Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 19 April 2023

Pulang Ke Kampung Kenangan


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Setelah sekian lama para pengembara pergi berkelana mencari nafkah bumi, kini, mereka harus kembali pulang ke kampung halaman, mudik ke tempat asal kelahiran. Inilah arus kembali, memanggil para pengelana, pulang ke rumah kenangan.

 

Mari sejenak kita lupakan suara gaduh yang memang tak jarang memekakan telinga ruang publik kita tentang penetapan 1 Syawal, tentang kapan lebaran tiba. Entah besok (Jum'at) atau lusa (Sabtu) perayaan tahunan itu dimulai, kehadiran Idul Fitri ini bisa kita maknai sebagai momen kembali, baik secara kultural maupun spiritual.

 

Sebagai peristiwa kebudayaan, Idul Fitri melibatkan gelombang massa yang begitu besar, yang datang silih berganti, dari, dan menuju arah daerah yang berbeda-beda. Mereka rela berdesak-desakan, bahkan bertaruh nyawa untuk tiba pada tujuan yang ditempuh. [Klik: Puasa dan Ratapan Api Neraka]

 

Kita tidak tahu persis kapan fenomena sosial-kultural ini dimulai. Kita hanya tahu telah terjadi kesadaran kolektif dari para pemudik untuk kembali pulang ke pangkuan kampung halaman; tak peduli berapa jarak harus ditempuh; tak mengapa betapa sulit jalan yang harus dilalui. Semua rintangan yang datang menghadang di tengah jalan dianggap bukanlah apa-apa.

 

Rindu pulang adalah panggilan jiwa, seolah sengaja diserukan tanah kelahiran untuk memanggil para pengelana kembali ke kampung halaman. Semakin panjang jarak yang mereka tempuh menjauhi tempat masa kanak-kanak, semakin menjadi rindu untuk segera pulang; bertemu orangtua, keluarga, sanak saudara, dan orang-orang tercinta.

 

Pepatah lama mengatakan: “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang”. Lebih baik memilih hidup yang dilumuri jalan berliku di kampung sendiri, ketimbang bergelimang harta dan kemewahan, namun jauh dari tempat kelahiran. “di ribuan kilo, angin kabut berlainan // di kampung halaman, rembulan lebih benderang (Zhou Fuyuan, dalam Purnama di Bukit Langit).

 

Adakalahnya kita mesti pergi menjauh dari rumah untuk sebuah cita-cita yang harus diraih. Adakalanya kita juga harus kembali mencari jejak lama yang pernah ditinggalkan selaksa purnama. “Kam min Manzilin fî al Ardi Ya’lifuhu al Fatâ, wa Hanînuhu Abadan li Awwali Manjilin”. Banyak sudah tempat disinggahi para pengelana (pemuda), tapi rindu rumah kelahiran tidak akan pernah hilang dalam sekejap mata.

 

Kepulangan kita di hari yang fitri ini bukan semata pulang ke kampung halaman untuk memenuhi kewajiban kultural, yaitu menengok tanah kelahiran. Tapi juga untuk saling memaafkan, menyambung tali silaturahmi yang sempat merenggang akibat ruang dan waktu yang sempat ditinggalkan.[Klik: Puasa yang Membakar Syahwat Bumi]

 

Boleh jadi sempat terselip kata yang melukai hati dan perasaan orangtua, atau prasangka buruk yang mengusik nurani tetangga, sahabat lama atau orang-orang tercinta. Dalam situasi seperti itu, berjabat tangan untuk saling memaafkan adalah bagian terdalam dari kerendahan hati. Sebab keangkuhan yang terselip dalam hati hanya membuat kita angkuh, dan rapuh.

 

Kampung Spiritual

Idul Fitri memaksa para pengembara kembali pulang ke kampung sosial, kampung kelahiran. Tetapi arah kembali yang sejati (yaitu kampung spiritual) tidak boleh luput dari perhatian kita. Sebagai manusia kelana, yang datang dari alam spiritual (alam ruhani), pengembaraan kita tiba di alam bumi (alam syahadah) ini telah banyak dilumuri dosa dan kesalahan.

 

Saat masih di alam ruhani kita sempat mengucap ikrar setia hanya kepada Sang Pencipta, berjanji selamanya hanya kepada Dia tempat kembali, dan berjanji mengabdi hanya kepada Dia Sang Pengatur segala. Alastu birobbikum, qalu bala syahidna. Tetapi pengembaraan kita di alam fana ini membuat semua ikrar dan janji setia itu terlupakan oleh karena hilangnya cahaya hati yang tertutup noda hitam.

 

Dalam menapakaki jalan hidup di bumi yang penuh liku ini, boleh jadi tubuh ini telah banyak dilumuri debu jalanan. Jiwa yang semula suci tanpa cela, kini ternoda, bukan karena merasuk pada tubuh fana yang memenjarainya, melainkan oleh karena dosa dan kesalahan yang dibuat. Maka gelombang pertobatan secara masif (tobat nasuha) harus segera ditempuh.

 

Tobat berasal dari taba yatubu taubatan, yang berarti jalan pulang setelah melalui banyak perjalanan. Dalam suasana seperti itu, perlu kiranya kita segera kembali kepada titik paling suci (Tuhan) sebagai makna terdalam dari pagelaran Idul Fitri yang cenderung kita rayakan sebagai fenomena kultural belaka.[Klik: Puasa dan Perdamaian ]

 

Walhasil, entah kapan atau di mana pada akhirnya kita akan kembali ke kampung ruhani, tempat muasal kita bermula. Innalillahi wa Innailaihi Raajiun. Dari-Nya akan kembali kepada-Nya. Itulah kampung paling hakiki, kampung spiritual, muasal manusia berasal. Selamat mudik, selamat merayakan hari raya Idul Fitri!

 

Tidak ada komentar: