Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 02 Mei 2022

Idul Fitri dan Kampung Spiritual

Senin, Mei 02, 2022 0

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Setelah sekian lama para pengembara pergi berkelana mencari nafkah bumi, kini, mereka harus kembali pulang ke kampung halaman, mudik ke tempat asal kelahiran. Inilah arus kembali, memanggil para pengelana, pulang ke rumah kenangan.

 

Idul Fitri adalah momen kembali, baik secara kultural maupun spiritual. Sebagai peristiwa kebudayaan, Idul Fitri melibatkan gelombang massa yang begitu besar, yang datang silih berganti, dari, dan menuju arah daerah yang berbeda-beda.

 

Saya tidak tahu persis kapan fenomena sosial ini dimulai. Saya hanya tahu telah terjadi kesadaran kolektif dari para pemudik untuk kembali pulang ke pangkuan kampung halaman; tak peduli berapa jarak yang harus ditempuh; tak mengapa betapa sulit jalan yang harus dilalui. Semua rintangan yang datang menghadang dianggap bukanlah apa-apa.

 

Rindu pulang akan rumah kelahiran adalah panggilan yang datang dari dalam diri, yang didorong oleh suara hati yang paling jujur. Semakin panjang jarak yang ditempuh para pengembara, menjauhi tempat masa kanak-kanak, semakin menjadi rindu untuk segera pulang; bertemu orangtua, keluarga, sanak saudara, dan guru-guru tercinta.

 

Pepatah lama mengatakan: “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang”. Lebih baik memilih hidup yang dilumuri jalan berliku di kampung sendiri, ketimbang bergelimang harta dan kemewahan namun jauh dari tempat kelahiran. “di ribuan kilo, angin kabut berlainan // di kampung halaman, rembulan lebih benderang (Zhou Fuyuan, dalam Purnama di Bukit Langit).

 

Adakalahnya kita mesti pergi menjauh dari rumah untuk sebuah cita-cita yang telah disimpan lama di alam al khayyâl (imajinasi). Adakalanya kita juga harus kembali mencari jejak lama yang pernah ditinggalkan selaksa purnama. “Kam min Manzilin fî al Ardi Ya’lifuhu al Fatâ, wa Hanînuhu Abadan li Awwali Manjilin”. Banyak sudah tempat disinggahi para pengelana (pemuda), tapi rindu rumah kelahiran tidak akan pernah hilang dalam ingatan.

 

Kepulangan kita di hari yang fitri ini bukan sekedar pulang ke kampung halaman untuk memenuhi kewajiban kultural, tapi juga untuk saling memaafkan. Boleh jadi pernah terselip kata yang melukai orangtua, atau prasangka buruk yang tak berdasar kepada tetangga dan guru-guru kita. Dalam situasi seperti itu, berjabat tangan untuk saling memaafkan adalah bagian terdalam dari kerendahan hati. Keangkuhan hanya membuat kita angkuh, dan rapuh.

 

Idul Fitri memaksa para pengembara kembali pulang ke kampung sosial, tempat kelahiran. Tetapi arah kembali yang sejati (yaitu kampung spiritual) tidak boleh luput dari ingatan kita. Sebagai manusia kelana, yang datang dari alam ruhani (sebelum alam rahim), pengembaraan kita tiba di alam bumi ini telah banyak dilumuri dosa dan kesalahan.

 

Saat masih di alam ruhani kita sempat mengucap ikrar setia hanya kepada Sang Pencipta, bersaksi selamanya hanya kepada Dia tempat kembali, dan berjanji mengabdi hanya kepada Dia Sang Pengatur segala. Tetapi pengembaraan kita di alam fana ini membuat semua ikrar dan janji setia itu terlupakan oleh karena hilangnya cahaya hati yang tertutup noda hitam.

 

Dalam suasana seperti itu, perlu kiranya kita segera kembali kepada titik paling suci (Tuhan) sebagai makna terdalam dari pagelaran Idul Fitri yang cenderung kita rayakan sebagai fenomena kultural belaka. Idul Fitri mengingatkan kita akan kampung spiritual, tempat muasal kita sebelum mengembara di alam fana.