Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 11 September 2025

Nepokids, Perlawanan, dan Martabat yang Diperjuangkan


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Nepal, negeri yang atapnya menyentuh langit, kerap tampak megah dari kejauhan—puncak-puncak Himalaya menjulang laksana baris puisi yang tak pernah runtuh, sementara lembahnya mengalirkan sungai seakan ayat purba yang terus dibacakan. Akan tetapi, di balik panorama yang memesona itu, bersemayam kenyataan getir: kemiskinan yang tak kunjung lepas, politik yang sering tersesat di lorong kuasa, dan generasi muda yang tumbuh dengan peluang serba rapuh.

 

Kathmandu, ibu kota Nepal, yang biasanya berdenyut dengan doa di kuil-kuil kuno, kini menjelma samudra manusia. Jalan-jalan yang dulu mengantar peziarah menuju stupa dan mandir, berubah menjadi panggung amarah: spanduk menjulang, slogan diserukan, dan teriakan rakyat bergemuruh, pecah seperti petir di lembah Himalaya.

 

Anak muda, aktivis, hingga rakyat jelata turun dengan dada yang terbakar. Kemarahan mereka bukan sekadar pada korupsi yang merajalela, melainkan pada sistem yang sejak lama dirasa pincang—panggung tempat segelintir elite menari di atas penderitaan rakyat, sementara anak-anak mereka, para Nepokids, menapaki jalan kuasa seolah tahta adalah warisan keluarga.

 

Nepotisme di Nepal tak lagi bersembunyi di balik kabar burung; ia tampil terang, bahkan dipamerkan tanpa malu. Rakyat menyaksikan bagaimana putra-putri para pemimpin besar—perdana menteri dan pejabat tinggi—dengan mudah memperoleh panggung politik. Dinasti yang berjalan seperti kerajaan lama, di mana darah lebih dipuja daripada kompetensi, silsilah lebih dihormati daripada jerih payah.

 

Di sinilah istilah global nepo baby dan nepo kids menemukan gema paling getirnya. Mula-mula hanya sindiran di dunia hiburan—anak aktor atau musisi yang bersinar karena bayangan orang tua mereka. Namun di Nepal, istilah itu menjadi pisau kritik: tanda bahwa kekuasaan diwariskan, sementara anak-anak muda yang cerdas dan berpendidikan harus puas menunggu di pintu yang tak pernah terbuka.

 

Di satu sisi, para Nepokids menari di pesta, memamerkan kemewahan di layar gawai. Di sisi lain, rakyat kecil menghitung recehan untuk beras, anak-anak berjalan jauh demi sekolah, dan generasi muda berteriak menuntut kesempatan yang adil.

 

Suara lantang Shree Gurung, seorang pemuda di tengah demonstrasi, menjadi gema generasinya: “Kami menuntut akuntabilitas. Kami menuntut penyelidikan. Kami menolak korupsi ini, kemewahan ini, dan anak-anak politisi yang menjadikan penderitaan kami sebagai panggung bagi gaya hidup mereka.” Suara itu berpadu dengan ribuan lainnya, menjelma simfoni kemarahan yang mengguncang jantung Kathmandu.

 

Namun, api protes berubah menjadi badai yang tak terbendung. Rumah-rumah pejabat dibakar, istri seorang mantan perdana menteri tewas, para menteri dipukul, bahkan ada yang ditelanjangi dan dikejar massa. Api bukan hanya membakar gedung-gedung, tapi juga kesabaran rakyat. Negara kini berada di bawah bayang-bayang militer, dengan puluhan nyawa sudah melayang. Sementara ratusan tubuh roboh dihantam senjata militer.

 

Nepal, negeri yang dulu dipuja karena ketenangan spiritualnya, kini menjelma panggung tragedi politik. Sebuah paradoks yang getir: puncaknya menyentuh langit, namun politiknya terperosok ke lumpur.

Pertanyaannya: apakah dari bara ini sebuah bangsa bisa lahir kembali? Ataukah amarah hanya akan melanggengkan siklus dendam dan dinasti?

 

Albert Camus dalam The Rebel pernah menulis, bahwa pemberontakan bukanlah kehendak untuk menghancurkan, melainkan seruan untuk hidup bermartabat. Kata-kata itu seakan menjelma nyata di jalan-jalan Kathmandu. Jeritan rakyat bukan sekadar murka, melainkan permintaan untuk hidup tanpa diperbudak dinasti, tanpa belenggu warisan kekuasaan.

 

Hannah Arendt, sang pemikir kebebasan, mengingatkan, bahwa kekuasaan lahir ketika manusia bertindak bersama, bukan ketika ia diwariskan. Ujian itu kini dihadapi Nepal—apakah kebersamaan rakyat bisa melahirkan tatanan baru, atau sekali lagi akan dilumpuhkan oleh militer dan dinasti yang enggan tumbang?

 

Tragedi Nepal adalah cermin dunia. Dinasti dan nepo kids hadir di banyak negeri, menutup jalan bagi mereka yang ingin bermimpi. Namun seperti Himalaya yang tetap tegak meski diguncang gempa, rakyat Nepal menunjukkan bahwa martabat tak pernah diwariskan; ia hanya bisa diperjuangkan.

 

Jalanan Kathmandu bukan lagi sekadar ruang protes. Ia menjelma altar, tempat rakyat berdoa dengan darah dan pekikan. Doa agar lahir dunia baru, di mana nama keluarga bukan tiket menuju singgasana, dan setiap anak bangsa punya hak yang sama untuk menulis masa depannya.

 

Dan di bawah bayangan Himalaya yang agung, rakyat Nepal sedang menulis puisi mereka sendiri—sebuah puisi tentang kebebasan, tentang keberanian, dan tentang cinta yang tak pernah padam pada tanah air.

Tidak ada komentar: