan.

 

Tak sampai di situ, jenazah Utsman bin Affan dilempari, dilarang disolatkan, dikuburkan di makam orang Yahudi setelah sebelumnya dibiarkan selama 3 hari tanpa penanganan. Tragis dan memilukan memang. Tapi itulah fakta sejarah yang terjadi meski kita malu-malu mengakuinya sebagai sebuah kebenaran.

 

Pembunuhan Utsman bin Affan adalah tragedi berdarah yang menggetarkan hati dan menorehkan luka bercoreng karat. Para sejarawan menyebut peristiwa tragis itu sebagai malapetaka terbesar dalam sejarah umat Islam. Al Fitnah Al Kubro, huru hara pertama setelah wafatnya Baginda Nabi Muhammad Saw.

 

Taha Husein mengabadikan tragedi pembunuhan Utsman bin Affan dalam sebuah karya monumental berjudul Al Fitnah Al Kubro. Dalam buku tersebut, Taha Husein menggambarkan secara baik asal usul konflik politik dan detik-detik terbunuhnya sang khalifah. Ada ketidak-puasan di kalangan umat Islam atas kepemimpinan Utsman bin Affan yang dianggap lebih berpihak kepada keluarga ketimbang kepentingan umat Islam secara keseluruhan.

 

Kekacauan politik yang terjadi di masa Utsman bin Affan, kata Taha Husein, memantik konflik internal di tubuh umat Islam. Umat Islam terpecah, terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang saling bermusuhan, saling mencurigai, dan saling membunuh. Maka terciptalah perang saudara sesama umat Islam sendiri: Perang Jamal dan Perang Shiffin.

 

Perang Jamal yang terjadi antara Ali bin  Abi Thalib dengan Aisyah; dan Perang Shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Kedua perang ini sulit dipercaya. Bagaimana mungkin Ali yang merupakan sepupu dan menantu nabi harus mengangkat senjata melawan Aisyah, istri terkasih Baginda Nabi Muhammad Saw. Dan bagaimana mungkin sesama umat Islam saling membunuh dalam Perang Shiffin, padahal sebelumnya mereka bahu membahu berperang melawan musuh bersama.

 

Permusuhan abadi antara Dinasti Ummayah dan Dinasti Abbasiyah juga disebut oleh Farag Fouda sebagai akibat dari peristiwa berdarah Utsman bin Affan. Rangkaian tragedi berdarah yang melumuri sejarah umat Islam itu cukup menyakitkan kita semua. Namun demikian, peristiwa tersebut tetap harus didudukkan dalam perspektif sejarah yang murni, dan dijauhkan dari setiap bentuk interes apapun, termasuk keyakinan, bahkan agama sekalipun. Hal ini penting agar dalam mengungkapkan peristiwa tersebut dilakukan secara obyektif dan tidak bias.

 

Taha Husein menyimpulkan bahwa peristiwa Al-Fitnah Al-Kubra yang berakibat pada terbunuhnya Utsman bin Affan terjadi akibat akumulasi dari banyak persoalan yang tidak diselesaikan dengan baik oleh sang khalifah. Bahkan khlaifah sendiri cenderung membiarkan gerakan protes kaum muslim atas semua kebijakannya yang dianggap tidak adil dan berpihak pada keluarga.

 

Munculnya gelombang protes dari kalangan umat Islam saat itu, dikarenakan karakter kepemipinan Utsman bin Affan di paruh terakhir kepemimpinannya amat lemah, sehingga mudah disusupi pengaruh orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaannya, terutama yang berasal dari kerabat dekatnya. Sementara tindakan dan sepakterjang orang-orang pilihan Utsman bin Affan kadang arogan dan tidak mencerminkan sebagai pembantu khalifah yang setiap saat harus menjaga kehormatan khalifah.

 

Faktor lain yang juga mendorong terjadinya Al-Fitnah Al-Kubra ialah perubahan kondisi sosial politik yang tidak dapat dielakkan dan sistem pemerintahan yang berjalan tidak baik. Oleh karena itu Taha Husein menolak adanya aktor tunggal di balik peristiwa Al-Fitnah Al-Kubra karena dinilai tidak rasional. Banyak faktor melatari munculnya kekacauan politik di zaman Utsman bin Affan hingga berakhir dengan pembunuhan yang memilukan itu.

