Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 28 Februari 2022

Isra Mikraj dalam Perjalanan Imajinal Mohamad Iqbal

Senin, Februari 28, 2022 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Isra Mikraj dalam perjalanan imajinal Mohamad Iqbal terlukis dengan begitu indah dalam magnus opus-nya, Javid Namah (Kitab Keabadian). Buku ini sebetulnya diperuntukan untuk putra terkasihnya, Javid. Ditulis dalam bahasa Persia dengan gaya bahasa sastra tingkat tinggi. Memang tidak mudah memahaminya. Apalagi dibaca oleh mereka yang belum akrab dengan pemikiran-pemikiran filosofis penulisnya.

Saya memiliki buku ini sejak masih nyantri di Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek, Tangerang. Saat itu, sulit bagi saya memahami  isinya. Semua kalimat yang saya baca selalu menyisakan kabut tebal yang menghalangi pemahaman saya. Ilmu Al-Balâghoh (terdiri dari: Bayân, Ma’âni, dan Badî’) yang saya pelajari dengan cara seksama, tidak banyak membantu menyingkap maksud si penulis. Tapi saya tetap membacanya oleh karena keindahan bahasanya.

Entah mengapa buku ini begitu setia menemani, bahkan hingga saya masuk perguruan tinggi di Ciputat, UIN Syarif Hidayatullah (IAIN kala itu). Tetapi, kabut tebal itu masih saja belum terurai. Dia masih menghalangi pemahaman saya meski sudah dibantu ilmu Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî yang saya pelajari di Fakultas Dirosaat Islamiyah. Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî adalah ilmu kuno sastra Arab untuk membuat syair atau sajak. Ilmu ini kurang begitu diminati generasi muda oleh karena aturan-aturannya yang kaku dan baku.

Konon, para penyair pra-Islam, seperti Umru Al-Qais (bukan dalam kisah Laila dan Majnun), Labîd ibn Rabî’ah, Tarafah ibn Al ‘Abd, Harîts ibn Hillizah, Amr ibn Kultsûm, Zuhair ibn Abî Salmâ, dan ‘Antarah ibn Syadâd sangat menguasai Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî. Mereka dijuluki Sab’u al-Mu’allaqât (tujuh penyair yang karyanya ditempel di dinding Ka’bah) oleh sebab kemahirannya dalam mengubah sajak. Saya pribadi cukup bersyukur pernah dikenalkan dengan ketujuh penyair besar pra-Islam itu oleh Ustadz Umar Syarifudin pada mata pelajaran Fî al-Syi’r al-Jâhili saat masih di Subulussalam.

Seiring berjalannya waktu, kabut tebal itu mulai terurai. Sedikit demi sedikit. Terutama sejak saya diperkenalkan pemikiran Mohamd Iqbal oleh Miming Ismail, Boy Ahmad Bahromi, Ahmad Rifki, Hudori Husna dan Edi Benkit di forum kajian Komunitas Pintu Terbalik (Koplik), Ciputat. Perlahan-lahan saya membaca karya-karya Iqbal: Metafisika Persia (disertasi Iqbal yang dibukukan), Asrar-i- Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Payam-i Masyriq (Pesan untuk Timur), Sisi Manusiawi Iqbal (Catatan Harian Iqbal), Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam), dan buku yang kita bicarakan ini, Javid Namah.

Saya selalu yakin dengan evolusi pemahaman. Apapun pengetahuan yang semula tidak kita pahami, suatu ketika nanti akan kita pahami. Asalkan kita mau membaca. Dan terus membaca. Plato pernah mengatakan, semua bentuk pengetahuan di dunia pernah kita miliki saat jiwa masih di alam idea, alam pra-eksistensi. Namun ketika jiwa terlahir, dan masuk ke dalam tubuh, maka seluruh pengetahuan itu menghilang. Jiwa jadi terpenjara di ruang gelap materi (tubuh). Karena itu, kata Plato, perlu ada “pengenalan” (membaca) sebagai upaya mengingat kembali (anamnesis). Membaca adalah cara kita menghadirkan kembali pengetahuan yang sebelumnya kita pahami.

Di sini saya perlu berterimakasih kepada Pak Ma’mun, distributor buku Koperasi Subulussalam yang rajin menjajakan buku-buku berkualitas. Dialah yang memilihkan buku ini (Javid Namah) untuk saya miliki. Tidak sekali saya mengerutkan dahi setiap membuka lembar demi lembar isinya. Namun karena rekomendasi Pak Ma’mun, saya tetap membelinya. Apalagi dia memberi prolog menarik mengenai guru spiritual Mohamad Iqbal, Jalaludin Rumi. Nama yang sebetulnya saat itu sudah saya kenal melalui puisi-puisi cintanya.

Masa-masa pengabdian adalah masa di mana saya mulai menyisihkan honor bulanan untuk membeli buku-buku bacaan di koperasi pesantren. Selain Javid Namah, saya membeli Manhaj Fikih Yusuf Al Qardhawi, Etos Kerja Pribadi Muslim, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, dan beberapa yang lainnya. Tentu saja, buku-buku itu saya beli secara bertahap dengan satu konsekuensi, merelakan uang jajan bulanan untuk berburu buku.

******

­­­­Javid Namah menceritakan perjalanan spiritual-intelektual Mohamad Iqbal yang dia lakukan secara imajinal. Kisah rekaan Mohamad Iqbal ini terispirasi dari pengalaman isra mikraj Nabi Muhammad yang kini sedang kita peringati. Diawali Prolog di Bumi, Iqbal memulai pengalaman imajinalnya melewati petala langit. Di setiap lapisan dia bertemu dengan sejumlah tokoh penting dalam sejarah atau beberapa tokoh rekaanya sendiri. Sebagai karya sastra, buku ini menghadirkan dialog imajiner yang menarik antara dirinya dengan tokoh-tokoh yang ditemuinya. Dialog yang terjadi di luar ruang dan waktu yang menyangkut banyak persoalan filosofis yang musykil. [baca juga: MENDIALOGKAN ISRA DAN MIKRAJ]

Dalam pengembaraan ruhani itu, Iqbal yang menyebut dirinya Zinda-Rud (sungai hidup) ditemani Jalaludin Rumi sebagai pemandu jalan (guru spiritual). “Bagai si buta, aku berjalan dengan kedua tangan di atas pundak Rumi dan masuk ke dalam gua yang begitu gelap...”, kata Iqbal. Di langit pertama, Iqbal bertemu Budha, Zarasustra, Isa, dan baginda kita, Nabi Muhammad. Keempatnya membabarkan kembali pengajaran-pengajaran mulia yang pernah mereka sampaikan untuk bekal manusia berdamping hidup secara rukun dan teratur di antara sesama umat beragama. Kehidupan akan damai bilamana umat beragama saling menghargai, tidak membenci dan memaki.

Di langit kedua, Iqbal bertemu Jamaluddin Al Afghani dan Said Halim Pasya. Ketiganya mendiskusikan prinsip dunia yang dicitakan Al Qur’an, fungsi manusia sebagai khalifah, dan kerajaan Tuhan kelak. Al Afghani menitipkan pesan kepada rakyat Rusia melalui Iqbal. Di matanya, komunisme ala Rusia memperlihatkan banyak persamaan—di samping banyak perbedaan—dengan Islam, yaitu melawan kapitalisme, penghisapan manusia, dan bercita-cita membangun tata dunia baru. Apa yang dipesankan Al Afghani merupakan perpanjangan tangan dari perjuangan Nabi Muhammad dulu saat melawan elite Quraisy yang kapitalistik, pemuja riba dan sistem rente.

Setelah langit kedua, ditemani Rumi, Iqbal terus menaiki lapisan-lapisan langit berikutnya hingga Hadirat Ilahi. Di alam tanpa warna tanpa suara itulah Iqbal mengalami pengalaman yang tidak bisa diucapkan melalui kata-kata. Tak ada kata-kata dan ibarat yang bisa mewakili puncak pengalaman itu. Dia berkata: “Mendadak kulihat alam yang melingkupiku, langit yang menaungiku dan bumi tempatku berpijak, tenggelam dalam kilai cahaya merah, hingga bagai pijar membara. Kilau yang dahsyat menyambar jiwaku, sampai aku pingsan bagai Musa”.

Perjalanan trans-kosmik Iqbal memang luar biasa. Dalam sastra dunia, tidak banyak karya yang bisa dibandingkan dengan magnun opus Iqbal ini, selain Dante Alighieri dalam La Divina Comedia (The Divine Comedy), yang juga diilhami peristiwa isra mikraj. Sebagai karya fiksi, Javid Namah bukan sekadar pengembaraan ide atau imajinasi yang liar-bebas tanpa berjangkar pada realitas. Lewat karya fiksi ini, Iqbal justru menemukan ruang yang luas untuk mengeksplorasi berbagai ide besar, yang selama ini menjadi isu-isu penting di ranah spiritualitas dan intelektual manusia sepanjang sejarah.

Begitulah kehebatan karya sastra, bisa mempertemukan tokoh riil dan rekaan dalan satu plot cerita. Apa yang dilakukan Iqbal dalam Javid Namah, mengingatkan saya pada karya S. Tidjab, pencipta tokoh legenda Arya Kamandanu dalam Tutur Tinular. Dia (S. Tidjab) mampu mempertemukan tokoh-tokoh rekaan seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Sakawuni, Dewi Sambi, Tong Bajil, Ayu Wandira, dan Panji, dengan tokoh riil seperti Raden Wijaya, Lembu Sora, Rangga Lawe, Kebo Anabrang, Banya Kapuk, Gajah Madha, dan Gajah Paghon. Bahkan dalam beberapa kesempatan Arya Kamandanu sempat terlibat pertempuran sengit dengan Rangga Lawe dan Lembu Sora, begitu juga dengan Sakawuni yang mampu mengalahkan Banya Kapuk. Hal yang sebtulnya sama sekali tidak pernah terjadi dalam sejarah masa lalu. 

Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi karya ini. Ditulis oleh seorang penyair-filosof, yang di Indonesia sendiri gagasan-gagasan pembaruannya banyak diganderungi para pemikir ternama seperti, Cak Nur (Nurcholish Madjid), Buya Syafii Ma’arif, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan para mahasiswa. Gagasannya mengenai khudi (ego/diri) mendasari seluruh bangunan filosofis dan puisi-puisinya. Khudi dalam pandangan Iqbal itu dinamis dan terus bergerak menuju Ego Yang Mutlak (Tuhan). Namun di sini saya tidak bermaksud mengulas filsafat khudi Iqbal secara panjang dan mendalam. Mungkin di lain tulisan.

******

Dalam tradisi tasawuf, isra mikraj adalah momen pertemuan dua kekasih yang saling ingin melepas rindu. Sebab rindu, kata Rumi, hanya bisa ditebus oleh temu. Allah telah memperjalankan hamba-Nya, Nabi Muhammad, untuk sampai kepada-Nya. Ini adalah undangan spesial yang tidak banyak manusia bisa mengalaminya. Ibn Sînâ dalam Al Isyârât wa Al Tanbihât mengatakan: “Singgasana Ilahi tinggi dan tak bertepi, sehingga tidak dapat diraih oleh para pencari, dan tak dapat dipahami sesuatu darinya, kecuali sebagian kecil saja dari mansuia”. Lantas bagaimana dengan manusia biasa seperti kita? Apakah kita bisa mengalami hal semacam itu?

Kita pun akan bisa mengalami pengembaraan ruhani (mikraj) selama mampu menghilangkan segala kemelekatan dalam diri: nafsu (ego), materi, pangkat, jabatan, kesombongan, iri, dengki, dan sifat tercela lain. Mengosongkan diri (takhallî) dari seluruh atribut dunia dan kemelekatan materi, lalu kemudian mengisinya (tahallî) dengan sifat dan asma Illahi. Hingga pada akhirnya menjadi manusia paripurna (insân al-kâmil), manusia sempurna yang mampu menerima manifestasi (tajjalî) Tuhan. Nabi pun pernah bicara tentang kemungkinan pengalaman mikraj yang juga bisa dialami umatnya. Dia bersabd: “Al Sholâtu Mi’râj al Mu’minîn”, solat adalah tangga spiritual kaum mu’min. Solat adalah momen penghadapan seorang hamba kepada Sang Pencipta secara personal. 

Tentu saja bukan sekedar solat, yang sebatas menunaikan urutan gerakan dari iftitah sampai salam.  Tapi solat yang benar-benar membebaskan hati dan pikiran dari segala kemelekatan materi dan bayangan. Selama di dalam hati yang solat masih ada “sesuatu” selain Tuhan belum bisa dikatan penghadapan yang hakiki (pengesaan). “Lâ Ilâha Ill Al Allâh”, tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak boleh ada yang lain di hati dan pikiran yang solat selain Allah. Memang tidak mudah mencapai tahapan seperti itu. Hanya segelintir orang saja yang bisa. Hati dan pikiran kita masih terikat materi dan bayangan dunia. Tidak jarang kita masih mendengar suara-suara (bakso…bakso atau bayangan bajigur yang belum habis diseruput) sementara kita sedang melaksanakan solat.

Solat adalah momen komunikasi intim seorang hamba dengan Tuhannya. Sebisa mungkin keakraban itu tidak diganggu dengan kehadiran yang lain. Ibarat pecinta yang tak menghendaki orang ketiga. Demikian halnya kita saat “berasyik ma’syuq” dengan Tuhan Sang Pengatur Segala. Itulah sebabnya Rabi’ah ‘Adawiyyah (sufi Wanita yang saya kagumi) sedikitpun tidak memberi ruang pada selain Tuhan di hatinya. Hatinya dipenuhi cinta Illahi. Sehingga untuk membeci syetan pun dia tidak bisa. Hatinya selalu solat—yang dalam istilah Syaikh Siti Jenar, disebut dengan “Solat Daim”—tersambung, atau wushûl kepada Allah. Begitulah pengalaman mikraj para sufi melalui solat yang ditunaikannya.

Pengalaman mikraj Nabi, kata Iqbal, melampaui capaian yang dialami para sufi. Dia tidak menghabiskan waktu berasyik ma’syuq dalam keintimannya dengan Tuhan. Dia langsung turun kembali ke bumi untuk menyelesaikan misi profetiknya, yaitu penyapaan pada umat manusia. Agama untuk kebaikan manusia. Karena itu ajaran-ajaranya harus memenuhi fitrah manusia dan kemanusiaannya. Sebagai Nabi, dia tahu betul apa yang harus diperbuat; bukan sekedar penghadapan (melalui ritual) tapi juga penyapaan (bakti sosial).

Sebagai penutup, semoga kita semua menjadi golongan yang mampu mengambil hikmah peristiwa isra mikraj Nabi Muhammad dan merefleksikannya dalam kehidupan. Kita juga berharap bisa meneladani dakwahnya yang santun, ramah, tanpa caci maki. Nabi Muhammad adalah guru tentang kata-kata, yang tidak menusuk dan berteriak (memaki). Selamat memperingati Isra Mikraj Nabi Muhammad 1443 H.

 

Selasa, 22 Februari 2022

Kalam Suci dan Tafsir yang Tak Pernah Selesai

Selasa, Februari 22, 2022 0

 

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam suatu masa yang lalu, saat klaim kebenaran (truth claim) diperebutkan oleh banyak kelompok mazhab dan teologi, mistikus Islam Jalaluddin Rumi, mengibaratkan pencari kebenaran seperti anak tangga di bawah kaki langit. Semakin dia merangkak menaiki anak tangga, semakin menjauh langit itu untuk diraih. Dia harus melewati petala langit yang tiada tepi. Begitu pula kiranya perihal kebenaran dari tafsir kitab suci: tak kunjung usai dan tak akan pernah selesai.

Dari waktu ke waktu, hingga ribuan tahun sejak kalam suci itu diwahyukan, tak pernah ada produks tafsir yang abadi. Setiap tafsir yang diproduksi membuka kemungkinan pemahaman baru atas tafsir  lain.لا رأي معصوم و لا اجتهاد مقدس و لا تفسير نهائي .  Tidak ada pendapat yang terhindar dari kesalahan. Tidak ada ijtihad yang sakral. Sebagaimana tidak pernah ada tafsir yang final. Begitulah Said Al Asymawi, cendikiawan Mesir yang pernah menjadi Hakim Agung itu menuturkan dalam “Jauhar al-Islâm”.

Al-Asymawi tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’an tidak mungkin dapat difahami. Tidak. Sama sekali tidak. Yang dia bicarakan adalah soal kemustahilan tafsir yang final, yang maknanya melampaui segala zaman. Apa pun bentuk tafsir yang diproduksi selalu saja dibatasi kemampuan penafsirnya, dan juga konteks zamannya. Karena itu, tafsir yang datang belakangan tak perlu ditolak, dan tak perlu juga harus kehilangan tempat. Ruang dan waktu selalu hadir membatasi kesanggupan daya kreatif si penafsir—horizon, dalam istilah Gadamer.

*****

Kendati tidak ada tafsir yang final, namun upaya menafsir harus terus dilakukan agar pemahaman terhadap kitab suci tidak ketinggalan zaman. “Adat zaman berubah,” kata Muhammad Iqbal. Dan perubahan itu boleh jadi memaksa merubah pemahaman terhadap tafsir lama yang sebelumnya dianggap benar dan relevan pada masanya. Seperti halnya dalam ranah hukum, Imam Syafi’i telah pernah memikirkan ulang (merethinking) qaul qadîm-nya (pendapat lama) ketika di Irak untuk diganti dengan qaul jadîd (pendapat baru) ketika di Mesir. Begitulah idealnya watak dari penafsiran kitab suci juga mesti mengikuti kondisi zamannya. تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكان

 

Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama ajeg dan tak terhampiri sebab bersumber dari Tuhan. Sementara yang disebut terakhir selalu bergeser dan temporal oleh karena bersumber dari manusia. Ali Ahmad Said atau biasa disebut Adonis menyebut dua kondisi itu sebagai Al-Tsâbit wa Al-Mutahawwil (yang mapan dan yang berubah), atau dalam terminologi Muhammad Iqbal, sebagai Al-Baqâ’ wa Al-Fanâ. Namun kebanyaka kita cenderung mencampurkan keduanya. Menyamakan karya Tuhan dengan karya manusia. Hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

 

Gamal Al-Banna mengibaratkan Al-Qur’an seperti sumber mata air yang tak pernah kering meski sering direguk oleh banyak orang [Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm baina al-Qudâmâ wa al-Muhadditsîn, 2003]. Sementara Al-Qur’an sendiri mengibaratkan pengetahuan Tuhan laksana laut yang luas tak bertepi, yang tak akan pernah habis dikeruk daya kreatif manusia. Kapan saja menghampirinya, kita tidak akan kehabisan manfaat darinya. Semakin kita menggali isi kitab suci semakin kita menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Di situlah kemukjizatan al-Qur’an. Dia tidak akan kehabisan makna meski jutaan pembaca/penafsir telah memahaminya.

Sampai saat ini, Al-Qur’an masih dijadikan sebagai petunjuk (hudan), bukti yang nyata (bayyinah), dan pembeda (furqan) antara yang benar dan batil. Dalam setiap aspek kehidupan, umat Islam selalu menjadikannya sebagai pedoman yang diharapkan bisa menuntun mereka kepada jalan keselamatan dan keberkahan. Atas dasar itulah mereka mencurahkan perhatiannya kepada Al-Qur’an untuk bisa memahaminya dengan baik dan benar agar misi Islam tetap relevan meski zaman mengalami perubahan yang signifikan.

Sementara itu, tidak bisa dipungkiri, keterbatasan pengalaman manusia sangat memengaruhi cara seseorang memahami teks-teks Al-Qur’an yang terhampar luas itu. Bruce Lawrence dalam The Quran a Biography, menyadari problem serius yang dihadapi para pengkaji Al-Qur’an. Dia mengatakan, sebelum berhadapan dengan teks Al-Qur’an, para pengkaji dihadapkan dengan kenyataan bahwa Al-Qur’an dalam bahasa Arab lebih sedikit dari seluruh wahyu yang diturunkan kepada Muhammad; ia adalah wahyu orde kedua. Al-Qur’an yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan menjadi wahyu orde ketiga. Jarak dari sumber aslinya telah menciptakan jarak bagi kita.

Dalam ungkapan lain, Bruce Lawrence ingin menyampaikan bahwa teks Al-Qur’an yang kita baca dan tafsir sudah mengalami tiga proses penurunan, yaitu dimulai dari Tuhan kepada Malaikat Jibril, dari Jibril kepada Nabi Muhammad, dan dari Nabi kepada umat Islam. Dalam sejarah kodifikasi atau pembukuan, Al-Qur’an di tangan manusia begitu berkembang dan mengalami proses inovasi yang sangat atraktif dan kretaif. Al-Qur’an yang dimulai dari bahasa lisan atau verbal (tuturan) kini menjadi bahasa tulisan yang berupa huruf dan bunyi.

Fakta bahwa Al-Qur’an telah mengalami inovasi yang kreatif tidak bisa kita ingkari kebenarannya. Huruf-huruf Al-Qur’an yang tadinya serba gundul tanpa titik dan harakat kini mengalami apa yang kita saksikan saat ini. Penambahan titik dan harakat pada Al-Qur’an tentu tidak akan merubah subtansi dan makna Al-Qur’an. Namun tidak sedikit ahli tafsir saling berbeda hanya karena berbeda dalam membaca teks-teks Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam proses ketiga telah mengalami perubahan demi perubahan yang cukup signifikan. Tentu saja, Al-Qur’an dalam pengertian yang azali dan abadi sebagai kalam Allah tidak akan berubah. Dia berada di alam tak terhampiri, belum tersentuh ruang dan waktu yang bersifat sementara ini.

Kendati begitu, menurut Bruce Lawrence, kita masih tetap bisa memahami pesan Allah SWT, melalui Al-Qur’an sebagai teks tertulis yang ada di tangan kita, yang telah diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam berbagai bahasa dunia. Proses peralihan dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Indonesia, bahasa daerah, dll) juga menghadirkan problem pemahaman yang cukup serius. Dari sini kita bisa memahmi mengapa para pengkaji dan peneliti Al-Qur’an selalu menghadirkan pemahaman yang berbeda antara satu penafsir dengan penafsir lainnya.

Muhammad Arkoun, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, menulis bahwa “Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka [untuk diinterpretasi] baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Apa yang disampaikan Arkoun melalui Qurais Shihab itu benar dan tak perlu dibantah lagi. Sebab, Al-Qur’an sendiri, dalam kesan saya, menawarkan dirinya untuk dipahami, oleh, dan lewat perangkat metodologi apapun.

Karena watak Al-Qur’an yang terbuka itulah, (sebagai ilmu) tafsir terhadap Al-Qur’an menjadi medan perebutan antarberbagai aliran dalam Islam. Masing-masing mempunyai tafsir sendiri, sebagai sarana mengonsolidasikan dan kemudian mengukuhkan pahamnya. Lahirnya tafsir sebagai ilmu lebih disebabkan banyaknya ayat atau kalimat di dalam Al-Qur’an yang mengundang beragam penafsiran. Ditambah dengan munculnya corak penafsiran yang beragam hingga kini. Sebut saja misalnya, corak sastra bahasa; corak filsafat dan teologi; corak penafsiran ilmiah; corak fiqih atau hukum; corak tasawuf, dll.

Corak penafsiran Al-Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, inters, motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda. Belum lagi kita bicara pendekatan yang digunakan para penafsir. Semuanya kian meneguhkan bahwa Al-Qur’an dengan keistimewaan dan kemukjizatannya menyimpan jutaan makna dan pengetahuan yang perlu disingkap ke permukaan.

Perubahan zaman yang terjadi dalam setiap waktunya telah “memaksa” kaum Muslim untuk terus berijtihad dalam menafsir teks-teks suci Al-Qur’an agar nilai-nilai yang dikandungnya senantiasa menzaman, membumi dan tetap kontekstual sampai kapanpun. Pada akhirnya, perkembangan studi Al-Qur’an menjadi sangat kompleks dengan berbagai inovasi-progresif yang terus berkembang, baik pada aspek “tafsir” (exegesis) maupun aspek “metodologis” (the theory of interpretation). Al-Farmawy telah melakukan penelitian terhadap berbagai model penafsiran yang digunakan oleh para ulama dan menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat empat metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu; taḥlili (analitis/rinci), ijmali (global), muqaran (perbandingan), dan mawḍū’i (tematik).

Sekali lagi, kebenaran tafsir terhadap kitab suci tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Sangatlah mustahil, manusia, dalam hal ini adalah para penafsir, mampu menebak secara sempurna kehendak Tuhan. Nalar waras kita pasti menolak hal itu. Tuhan Yang Maha Benar mustahil difahami oleh manusia yang memiliki kebenaran yang parsial. Kebenaran, kata Rumi, adalah selembar cermin di tangan Tuhan yang kemudian jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut pecahan cermin itu dan berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh. Tafsir adalah kebenaran dari kepingan kaca tersebut, yang telah pecah terserak di tanah yang kemudian dipungut oleh masing-masing mufasir.

 

Selasa, 08 Februari 2022

Wasathiyah Islam, Solusi Kebhinekaan Kita

Selasa, Februari 08, 2022 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Islam adalah agama cinta damai dan penuh kasih (rahmatan lil ‘âlamîn). Begitulah pesan profetik Nabi Muhammad Saw sejak misi suci itu pertamakali dirisalahkan. Tapi kini, pesonanya mulai memudar dilumuri faham-faham intoleran dan sikap juru dakwah yang gemar memaki dan memprovokasi. Ini tidak bisa dibiarkan. Sebab berpotensi mengancam kerukunan hidup umat beragama dan kelangsungan masa depan kebangsaan kita.

Pada hari-hari yang belakangan, saat suasana kebatinan kita masih dirundung awan kelam pandemi yang tak menentu, masih saja terdapat perundungan kepada umat agama lain. Di mana sekelompok warga Tulang Bawang, Lampung dan Jambi secara berjama’ah mempersoalkan keberadaan gereja yang tegak berdiri di tempat yang berbeda. Aksi intoleran ini dilakukan saat saudara-saudara kita itu tengah merayakan ibadah Natal 2021 lalu.

Apa yang dilakukan sekelompok warga di atas sebetulnya mencerminkan watak retak dari para juru dakwah atau pemuka agamanya yang juga gemar memaki dan memprovokasi. Kebencian terhadap umat lain malah sering diproduksi di mimbar-mimbar jum’at, majelis taklim, dan sejumlah acara keagamaan lain—hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Klaim universalisme Islam sebagai agama ramah dan penuh damai sama sekali tidak ditampilkan oleh para juru dakwah kita. 

Tentu saja kita masih ingat saat seorang pemuka agama memaki sesembahan agama lain dengan menyebut di dalam Salib ada jin kafir, atau saat seorang pria bergamis dengan sikap yang angkuh menendang sesajen di Lumajang, Gunung Semeru. Apa yang dipertontonkan dalam dua kasus yang berbeda itu sungguh tidak mencerminkan Islam yang ramah, toleran dan inklusif. Tuhan tidak pernah bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada meski Dia bisa melakukannya. Tapi hal itu tidak Dia lakukan.

Indonesia dengan keragaman suku, budaya, bahasa, dan agamanya merupakan aneka kekayaan yang patut disyukuri bersama. Namun, keragaman itu juga menyimpan potensi segregasi yang bisa membelah kesatuan menjadi permusuhan. Tentu saja kita tidak menghendaki itu terjadi. Dan karena itu, para juru dakwah sebagai "penyambung lidah" para nabi memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memaklumatkan perbedaan dengan selalu mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, inklusif, dan moderat (moderasi Islam/washatiyah Islam).

Washatiyah Islam

Islam Indonesia adalah Islam wasathiyah atau moderat. Watak wasathiyah Islam Indonesia termanifestasi dengan jelas dalam sikap tawasut (moderasi), tasamuh (toleran), ta’adul (proposional), dan tawazun (seimbang) dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam sikap beragama bahkan bernegara.

Dalam beragama, Islam Indonesia mengambil sikap moderasi (berada di tengah) di antara dua posisi ekstrem kiri dan kanan. Ekstrem kanan biasanya representasi dari pemahaman Islam ekslusif, konservatif, dan tekstualis. Mereka lebih menghendaki penerapan syariah secara ketat dan kaku, seperti menginginkan hukuman rajam, cambuk, dan potong tangan.

Sementara ekstrim kiri lebih menitikberatkan pemahaman Islam yang liberal, bebas tanpa aturan agama. Prinsip bebas tanpa aturan ini tidak jarang melabrak norma-norma agama yang sudah jamak disepakati. Mereka tidak lagi mempersoalkan seks bebas, mabuk-mabukan, bahkan membolehkan praktik nikah sesama jenis atau biasa disebut LGBT.

Adapun sikap moderasi Islam Indonesia dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara cukup bijaksana dan mementingkan kemaslahan masyarakat. Dalam catatan sejarah, Islam Indonesia menerima Pancasila sebagai dasar negara. Padahal, secara kuantitas Indonesia dihuni mayoritas Umat Islam. Tetapi demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, Islam Indonesia dengan rela hati dan lapang dada menerima Pancasila. Islam Indonesia tidak keberatan mencoret ‘tujuh kata’ dalam Pembukaan UUD 1945. Kata “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” dicoret dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Bila kita telusuri ke belakang, sikap dan watak moderasi Islam Indonesia sebetulnya sudah terjadi sejak penyebaran Islam di bumi Nusantara ini. Dalam catatan saya, semua juru dakwah, ulama (dalam hal ini adalah Walisongo) datang ke bumi Nusantara membawa Islam penuh dengan kedamaian. Tanpa ada konflik berdarah. Kehadiran mereka tanpa membawa pasukan perang, melainkan misi profetik, yaitu menyeru kepada keesaan Tuhan dan jalan keselamatan.

Secara teoritis, konsep wasathiyah atau moderasi beragama yang dipraktekan Islam Indonesia sejak awal kemunculannya hingga kini, merupakan representasi dari pengalaman pesan moral yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Surat Al-Baqoroh: 143 yang berbunyi: 

و كذالك جعلناكم أمة وسطا لتكون شهداء على الناس و يكون الرسول عليكم شهيدا

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu [umat Islam] ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu”.

Prof. Dr. Azyumardi Azra pernah mengatakan, bahwa jati diri Islam Indonesia itu adalah wasathiyah atau moderasi beragama yang memiliki ortodoksinya sendiri, yang terdiri dari tiga aspek sekaligus: pertama, dari segi kalam (teologi). Islam Indonesia mendasarkan aqidahnya pada aliran kalam Asy’ariyah-Jabariyah. Dalam studi kalam, Asy’ariyah-Jabariyah  merupakan jalan tengah antara Mu’tazilah dan Khawarij. Kedua, dari segi fiqh. Islam Indonesia menganut mazhab Syafi’i, yang memoderasi pandangan mazhab Abu Hanifah yang rasional dan mazhab Ahmad bin Hambal yang tekstualis. Dan ketiga adalah dari segi aliran tasawuf. Islam Indonesia mengikuti tasawuf al-Ghazali, yang biasanya disebut tasawuf akhlaqi (amali). Ketiga aspek ortodoksi ini terbentuk sejak abad 17-18 dan seterusnya.

Secara garis besar, Islam Indonesia berbeda dengan Islam Arab dan dunia Islam lain. Perbedaan itu bisa dilihat dalam penerimaan budaya. Islam Indonesia sangat akomodatif terhadap budaya atau tradisi. Sejak dulu hingga kini, Islam Indonesia menerima budaya, bahkan menjadikan budaya sebagai sarana perjuangan dalam berdakwah. Sunan Kalijaga misalnya, menjadikan wayang sebagai sarana untuk berdakwah. Kita pun tidak keberatan menggunakan bedug, menara, dan kuba—yang merupakan budaya lain— sebagai ornamen keagamaan.

Namun demikian, keberadaan Islam Indonesia yang berciri wasathiyah atau moderat itu bukan tanpa tantangan yang berarti. Paling tidak ada dua tantangan yang mesti menjadi perhatian Islam Indonesia. Pertama adalah kemunculan Islam trans-nasional seperti Wahabi dan HTI yang menghendaki penerapan syariah secara ketat dan kaku, dan menghendaki berdirinya sistem khilafah di negari ini. Itu semua terjadi sebagai akibat dari demokratisasi dan liberalisasi politik pasca tumbangnya Orde Baru (Orba) Soeharto. Dan yang kedua adalah sikap ekslusif dan fanatik buta umat beragama yang melahirkan klaim kebenaran. Akibat dari pemahaman ini, bangsa ini beberapa kali menghadapi kasus konflik berlatar agama. Sebut saja di antaranya adalah, kasus Poso (tahun 1998-2000), Ambon (1999), Jawa Timur (1996), Ahmadiyah Cikeusik Banten (2011), dan Syi’ah Sampang (2011). Belum lagi kasus pemboman terhadap sejumlah Gereja pada tahun 2000 silam yang terjadi pada malam Natal, dan beberapa kasus serupa di beberapa tempat di Indonesia. 

Untuk menghadapi itu semua, ormas-ormas Islam di Indonesia harus mengarahkan orientasi dakwah dan perjuangannya ke dalam pemahaman Islam wasathiyah atau moderasi beragama. Hanya dengan itu, kemunculan Islam trans-nasional yang menghendaki penerapan syariat dan penegakan khilafah, dan juga sikap ekslusif beragama, bisa diatasi. Peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai wakil Islam wasathiyah harus menjadi lokomotif perubahan dan aktor utama dalam menerapkan Islam wasathiyah di negeri ini.

Sebagai penutup, Indonesia adalah bangsa yang majemuk, plural, dan multikultural, baik dari segi bahasa, suku, budaya, bahkan agama. Fakta ini menjadi berkah bagi Indonesia, tapi boleh jadi bisa juga menjadi petaka bila tidak dikelola dengan baik dan benar. Mendakwahkan Islam yang ramah, toleran, penuh cinta kasih kepada sesama manusia harus menjadi prioritas utama. Nilai-nilai itu semua merupakan watak dan sikap dari Islam wasathiyah. Wallahua’lam!