Oleh Mohamad Asrori Mulky
Ada
saat-saat tertentu dalam hidup ketika roda waktu yang biasanya berputar tanpa
henti, tiba-tiba seakan berhenti, bukan karena ia benar-benar diam, melainkan
karena ia ingin memberi ruang bagi sebuah keajaiban yang terlalu berharga untuk
dilewatkan begitu saja. Saat-saat itu bukan sekadar momen biasa dalam hitungan kalender,
melainkan titik cahaya yang menyinari perjalanan panjang manusia.
Salah satu
momen yang paling indah dari segala keindahan itu adalah hari ulang tahun
seorang anak—sebuah peringatan kecil yang sarat makna, ketika kehidupan seakan
berbisik kepada kita bahwa di dunia ini masih ada alasan untuk bersyukur, masih
ada sebab untuk merayakan cinta, dan masih ada tanda bahwa harapan belum pernah
benar-benar mati.
Pada 3
Oktober 2025, genaplah dua tahun usia Nun A Wening Hyun, putri pertama kami yang
namanya sendiri telah menjadi doa panjang: Nun, huruf agung yang
melambangkan pena dan ilmu; Wening, kejernihan batin yang bening tanpa
riak dan kotoran hati; Hyun, cahaya kemilau yang menembus batas pandang.
Nama itu adalah mantra kehidupan, dan pemiliknya adalah tajalli—penampakan
kasih sayang Ilahi di dunia.
Sementara huruf
A dalam nama itu bukan sekadar
aksara, melainkan nafas pertama dari segala bahasa. Dalam tradisi linguistik,
huruf hidup (vokal) adalah denyut nadi yang memberi kehidupan pada konsonan
yang mati. Tanpa vokal, kata hanya menjadi rangka kosong; tetapi dengan vokal,
kata menjelma suara yang menggetarkan, makna yang mengalir, dan kehidupan yang
berdenyut.
Maka ketika A
diletakkan dalam nama Nun A Wening Hyun, ia menjadi simbol dari awal
mula segala sesuatu—permulaan yang selalu hidup, sumber bunyi yang menyalakan
harmoni. Secara filosofis, A adalah representasi dari arché,
asal-muasal yang tak pernah habis. Ia adalah alfa dalam tradisi Yunani,
huruf pertama yang membuka seluruh kosmos bahasa, dan dalam tradisi spiritual
ia dapat dibaca sebagai lambang kehidupan yang murni, belum ternoda, dan selalu
siap menghidupi. Dengan kata lain, A adalah benih universal yang
menjadikan nama bukan sekadar sebutan, tetapi doa yang terus mengalir di setiap
penyebutannya. (Baca juga: Nun A Wening Hyun)
Para sufi
barangkali akan menyebut huruf A sebagai nafās al-Rahmān,
hembusan kasih sayang Ilahi yang darinya segala wujud tercipta. Setiap huruf
hidup adalah pancaran hidup dari Sang Hidup (al-Ḥayy). Maka, huruf A
dalam nama Wening Hyun adalah penanda bahwa dirinya mengandung kehidupan
yang menghidupi: kehadirannya tidak hanya menambah isi dunia, tetapi juga
memberi jiwa bagi sekitarnya.
Lebih jauh
lagi, A adalah simbol keterbukaan. Ia dilafalkan dengan mulut yang terbuka
lebar, seakan melambangkan hati yang terbuka bagi segala kemungkinan. Anak yang
membawa huruf ini dalam namanya diharapkan tumbuh dengan jiwa yang lapang,
keberanian untuk memulai, dan kesiapan untuk memberi kehidupan di tengah dunia
yang sering kali terasa sempit. Maka, huruf A bukanlah kebetulan, tetapi
pilihan filosofis yang sarat makna. Ia adalah huruf hidup—dan karena itulah ia
menghidupi kehidupan.
Nun A Wening
Hyun, kini dua tahun usiamu. Engkau
adalah embun yang belum tercemar debu, engkau adalah cahaya yang belum pudar
oleh dunia. Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Arabi, bahwa “jiwa seorang anak masih dekat dengan
asalnya, belum terikat oleh debu dunia”. Semoga engkau tumbuh tetap wening,
tetap bening, meski zaman membawa gelombang dan riak peradaban masa silam.
Pada
akhirnya, ulang tahunmu bukan sekadar milikmu. Ia adalah milik kami semua,
pengingat bahwa Tuhan belum berhenti menyalakan cahaya di bumi. Engkau adalah
bukti bahwa harapan masih hidup, bahwa cinta masih mungkin, dan bahwa dunia
masih layak dirayakan. Sebab kata Rumi, kelahiran seorang anak adalah tanda
Tuhan masih memberi harapan pada dunia.
Maka, pada
hari ini, kami merayakan bukan hanya dua tahun usiamu, tetapi juga dua tahun
cahaya yang Tuhan titipkan kepada kami melalui dirimu. Engkau adalah tajalli,
engkau adalah doa yang hidup, engkau adalah kitab kecil yang sedang ditulis
dengan tinta cinta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar