Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 22 Juni 2023

Mohammed Arkoun

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Mohammed Arkoun lahir di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair, pada 1 Februari 1928. Meninggal di tahun 2010. Artinya dia wafat di usia 82 tahun. Dia mewariskan sejumlah karya dan pemikiran yang kontribusinya bagi kemajuan Islam sangat signifikan. Hampir seluruh karyanya ditulis dalam bahasa Prancis. Dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh komentatornya yang paling memahami pemikiran Arkoun, yakni Hasyim Soleh.

 

Jika Abed Al Jabiri dikenal karena Kritik Nalar Arab (Naqd Al ‘Aql Al ‘Arabi). Maka pemikir dari Aljazair ini lebih dikenal dengan Kritik Nalar Islam (Naqd Al ‘Aql Al Islami), yang saya kira, analisanya sedikit melampaui Al Jabiri. Dalam merumuskan peta pemikirannya, Arkoun berpusat pada kritik epistemologis atas keseluruhan bangun keilmuan Islam, dibanding Al Jabiri yang memusatkan perhatiannya pada Nalar Arab. Tulisan ini merupakan refleksi sederhana dari pemahaman terbatas saya mengenai Arkoun.

 

Yang dimaksud dengan Nalar Islam adalah nalar ortodoksi, epistemologi skolastik, atau pemikiran Islam klasik. Di mana nalar keagamaan yang terhimpun dalam keilmuan Islam seperti fikih, tafsir, kalam, filsafat, tasawuf, masih tetap seperti itu adanya, baik dari segi bentuk, muatan maupun metodologinya. Sejak dimulai disusun, ilmu-ilmu itu hingga kini, belum—untuk tidak mengatakan tidak—ada perubahan-perubahan yang cukup berarti.

 

Saya mengenal Arkoun lewat beberapa buku yang ditulisnya—meski saya tidak mengingkari ada kontribusi penulis lain yang saya baca mengenai tokoh yang satu ini. Di beberapa bukunya, Arkoun bicara tentang keniscayaan menelaah ulang pemikiran Islam (rethinking Islam) dan metode-metode yang digunakannya. Dia menawarkan pembacaan dekonstruksi, suatu istilah yang dia pinjam dari Derrida, terhadap seluruh khazanah pemikiran Islam (tradisi) yang selama ini telah dianggap mapan dan sakral.

 

Arkoun bukan anti-tradisi. Tapi bila tradisi membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi umat manusia, apapun bentuk dan wujudnya perlu dipertahankan. Namun bila sebaliknya. Maka perlu ditinjau ulang untuk dilakukan pembongkaran. Tradisi lama adalah produks orang-orang lama, yang belum tentu masih relevan dengan orang-orang sekarang. Arkoun percaya dengan rumus dunia, bahwa setiap orang adalah anak zamannya. Dan takdir zaman selalu berubah dari masa ke masa. Adapun perubahan itu sendiri adalah suatu keabadian.

 

Kritik dekonstruksi Arkoun terhadap tradisi (turats) Islam masa lalu bukan tanpa tantangan. Dia mendapat tembok penghalang yang cukup tebal. Meski tembok itu kadang, bahkan selalu bersembunyi di balik otoritas keagamaan, Arkoun tetap tak pernah lelah membongkarnya. Dia gunakan metode dekonstruksi untuk dapat menyusup, menerobos lapisan pemaknaan, betapapun makna itu hadir berlapis-lapis.

 

Tidak jarang Arkoun dituduh telah membuka jalan lebar bagi kritik identitas (terhadap Islam) dan memusnahkan makna yang jamak diyakini umat Islam hingga kini. Tentu saja makna yang dikehendaki Arkoun bukan makna tekstual. Tapi makna yang mengandung kebenaran yang terbebas dari ragam kepentingan (ideologi dan politik), dogma, dan keyakinan yang dimapankan oleh suatu atau otoritas tertentu.

 

Bagi Arkoun, kebenaran tidak akan mendapatkan jalannya yang lapang selama nalar agama mengerangkeng kebebasan berpikir. Segala penghalang dari hal ihwal yang dianggp otoritatif dan dogmatis harus disingkirkan. Semua yang dianggap mapan sebelumnya mesti dibongkar agar kini mendapat bentuknya yang lebih relevan. Al Islam Solihun li Kulli Zaman wa Makan (Islam relevan pada setiap zaman dan tempat). Relevansi Islam dengan setiap zaman yang dilalui bisa terwujud hanya bila pembongkaran terhadap tradisi dan keilmuan Islam dilakukan.

 

Pembongkaran bukan tanpa kehendak penyusunan ulang. Dekonstruksi tidak berarti destruksi. Yang pergi harus kembali. Yang hancur harus disusun ulang untuk mendapat bentuknya yang lebih bermakna. Begitulah perumpamaan dalam setiap tafsir keagamaan mesti menghadirkan makna baru. Dan makna baru itu, kata Ali Harb, pemikir asal Lebanon, diperoleh dari balik teks. Sebab teks itu sendiri, kata Arkoun, tidak lain sebatas mengeluakan bunyi dan suara semata.

 

Oleh karena teks hanyalah susunan kata dan rangkaian nada bunyi dan suara. Maka perlu penyingkapan makna. Dan upaya penyingkapan (makna) dari teks yang terbaca mensyaratkan kesadaran bahwa setiap teks lahir pada zaman dan periode tertentu. Di sinilah historisitas teks berlaku. Dia (teks) sudah dikenai budaya, adat, dan norma masyarakat yang berlaku kala itu. Teks sejak bersentuhan dengan ruang dan waktu maka dia menyejarah dalam budaya tertentu. Dan karena itu memperlakukan teks yang menyejarah harus melibatkan segala aspek yang terkait dengannya.

 

Rasanya Arkoun kesulitan memahami teks kitab suci yang benar-benar terbebas dari cengkeraman ruang dan waktu. Karena itu dia perlu mengkaji ulang konsep wahyu yang menurutnya terdiri dari tiga tingkat. Pertama, wahyu yang transenden, yaitu firman Allah yang statusnya tidak terbatas dan tidak diketahui manusia. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam pengujaran lisan dalam realitas sejarah. Ketiga, wahyu yang ditulis dalam sebuah mushaf, yang oleh Arkoun disebut sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons).

 

Wahyu yang transenden tidak memungkinkan seorang pun tahu dan mampu menjangkaunya, apalagi memahami maknanya secara sempurna. Wahyu dalam tahapa pertama ini tak terhingga dan melampaui batas kemampuan manusia. Dia (wahyu) melekat pada diri Tuhan: tidak tersusun kata, suara, dan nada apapun. Setiap upaya menjamahnya hanyalah kesia-siaan. Tuhanlah yang tahu, dan paling mengerti maksudnya. Tuhan yang transenden hanya bisa dipahami oleh Tuhan sendiri. Tak ada bahasa dan ibarat manusia yang bisa mewakili. Sebab bila ada itu telah mereduksi ketakterhinggan-Nya.

 

Adapun wahyu dalam bentuk pengujaran lisan. Dia (wahyu) mulai terhubung dengan realitas sejarah. Dalam hal ini adalah terhubung dengan Nabi Muhammad Saw dan masyarakat Quraish pada saat itu. Maka tidak heran bila Al Qur’an mulai terbentuk meski masih dalam wujud bunyi dan suara. Wahyu model kedua ini terjadi hanya sekali di mana Nabi Muhammad Saw adalah penerimanya. Nasr Hamid Abu Zaed mengatakan, wahyu model ini begitu kompleks dan rumit karena melibatkan pengalaman batin Nabi sendiri. Kadang Nabi menggigil dan terkesima saat menerima wahyu.

 

Sementara wahyu tingkat ketiga merujuk pada Mushaf Usmani yang sudah banyak tereduksi oleh prosedur-prosedur manusiawi. Dan inilah bentuk fisik wahyu yang sudah terkondisikan oleh kreasi manusia yang terbatas. Melalui wahyu yang ketiga inilah para penafsir bergumul, berdialog, dan berinteraksi secara intens untuk memperoleh makna yang dikehendaki. Tentu saja makna yang dikehendaki Tuhan. Meski makna itu tidak akan pernah diperoleh oleh penafsir manapun. Mereka hanya mendapatkan asumsi sementara berdasarkan penafsiran subjektifnya.

 

Dalam tradisi hermeneutis, terutama Gadamer, setiap pemahaman atas teks, tidak terkecuali pada Al Qur’an, unsur subjektivitas penafsir tidak mungkin disingkirkan. Teks suci yang berupa huruf dan bunyi akan terasa hidup dan bermakna bilamana dipahami, ditafsirkan, dan diajak dialog oleh penafsir. Memang problem menafsir adalah adanya jarak yang begitu lebar antara teks kitab suci dengan penafsirnya. Terdapat horizon yang berbeda dari keduanya. Karena itu menurut Gadamer perlu adanya peleburan horizon (fusi horizon).

 

Arkoun, saya kira, menyadari adanya horizon yang berbeda antara teks dan penafsirnya. Karena itu perlu ada kesepahaman dan peleburan agar makna baru bisa diproduksi. Berkenaan dengan makna teks yang diburu para penafsir. Seumpama kue lapis, makna teks pun berlapis-lapis. Teks dilahirkan pada zaman dan periode tertentu. Begitu juga tafsir kitab suci terikat ruang dan waktu. Dia tak pernah mapan, kecuali sengaja dimapankan oleh sebuah otoritas: bisa berupa kekuasaan atau lembaga keagamaan, bisa penguasa ataupun otoritas ulama. 

 

Arkoun membayangkan sebuah otoritas cenderung menghegemoni, menguasai, dan mendominasi. Karena itu harus diwaspadai. Kalau tidak, kata Muhammad Syahrur, bisa menimbulkan tirani (istibdad). Maka cara mengatasi persoalan teks yang hegemonik itu adalah dengan membongkar (dekonstruksi) demi membebaskan teks dari belenggu kata. Teks tidak pernah berdiri sendiri. Ada konteks yang melatari atau peristiwa yang mendahuluinya. Karena itu, Islam mestinya tidak dipahami sebagai sebuah dogma atau ajaran semata, tapi lebih dari itu sebagai ilmu dan peradaban.

 

Sebagai sebuah ilmu dan peradaban, Islam telah bergumul dengan ragam peradaban dunia yang berbeda. Dan karena pergumulan itulah Islam mendapati dirinya berhadapan dengan problem yang berbeda dalam setiap zaman yang dihadapinya. Setiap tahapan atau priode, kata Arkoun, dibentuk oleh “cara berpikir tertentu” atau Episteme, istilah yang dipinjam Arkoun dari filsuf Prancis, Paul-Michel Foucalt. Ini berarti setiap tahapan dalam sejarah Islam ada episteme (sistem) yang menata pikiran zamannya. Dan episteme itu sendiri dapat berganti dari satu zaman dengan zaman lain.

Tidak ada komentar: