Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di tengah riuh
zaman yang kian kehilangan makna, serba cepat dan tak terkendali, akibat arus
modernitas dengan segala perkembangan ilmu dan teknologinya, manusia, kata
Seyyed Hossein Nasr, dipacu tanpa arah ruhani, dan terjebak dalam pusaran
kecemasan yang makin dalam. Mereka teralienasi dalam hidupnya sendiri. Dan dalam
keadaan seperti itu, kita memerlukan seberkas cahaya yang datang meski dari sunyi.
Sunyi yang
tidak bisu, melainkan berbicara kepada nurani terdalam, yang selama ini tersingkir
oleh nalar spekulatif. Sunyi yang tidak kosong, melainkan dipenuhi oleh
kehadiran Yang Maha Hadir. Dan melalui lorong-lorong sunyi itulah, pada
beberapa abad yang silam, seorang manusia bernama Abu Hamid Al-Ghazali berjalan
pelan tapi pasti, menuju pemulihan jiwanya—dan jiwa umatnya.
Sepanjang
hayatnya, lelaki dari Tus itu telah mereguk air jernih dari ribuan kitab,
menyelami samudra akal, dan menguji tiap serpihan cahaya dari indera. Tapi di suatu
malam yang diselimuti kabut gelap, dan ketika bintang-bintang filsafat
kehilangan sinarnya, ia bertanya penuh gelisah: “Adakah suatu kepastian yang
tak tergoyahkan?” Ia menjawab dalam al-Munqidh min al-Dalal, bahwa
kepastian itu mesti ilmu yakin yang tidak menyisakan kebimbangan (العلم اليقين
الذي لايبقى معه ريب).
Maka dimulailah
perjalanan epistemologis Al-Ghazali, yang dimulai dari keraguan (الشكوك) bukan dari keyakinan yang selama ini ditapaki kebanyakan
orang. “Keraguanlah yang bisa mengantarkan kepada kebenaran” (الشكوك هي
الموصلة الى الحق). Demikian Al-Ghazali menuliskan
dalam Mizan Al Amal. Dengan nada pasti dan penuh keyakinan, ia
menelusuri kebenaran yang tak terbantahkan.
Di awal
pencarian, Al-Ghazali menggenggam keyakinan bahwa indera adalah pangkal segala
pengetahuan. Apa yang terlihat, terdengar, disentuh dan dikecap dianggap sebagai
dasar realitas. Namun, sebagaimana cahaya yang tampak terang hanya sampai
senja, keyakinan ini pun meredup, lenyap, tak terlihat. Ia mulai menyadari
bahwa indera kerap menipu: “Bintang tampak sebesar dinar padahal lebih besar
dari bumi,” tulisnya dalam al-Munqidh min al-Dalal. Bayangan tampak
diam, tapi ia bergerak perlahan. Air tampak dalam cawan, padahal ia melengkung.
Indra, dalam
pandangannya, adalah gerbang yang mudah disusupi ilusi dan tipuan. Sehingga
pengetahuan yang mendasarinya rapuh sehingga mudah roboh. “Jika indraku
telah berdusta padaku, bagaimana aku bisa mempercayainya?” Karena itulah
Al-Ghazali mulai meragukan segala pengetahuan indrawi—tidak sebagai skeptisisme
murni, tapi sebagai luka pertama yang membuka jalan perenungan lebih dalam dan
lebih meyakinkan. Ia meragukan pengetahuan yang dihasilkan amatan mata,
pendengaran, sentuhan kulit.
Dalam keraguan
terhadap indera itu, ia kemudian membangun harapan pada akal. Akal—yang dapat
memisahkan antara mungkin dan mustahil, yang bisa menetapkan bahwa dua adalah
lebih dari satu, dan mustahil sesuatu bisa berada di dua tempat sekaligus.
Dalam fase ini, Al-Ghazali memasuki dunia filsafat: logika Aristoteles,
metafisika Ibn Sina, hingga geometri Euclid. Ia menguasainya bukan sekadar
sebagai murid, tapi sebagai penguji paling tajam.
Namun kemudian
ia menemukan bahwa akal pun tak bisa menembus tirai metafisika yang paling
dalam. Akal bisa menjawab "bagaimana", tapi tak bisa menjawab
"mengapa". Ia bisa membedah dunia, tapi tak bisa menjamah makna. Akal
bisa menggambar peta, tapi tak bisa mengantarkan jiwa untuk pulang. Dalam al-Munqidh,
ia menulis: “Keraguanku terhadap kemampuan akal bagaikan penyakit, namun
penyakit ini diturunkan Allah kepadaku... maka tak ada obat selain cahaya yang
dilemparkan ke dalam hati.”
Setelah
meruntuhkan dua menara epistemologi—indra dan akal—Al-Ghazali memulai jalan
sunyi, yaitu memalingkan wajahnya ke arah intuisi ilahiah, atau dalam istilah
sufistik: dzawq. Ia menemukan bahwa hati yang disucikan bisa menjadi
cermin kebenaran yang sejati. Kebenaran tidak lahir dari debat, tapi dari dzikir.
Ia tidak tumbuh dalam logika, tapi dalam kesendirian yang lapang dan pengasingan
yang diserahkan kepada Tuhan.
Dalam Ihya’
‘Ulum al-Din, ia menulis: “Ilmu yang hakiki adalah cahaya yang
dilemparkan Allah ke dalam hati seorang hamba... ia tidak diperoleh melalui
pena dan buku, tapi melalui penyucian jiwa dan pengabdian yang tulus.” Al-Ghazali
menempuh jalan sufi, bukan sebagai pelarian, tapi sebagai puncak dari seluruh
pencarian epistemologinya. Tetapi, jalan sufi yang sunyi, yang ditempuh
Al-Ghazali bukanlah tanpa nalar. Ia tidak menolak akal.
Oliver Leaman
dalam A Brief Introduction to Islamic Philosophy, menyebut Al-Ghazali
sebagai tokoh yang “memusnahkan sistem filsafat tanpa memusnahkan semangat
berpikir.” Ia tidak menolak akal, tapi mengkritiknya agar tunduk kepada
cahaya batin. Ia tidak meninggalkan dunia, tapi memandangnya dari kejauhan.
Bagi Al-Ghazali, akal ibarat cahaya yang menerangi jalan yang disusuri manusia
di tengah lorong dan jurang yang gelap. Siapa saja yang menepikannya akan
tersesat.
Frank Griffel, pembaca
Al-Ghazali, melihat dalam diri sang Imam sebuah pergeseran radikal: dari
seorang profesor di Baghdad yang dielu-elukan sebagai mahkota para ulama,
menjadi seorang pengembara ruhani yang tak dikenali siapa pun kecuali dirinya
sendiri. Dalam karyanya, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, Griffel
menegaskan bahwa krisis eksistensial yang dialami Al-Ghazali bukan semata
gejala pribadi, melainkan refleksi dari krisis epistemik dunia Islam kala itu.
Maka jalan sunyi yang ia tempuh adalah jalan menyembuhkan peradaban, jalan yang
dianggap paling sahih untuk mengembalikan kesadaran umat Islam dari sampah
zaman yang meniup bau busuk.
Jalan sunyi Al-Ghazali adalah jalan
sufi—jalan pelepasan, jalan pengasingan dari keramaian dunia yang begitu bising,
memabukkan, dan penuh jebakan. Maka ketika itu, saat ruh Al Ghazali disesaki
debu ilmu yang belum basah oleh makna, dan dadanya merasakan kekeringan dalam
lautan kata-kata, Al-Ghazali—yang saat itu telah mencapai puncak kemasyhuran
sebagai guru besar Nizamiyah Baghdad—tiba-tiba merasakan kehampaan yang dalam,
seperti seseorang yang berdiri di atas gunung tetapi tak lagi melihat langit.
Sekali lagi, jalan sunyi yang ditempuh Al-Ghazali
bukanlah membuang akal hingga tak dibutuhkan, tapi justru cahaya ketuhanan
yang masuk ke dalam hatinya telah membenarkan pertimbangan logis secara
meyakinkan. Dalam Al-Munqid ia menulis,:
حتى
شفى الله تعالى من ذلك المرض وعادت النفس الى الصحة و الاعتدال و رجعت الضروريات العقلية
مقبولة موثوقا بها على أمن و يقين, و لم يكن ذلك بنظم دليل و ترتيب كلام, بل بنور
قذفه الله تعالى في الصدر, و ذلك النور هو مفتاح أكثر المعارف
"Allah
menyembuhkan penyakitku sakitku tersebut, sampai jiwaku pun kembali sehat dan
moderat lagi. Hasil daya pikir pun kembali diterima dan dipercaya serta penuh
rasa aman dan yakin. Dan kesemua itu bukan karena adanya dalil yang teratur
rapi serta kata yang tersusun benar, tapi karena adanya cahaya yang diturunkan
Allah dalam kalbu, yaitu cahaya yang menjadi kunci kebanyakan pengetahuan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar