Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 20 September 2022

Azyumardi Azra Pergi Sebagai Jiwa Yang Abadi

Selasa, September 20, 2022 2


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam suasana negeri masih diterpa awan mendung akibat kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang kian menambah beban hidup masyarakat, kita dikejutkan kabar duka atas berpulangnya cendikiwan ternama Prof. Azyumardi Azra, CBE, ke pangkuan Sang Pengatur Segala, Allah SWT. “Dan duka maha tuan bertahta”, demikian Chairil Anwar menggambarkan suasana lirih akibat ditinggal orang-orang terkasih.

Prof. Azyumardi Azra, CBE, menghembuskan nafas terakhir pada Minggu (18/9/2022), di Rumah Sakit (RS) Serdang di Selangor, Malaysia, saat hendak memenuhi undangan diskusi “Kosmopolitan Islam: Mengilham Kebangkitan, Meneroka Masa Depan”. Kini, Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya, setelah sebelumnya Buya Syafi’i Ma’arif lebih dulu memenuhi panggilan Illahi.

Di forum seminar ilmiah itu, Prof. Azyumardi Azra sebetulnya sudah menyiapkan makalah berjudul “Nusantara Untuk Kebangkitan Peradaban: Memperkuat Optimisme dan peran Umat Muslim Asia Tenggara”. Dalam makalahnya, mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, bicara tentang kemungkinan kebangkitan Peradaban Islam—dia biasa menyebutnya sebagai Kebangkitan Peradaban Islam Jilid II—yang muncul di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia.

Gagasan kebangkitan Peradaban Islam jilid II sering dia utarakan dalam banyak kesempatan. Saya sendiri sering mendengar hal itu, baik dalam forum seminar terbuka maupun saat kuliah di SPs UIN Jakarta. Menurutnya, kebangkitan Islam akan terjadi hanya bila: pertama, stabilitas politik dan sosial dalam bernegara berjalan dengan aman dan damai, kedua, terciptanya kemandirian dan kemajuan ekonomi, dan ketiga, terinternalisasinya wawasan pengetahuan keislaman yang luas dan rahmatanlilalamin.

Tesis kebangkitan Peradaban Islam jilid II yang dimungkinkan dimulai di wilayah Nusantara, di mana Indonesia sebagai kawasan paling potensial, itu dia kemukakan setelah melihat negara-negara Timur Tengah hingga kini masih disibukan dengan perang dan konflik internal yang tak kunjung usai. Negara-negara Islam kontemporer terkotak-kotak menjadi kepingan persoalan kekinian yang membuat ‘macet’ keran persatuan dan kesatuan umat Islam. Negara-negara Islam masih dicabik perpecahan dan permusuhan. Semua itu makin membuat buram wajah Islam di mata dunia.

Apa yang dipikirkan Prof. Azyumardi Azra di atas cukup membuktikan serta memperkuat kesimpulan Bassam Tibi yang menyebut negara-negara Islam masih dalam kultur pra-industri. Di mana mental sektarianisme dan konservatisme beragama masih menyusup kuat kedalam laku hidup dan alam pikir masyarakat muslim. Dalam bukunya berjudul The Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in the Scientific-Technological Age, Tibi memastikan belum ada negara Islam yang masuk kedalam kultur industri yang ditandai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hingga saat ini masyarakat Islam masih menjadi konsumen negara-negara maju—bila tidak ingin disebut ‘sapi perah’ orang kulit putih.

Sementara itu, kata Prof. Azyumardi Azra, Barat kian mengalami ‘kemerosotan peradaban’ (the decline of Western civilization), dan kian gugup menyaksikan kebangkitan ekonomi China dalam beberapa tahun belakangan. China memang sedang menjadi kekuatan baru dan penantang kuat dominasi peradaban Barat yang patut diperhitungkan. Saat ini, kebangkitan China terjadi tidak hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga sains dan teknologi. Jepang dan India yang semula sebagai kekuatan poros utama Asia berhasil disalip China. Fakta ini membuat Barat, terutama Amerika Serikat (AS), ketar-ketir, dan mulai melakukan tekanan demi tekanan ke negeri yang berjuluk tirai bambu itu.

Wacana tentang ‘kebangkrutan’ peradaban Barat sebetulnya sudah diramalkan oleh banyak ahli dan pengamat internasional. Salah satunya, seperti dikutip Prof. Azyumardi Azra, adalah Fareed Zakaria. Dalam buku yang berjudul The Post American World (2008) Fareed Zakaria meramalkan kejayaan AS sudah habis bersamaan dengan segala kebijakannya yang kontroversial dan merugikan masyarakat dunia.

Kebijakan standar ganda yang sering AS praktekan membawa petaka bagi masa depan bangsanya sendiri. Pada satu kesempaan AS mengkampanyekan demokrasi pada negara-negara muslim, namun pada sisi yang lain kebijakan luar negerinya tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. AS sering mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain dan tidak jarang menciptakan peta konflik hingga menimbulkan agresi militer. Pengalaman pahit yang kini dialami masyarakat Irak adalah buah dari kesewenang-wenangan AS terhadap negara lain.

Dalam situasi seperti diuraikan di atas, Indonesia dan Malaysia, yang mewakili ‘suara dari Asia Tenggara’, mesti segera mengambil bagian dalam percaturan global untuk kemajuan peradaban Islam. Prof. Azyumardi Azra optimistis hanya Indonesia dan Malaysia yang bisa mengambil peran kebangkitan Islam. Optimisme tentang kebangkitan Islam di Nusantara, tentu saja, kata Prof. Azyumardi Azra, mensyaratkan umat Islam membebaskan diri dari psikologi konspiratif dan enclosed mind.

Pada saat yang sama umat Islam harus lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisme tentang kejayaan peradaban Muslim di masa silam. Masa silam hanyalah milik orang terdahulu yang belum tentu sesuai dengan masa kini. Muslim masa kini punya problem kultur yang berbeda dengan para pendahulunya. Karena itu, muslim masa kini harus lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya-upaya kreatif dan produktif daripada terus dikuasai sikap defensif, apologetik, dan reaksioner yang sering eksesif. Itu semua, kata Prof. Azyumardi Azra, dilakukan agar masyarakat Islam bisa bersaing dengan bangsa lain.

******

Di mata saya, Prof. Azyumardi Azra adalah guru sejati. Pengabdiannya pada ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan begitu tulus. Jalan hidup seperti itulah yang dia pilih hingga akhir hayatnya. Sebagai guru, dia telah memenuhi tugasnya, menerangi kegelapan alam pikiran manusia. Dalam bahasa Sansakerta, guru berasal dari gu berarti tidak berpengatahuan atau gelap, sementara ru bermakna terang. Maka guru adalah orang yang membawa kegelapan kepada jalan terang penuh pengetahuan dan pencerahan. Sebagai murid/mahasiswanya, saya telah banyak mereguk ilmu pengetahuan darinya—bila perlu sampai suara kedunguan dalam diri ini sudah tidak lagi terdengar.

Dia adalah guru bangsa yang selama hidupnya konsisten menjaga moralitas negeri agar berjalan pada nilai-nilai luhur keadaban, seraya tetap berpijak pada jati diri bangsa yang berpedoman pada Pancasila. Suara pembelaannya pada hak-hak minoritas terdengar begitu nyaring hingga tak satu syetan pun mampu merintangi jalannya. Dalam konteks nasional pengaruhnya begitu nyata: dia perkuat demokrasi subtansial dengan cara memberi ruang kebebasan bagi setiap warga negara untuk berpendapat dan berkarya. Sebab kebebasan adalah intisari dari cara bagaimana manusia modern hidup berbangsa, beragama, dan bernegara. Dan atas dasar itulah dia diberi jabatan sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia periode 2022-2025 untuk merawat kebebasan dalam mewartakan berita, bersuara, dan menyampaikan pendapat.

Dalam lingkup wawasan keislaman: dia gencar memberi pemahaman yang memadai tentang moderasi beragama (Islam Washatiyah), yang merupakan ciri dari Islam Nusantara (NU) dan Islam Berkemajuan (Muhammadiyah). Kedua ormas keagamaan ini dia sebut sebagai dua sayap Islam Indonesia yang satu sama lain saling mendukung dan melengkapi untuk masa depan masyarak Islam dan keutuhan bangsa. Sementara dalam konteks global: gagasan moderasi beragama yang menjadi ciri khas Islam Indonesia dia perkenalkan ke level dunia. Berbagai diskusi dan dialog internasional mengenai hubungan kerukunan beragama dan relasi agama-agama dia ikuti. Dia berharap terciptanya tata dunia baru yang rukun penuh kedamaian. 

Atas dedikasi dan pengabdiannya pada ilmu pengetahuan dan konsistensinya mempromosikan moderasi beragama dan dialog kerukunan beragama dalam kontek nasional maupun global, Prof. Azyumardi Azra mendapat gelar kehormatan Commander of the Order of British Empire (CBE) dari Ratu Alizabeth II. Gelar kehormatan tersebut diberikan kepada warga sipil dan angkatan bersenjata yang telah berjasa, baik secara nasional maupun internasional. Dengan gelar kehormatan tersebut maka dengan sendirinya mengantarkan Prof. Azyumardi Azra pada level internasional sebagai cendikiawan yang patut diperhitungkan.

Prof. Azyumardi Azra juga dikenal pakar dalam bidang Sejarah Islam. Hingga gelar akademiknya dia raih sebagai Guru Besar Sejarah Islam di UIN Jakarta. Karya tulisnya mengenai “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII” membuka banyak diskusi hangat di kalangan pakar dan akademisi. Keberhasilan Prof. Azyumardi Azra melacak jaringan dan geneologi keilmuan ulama Timur Tengah dengan Nusantara pada akhirnya mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah pujian dari Prof. MC Ricklefs yang mengatakan hal itu kepada Fakhry Ali: “This is a very good dissertation”. Penelitian disertasi Prof. Azyumardi Azra ini menepis asumsi yang umumnya dinyatakan akademisi Barat bahwa Islam Indonesia adalah Islam pinggiran, tidak otentik.

Jaringan keilmuan antara ulama Timur Tengah dengan Nusantara cukup memberi penjelasan, seperti dikatakan Prof. Azyunardi Azra, bahwa Islam Indonesia juga berasal dari sumber yang sama, meski ekspresinya berbeda. Perbedaan ekspresi keagamaan justru menunjukan citra Islam yang amat lentur dan akomodatif terhadap budaya. Salah satu kritik Prof. Azyumardi Azra terhadap para sejarawan dunia adalah absennya pembahasan mengenai sejarah kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Selama ini, penulisan tentang materi Sejarah Peradaban Islam hanya membahas periode Nabi Muhammad, Khulafa Al Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah, Kerajaan Mughal, dan Turki Utsmani. Sementara ulasan mengenai kerajaan dan kesultanan di Nusantara luput dari pembahasan.

*********

Prof. Azyumardi Azra adalah cendikiawan mandiri. Dia konsisten menjaga jarak dari bau harum kekuasaan. Dia lebih setia kepada kebenaran pengetahuan yang diyakininya ketimbang ‘bisikan’ elite negara yang kerap menyalahi hati nurani rakyat. Perlawananya pada korupsi dan diskriminasi, serta pembelaanya pada kaum lemah, mencirikan pribadi yang peduli pada nilai-nilai kemanusiaan. Prof. Azyumardi Azra adalah sosok yang mempuni dalam banyak bidang. Rasanya sulit mencari penggantinya dalam waktu dekat ini. Kepergiannya untuk selama-lamanya tentu meninggalkan duka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga, bangsa, tapi juga masyarakat dunia.

Ujung dari perjalanan manusia di dunia adalah kematian. Sebab hidup, kata Martin Heidegger, adalah menuju kematian. Ibarat pengembara merindukan jalan pulang. Begitu juga setiap manusia merindukan ruang kembali pada Yang Maha Suci. Manusia harus menyempurnakan perjalanan panjangnya di dunia dengan kembali pada asal primordialnya, yaitu kampung spiritual. 

Dalam literatur agama, kematian adalah perjumpaan aku (hamba) dengan Tuhan, yang menakutkan hingga membuat kita gentar dan gemetar. Tuhan dirasakan sebagai sesuatu yang dahsyat, kudus, dan tak terhampiri. Inilah yang disebut oleh Rudolf Otto sebagai mysterium tremendum, pengalaman yang menggetarkan saat kehadiran Tuhan. Namun, di kalangan mistikus Islam (sufi), kematian adalah perjumpaan dengan Sang Kekasih (Tuhan). Gejolak rindu sang pecinta hanya bisa ditebus oleh temu melalui momen kematian. Inilah yang disebut Otto, sebagai mysterium fascinosum, pengalaman yang mengasyikan dan memesona hati.

Perihal kematian, mistikus besar Jalaluddin Rumi pernah berdendang seperti ini:

Ketika melihat jenazahku diusung,

Janganlah menangis karena kepergianku

Aku bukan pergi

Aku telah sampai pada Cinta Yang Abadi

 

Prof. Azyumardi Azra tidak pergi. Dia masih ada bersama kita. Lewat karya dan tulisannya kita masih akan tetap bisa membersamainya. Takdir tubuh memang hancur, lebur bersama amuk waktu. Tapi karya cipta beruba buku akan tetap abadi meski melewati ribuan waktu. Prof. Azyumardi Azra, engkau pergi sebagai jiwa yang abadi. Selamat jalan, prof!