Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 12 September 2025

Syekh Abdul Karim al-Bantani: Mursyid Peniup Api Jihad


 

Oleh Mohamad Asrori Mulky


Sejarah Banten laksana kitab agung yang ditulis dengan darah perjuangan, doa para wali, dan airmata rakyat yang tak pernah tunduk pada penjajahan dan tirani. Dari tanah para jawara dan ulama inilah lahir nama-nama besar yang suaranya menembus batas pesisir, menyeberangi samudra, hingga bergema ke jantung dunia Islam.

 

Di antara gugusan bintang yang bertabur di langit sejarah Nusantara, khususnya di tanah para jawara, ada satu cahaya yang tak pernah redup meski abad telah berganti: Syekh Abdul Karim al-Bantani. Ia adalah mursyid agung tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, yang mengajarkan dzikir di satu sisi dan meniupkan api perlawanan di sisi lain.

 

Dalam dirinya, kesalehan tidak pernah tercerabut dari keberanian. Zikir yang diajarkannya bukanlah sekadar getaran lidah yang meruapkan keheningan, melainkan getaran jiwa yang menghidupkan keberanian untuk menentang tirani para penjajah. Doa yang dirapalnya tidak berhenti pada kata yang terbang ke langit, tetapi menjelma menjadi kekuatan yang membakar dada-dada para muridnya agar tegak menghadapi penindasan.

 

Syekh Abdul Karim al-Bantani adalah contoh nyata bahwa tarekat bukan sekadar jalan menuju Tuhan dalam ruang-ruang privat, melainkan juga energi kolektif yang menggerakkan umat. Majelis dzikir yang dipimpinnya di Banten, Makkah, dan berbagai tempat, bukan hanya ruang perenungan batin, melainkan juga kawah candradimuka tempat umat belajar solidaritas, keberanian, dan tekad perlawanan.

 

Dari sana lahir murid-murid yang kemudian menjadi ujung tombak peristiwa besar seperti Geger Cilegon 1888, sebuah letupan amarah rakyat yang telah lama terpendam di bawah cengkeraman kolonial. Murid-muridnya seperti KH. Wasid, KH. Tubagus Ismail, dan Haji Sangadeli bangkit menggerakkan perlawanan, meski pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan Belanda dengan kekerasan.

 

Para peneliti, seperti Martin van Bruinessen dan Azyumardi Azra, menyebut sosok semacam Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai simpul penting dalam jaringan ulama Nusantara di Makkah, yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyemai benih kebangkitan. Ia menjadi bukti bahwa sufisme di Nusantara tidak pernah steril dari sejarah sosial, melainkan ikut menorehkan tinta dalam kitab perjuangan bangsa.

 

Selain meninggalkan jejak perjuangan, Syekh Abdul Karim al-Bantani juga menorehkan tinta ilmu. Salah satu karyanya yang masyhur adalah Risalah Silsilah al-Thariqatain al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah, disusun bersama Syekh Ibrahim Brumbung Demak. Karya ini melanjutkan spirit Fathul Arifin, catatan ceramah ruhani yang pertama kali dihimpun di Makkah pada 1295 H oleh Syekh Muhammad Ismail bin Abdurrahim, murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Melalui karya-karya inilah, ia meletakkan batu fondasi penyebaran tarekat di bumi Nusantara.

 

Syekh Abdul Karim al-Bantani lahir sekitar tahun 1840 di Desa Lempuyang, Tanara, Serang. Ia tumbuh dalam keluarga yang darahnya berdenyut dengan tradisi keilmuan dan perjuangan. Garis keturunannya bersambung kepada Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah, pendiri Kesultanan Banten sekaligus putra Sunan Gunung Jati. Sepupunya, Syekh Nawawi al-Bantani, kelak menjadi imam besar Masjidil Haram, simbol ulama kosmopolitan Nusantara. Dari mata air keluarga ini, Abdul Karim menyerap wibawa, kecerdasan, dan keteguhan hati.

 

Jalan ilmunya bermuara hingga ke tanah suci Makkah, pusat cahaya yang memanggil jiwa-jiwa pencari. Di sana, Syekh Abdul Karim al-Bantani menambatkan langkahnya pada seorang guru besar, Syekh Ahmad Khatib Sambas—pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah di Nusantara. Dari tangan sang mursyid agung itu ia memperoleh pengetahuan lahir dan juga rahasia batin yang menautkan syariat dengan hakikat, zikir dengan amal, keheningan dengan keberanian.

 

Dari gurunya itu, Syekh Abdul Karim al-Bantani mewarisi sanad ilmu dan amanah kepemimpinan tarekat, sebuah mata rantai rohani yang menghubungkan para salik di Nusantara dengan sumber mata air spiritualitas di Hijaz. Dengan begitu, Syekh Abdul Karim tidak hanya mengulang apa yang telah diajarkan, tetapi juga melanjutkan estafet tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah, meneguhkan dirinya sebagai penjaga dan penerus jalan sufi yang berakar kuat di bumi Arab sekaligus tumbuh subur di tanah airnya.

 

Hingga akhir hayatnya, ia memilih menetap di Makkah, menjaga lentera tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah. Tahun wafatnya hingga kini terselubung kabut sejarah, seakan Allah sengaja menyimpan rahasianya. Seusai kepergiannya, corak penyebaran tarekat itu di Indonesia tak lagi terpusat, melainkan berakar dalam banyak kepemimpinan lokal. Namun, jejak Syekh Abdul Karim al-Bantani tetap bercahaya. Dzikir dan wiridnya bergetar di desa-desa, menembus keheningan malam, mengisi jiwa ribuan pengikut.

 

Sepak terjang dan perjuangan Syekh Abdul Karim al-Bantani akan tetap hidup dalam ingatan banyak orang, terutama umat Islam Indonesia. Ia bukan sekadar mursyid yang menuntun dalam dzikir, melainkan penipu api jihad yang menjahit jalan tasawuf dengan keberanian melawan tirani. Namanya mungkin tak tercatat megah dalam dokumen kolonial, tetapi doa, darah, dan dzikirnya masih berdetak dalam denyut sejarah bangsa. Ia adalah pelita dalam malam panjang penjajahan, yang cahayanya masih menuntun kita hingga hari ini.

Tidak ada komentar: