Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 23 Agustus 2021

Hidup Menuju Kematian

Senin, Agustus 23, 2021 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kabar duka tentang kematian pada hari-hari belakangan selalu saja datang menghampiri. Ternyata dia (maut) begitu dekat dengan kita, bahkan semakin akrab. Hidup dan mati seperti tak perlu lagi ada jarak, batas, maupun antara.

Dalam sekejap waktu berlalu, bisa jadi, bukan lagi kabar duka yang didengar, melainkan maut  itu benar-benar hinggap merenggut nyawa kita. Hari ini. Detik ini. Esok. Entah kapan? Tak ada yang tahu. Tak ada yang dapat memahami. Tak ada kekuatan dan daya. Bahkan tak satu mantra pun mampu menjadi penawarnya.

و إذا المنية أنشبت أظفارها فكل تميمة لا تنفع

“Jika kematian telah mencengkeramkan kuku-kukunya, maka seluruh mantra tak berguna”

Dalam sejarah panjang masa lalu, kita telah mendengar kisah keangkuhan Fir’aun. Raja Mesir, yang konon katanya, semasa hidupnya, tidak pernah merasakan sakit walau sesaat. Dan karena itu, dia berani mendaulat dirinya sebagai Tuhan. Dia tantang Tuhan-nya Musa, Tuhan Pemilik nyawa manusia.

Kita juga pernah mendengar pengakuan Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang mewartakan tragedi kematian Tuhan. “Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet!” (Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya!). Kala itu, warta tentang kematian Tuhan disiarkan di ruang-ruang publik; pasar bahkan gereja.

Betapapun Fir’aun mengaku sebagai Tuhan dan Nietzsche mengklaim telah membunuhnya. Mereka tetap tidak bisa menolak kepastian akan mati. من عاش مات و من مات فات (Siapa yang hidup pasti mati. Dan yang mati pasti sirna), demikian penyair pra-Islam, Qush bin Sa'adah menyatakan dalam potongan syairnya. Fir'aun dan Nietzsche, kini, telah mati, sirna hilang ditelan bumi.

Kematian adalah hak dan mutlak. Ia berada dalam genggaman Tuhan, Dzat yang tidak tersentuh garis kematian. Kematian, hanya digariskan kepada mereka yang bernyawa. Masing-masing punya batas hidupnya (ajalnya). Di mana seseorang berada—entah bersembunyi di balik benteng yang tinggi dan kokoh atau menyusup hingga ke kedalaman tanah sekali pun—kematian akan tetap merenggut. Tak ada yang bisa menghindar darinya.

Kematian itu hak dan nyata. Bila selama ini, kabar kematian sayup-sayup terdengar begitu biasa di telinga. Namun dia akan begitu menyakitkan, saat ada keluarga, saudara, guru, sahabat, atau orang tercinta, “pulang” ke kelampauan asal spiritual dan “kampung halaman” (read. akhirat) nun jauh di sana. Semua keadaan akan tampak jauh lebih berbeda dari sebelumnya.

Jiwa yang biasa tegar menghadapi lapis ujian, terguncang hebat tak kuasa mengendalikan kenyataan; hati yang kuat dalam sikap dan pendirian, luluh dihampakan beban derita; pikiran yang “tajam” ke depan, kosong; seluruh persendian tubuh luruh seperti ada yang melorotnya. Isak tangis tumpah memecah keheningan. Kenyataan seolah begitu gelap.

Saya pun telah pernah mengalami kenyataan hidup seperti ini: berkali-kali. Cukup membekas dalam hati—mungkin boleh jadi masih menyisakan luka bercoreng karat hingga kini. Tak ada pegangan. Tak ada panduan. Sebab cahaya mata yang menerangi lorong jiwa, pergi jauh kepada Pemilik-nya. Innâlillâh wa innâ ilahi râaji’ûn. Yang berasal dari-Nya akan kembali kepada-Nya.

Setiap perjalanan pergi merindukan ruang kembali. Kembali pada titik paling suci (Tuhan). Tempat muasal manusia sebelum memulai perjalanan kembara di muka bumi ini. Dalam proses kelana itulah kadang kala kita dilumuri debu jalanan. Dan itu memaksa kita untuk segera “kembali” (tobat—tâba yatûbu), menyuci batin dari noda hidup yang melekat dalam diri.

Tetapi, kata Martin Heidegger, momen “kembali” paling eksistensial bagi seorang manusia adalah di saat maut itu tiba merenggut nyawa. Itulah pengalaman paling otentik bagi manusia, sebab lebih bersifat personal dan pribadi.

Dalam literatur agama, kematian adalah perjumpaan aku (hamba) dengan Tuhan, yang menakutkan hingga membuat kita gentar dan gemetar. Tuhan dirasakan sebagai sesuatu yang dahsyat, kudus, dan tak terhampiri. Inilah yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum, pengalaman yang menggetarkan saat kehadiran Tuhan.

Namun, di kalangan mistikus Islam (sufi), kematian adalah perjumpaan dengan Sang Kekasih (Tuhan). Gejolak rindu sang pecinta hanya bisa ditebus oleh temu melalui momen kematian. Inilah yang disebut Otto, sebagai mysterium fascinosum, pengalaman yang mengasyikan dan memesona hati.

Apa pun bentuk kematian yang akan kita terima, hidup hanyalah menuju kematian.

 

Sumber: dimuat di thecolumnist.id  

Senin, 09 Agustus 2021

Hijrah Sebagai Elan Vital “Gerak”

Senin, Agustus 09, 2021 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Hijrah memiliki ragam tafsir dan makna. Bagi Al-Raghib al-Isfahani kata h-j-r berarti “mufaraqah al-Insan ghairahu imma bi al-badan aw bi al-lisan aw bi al-qalb" (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan, atau hati). Sayyid Abu al-A’la Maududi dari Jama'at al-Islamiyah Pakistan dan Sayyid Qutb dari Ikhwan al-Muslimin Mesir mendefinisikan hijrah sebagai menarik diri dari “jahiliyyah baru”, yang mereka identifikasi sebagai kebijakan sekularisme, kapitalisme, sosialisme, dan modernisasi/westerinisasasi negara-negara Muslim.

Dalam perspektif Nurcholish Madjid (Cak Nur), hijrah tak lain sebagai “turning point” (titik balik) untuk membentuk masyarakat yang berperadaban. Dengan kata lain, hijrah dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitatif perjuangan bersama dalam menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya. Ciri khasnya adalah peradaban, civilization, dan kehidupan teratur (madaniyyah) yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan persaudaraan. Dengan visi inilah Yatsrib diganti dengan Madinah yang menyiratkan berlakunya nilai-nilai keadaban dan civilization.

Di atas itu semua, makna “subtantif” hijrah, acapkali disalahpahami hanya sebagai perjalanan spasial (fisikal) Nabi dan sahabat dari Mekkah menuju Madinah, hijrah juga dipahami sebagai ritual tahunan yang datang dan pergi tanpa pengaruh positif. Maka, menurut Prof. Ismail al-Faruqi, Hijrah jangan semata dipahami sesuai tanggal peristiwanya di kalender yang didasarkan sistem lunar atau Komariyah. Sejatinya hijrah bisa dilakukan kapan saja, tiap hari di sepanjang tahun. “Hijrah melampaui batas ruang dan waktu,” kata al-Faruqi, “karena hijrah semestinya menjadi bagian dari kesadaran kita”.

“Kesadaran” akan hijrah memiliki arti gerak, dinamika dan daya menuju kepada sebuah perubahan terus menerus, yang secara misionaris mengandung dimensi spasial, moral dan spiritual. Oleh karenanya, menurut Muhammad Iqbal, hijrah, pergerakan, dinamika, dan gerak terkait satu sama lain yang mestinya terpusat pada setiap individu “ego” manusia untuk membangun masyarakat yang maju dan beradab. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang merubah nasibnya sendiri”. Tuhan telah menyerahkan dunia kepada manusia untuk membentuknya menurut kehendaknya.

Ini berarti, bahwa hijrah dan perubahan itu menjadi niscaya, sekaligus menyimpa keniscayannya yang lain bahwa ia memiliki keabadian yang hanya bisa ditemukan jika manusia memiliki semangat untuk terus melakukan perubahan. Sesuatu akan menjadi abadi dan bertahan sepanjang manusia terus melakukan perubahan dalam praktik-praktik tafsirannya yang konstruktif dan inovatif. Sebaliknya, ketika manusia tak beranjak ke dalam perubahan demi mempercayai apa yang disebut dengan melestarikan atau pelestarian, maka sesungguhnya keabadian itu tak pernah ada, keabadian itu hanya akan ditemukan dalam gerak menuju perubahan.

Gerak dan perubahan yang tercermin dalam hijrah merupakan prinsip dasar agama Islam yang bisa dimanifestasikan dalam setiap aksi-aksi sosial dan individual. Maka, jargon-jargon gerak dan perubahan yang semisal dengan itu seperti, reformasi, revolusi, reinterpretasi dan revitalisasi spiritual atas sebuah kondisi yang memeprihatinkan adalah sesuatu yang niscaya.

Pararel dengan itu, hijrah yang dilakukan Nabi SAW dan sahabat adalah gerakan perubahan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan untuk pembebasan dan kemanusiaan untuk keadilan. Perubahan sosial untuk mencapai moralitas tinggi dan pemihakan kepada mereka yang lemah, yang marjinal, miskin, kaum hawa yang tersubordinasi, dan anak-anak yatim. Melalui hijrah, kita diingatkan bahwa religiusitas dalam Islam adalah paralel dengan pembebasan sosial menuju perubahan yang dilandasi atas gerak spasial, moral dan spiritual.

Dengan demikian, makna terdalam dari hijrah yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW yang sesungguhnya, yaitu perubahan dari masyarakat yang kurang beradab, menjadi lebih beradab dan berpegang teguh pada nilai-nilai universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Hijrah menghasilkan dengan apa yang kita sebut sebagai “Piagam Madinah” yang di dalamnya mengandung nilai-nilai universal bagi masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam, seperti koeksistensi damai antar agama, inklusivisme, pluralisme dan prinsip nondiskriminasi.

Ini adalah sebuah kesadaran religius-sosial untuk keadilan dan pemihakan kepada mereka yang lemah dan dilemahkan. Dan hijrah menuntut kesadaran keadilan tidak hanya berhenti pada kesadaran, tetapi beranjak pada gerakan perubahan yang riil dan dinamis. Melangkah, berpindah, memulai, dan menyusun kekuatan serta jaringan yang tertumpu pada prinsip gerak sebagai elan vital agam Islam yang abadi. Gerak adalah keabadian yang tercermin dalam hijrah.