 

Memberi tafsir baru yang berbeda dengan sejarawan lain dalam melihat peristiwa sejarah, khususnya peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan, tidaklah mudah. Butuh keberanian dan nyali yang besar. Sebab buah ijtihad ilmiahnya yang berbeda dengan sebagian besar keyakinan umat Islam, bisa membahayakan keselamatan dirinya, yang sewaktu-waktu terjadi teror dan intimidasi. Ini pernah terjadi pada Farag Fouda (dalam karyanya Al Haqiqah Al Ghaibah) saat menyingkap sejarah Islam yang selama ini disembunyikan. Farag Fouda mendapat teror dan ancaman, hingga akhirnya dia harus meregang nyawa ditembuh timah panas oleh kelompok Islam garis keras.

 

Tidak seperti Taha Husein dalam Al Fitnah Al Kubra membatasi Utsman bin Affan sebagai tokoh yang diteliti. Farag Fouda dalam karya kontroversialnya itu (Al Haqiqah Al Ghaibah) mengurai benih-benih konflik di tubuh umat Islam, bahkan sudah terjadi di hari pertama Baginda Nabi Muhammad Saw meninggal dunia. Dalam karyanya itu, Farag Fouda membeberkan sejarah kelam umat Islam dengan begitu mengerikan. Darah dibalas dengan darah, nyawa dibalas dengan nyawa. Ratusan ribu nyawa umat Islam melayang, tak terhitung istri-istri menjadi janda dan anak-anak menjadi hidup tanpa ayah.

 

Sebagai intelektual dan sastrawan terkenal, Taha Husein menyampaikan fakta sejarah umat Islam dalam karyanya ini dengan sangat kritis saat menarasikan peristiwa tersebut. Dengan kritisismenya, Taha Husein tidak hanya ingin menghadirkan sejarah Al-Fitnah Al-Kubra yang rasional obyektif, tetapi juga ada pertimbangan pragmatisme sejarah, yaitu ingin menjawab persoalan yang dihadapi Mesir pada waktu itu dengan sejarah.

 

Dari sini dapat dilihat, bahwa Taha Husein menginginkan agar sejarah tidak hanya sebatas menceritakan sebuah peristiwa masa lalu, tetapi harus ditafsirkan untuk menjawab persoalan kekinian yang dihadapi manusia zamannya. Sejarah bukanlah sekedar menyebut nama-nama tokoh yang terlibat di dalamnnya, atau menghafal rentetan tanggal dan nama-nama peristiwa yang terlah terjadi. Sejarah ditulis untuk jadi bahan renungan dan pembelajaran bagi generasi berikutnya.

 

Kebenaran sejarah harus diungkap. Tidak boleh disembunyikan. Sebab sejarah umat Islam bukanlah sejarah yang sakral, yang terhindar dari intrik, perebutan kekuasaan dan darah. Sebagaimana sejarah peradaban yang lain, sejarah Islam pun penuh dengan luka, benturan, dan catatan kelam masa lalu. Menjadikan sejarah Islam sebagai hal yang sakral, yang tidak boleh disentuh, apalagi diungkap kebenarannya merupakan sikap yang keliru. 

 

Sejarah Islam bukanlah Islam itu sendiri. Islam dan sejarah umat Islam adalah dua hal yang berbeda. Yang disebut pertama bersifat sakral, sementara yang kedua profan penuh kekalutan. Sejarah umat Islam adalah sejarah yang melibatkan umat Islam secara keseluruhan. Hingga kini kebenaran sejarah umat Islam masih gelap karena disimpan di ruang senyap, tercecer, terserak di antara puing-puing dan reruntuhan masa silam. Perlu penulis sejarah yang berani membongkar gelap menjadi terang, yang tercecer kian terurai, memperlihatkan kebenarannya sendiri untuk dipahami dan dijadikan pelajaran oleh generasi Islam saat ini.

 

 

 

Tidak ada komentar: