Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 06 Juni 2025

Makna Simbolik Qurban: Ibrahim dan Keakuan yang Tersayat


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Di balik kisah yang menyayat hati tentang Ibrahim dan Ismail — yang kerap dibaca secara literal sebagai narasi tentang ketaatan nabi kepada perintah Tuhan — para sufi membaca teks purba ini justru dengan mata batin yang lembut dan tajam. Mereka memasukinya lebih jauh ke dalam wilayah yang lebih intim dan sublim: ke dalam rahasia batin dan perjalanan cinta ruhaniah.

 

Qurban, bagi para sufi, bukan sekedar ritual atau ibadah formal tahunan. Ia adalah tahap agung dalam perjalanan menuju fana’ — yaitu lenyapnya diri dalam kehadiran Tuhan. Dan dalam kisah Ibrahim yang menggetarkan jiwa itu, yang sesungguhnya dikorbankan bukanlah Ismail, melainkan keakuan (ego) Ibrahim itu sendiri: rasa memiliki, rasa mencintai sesuatu selain Allah, bahkan rasa kebapakan yang menjadi bagian dari dunia.

 

Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi menggambarkan hal itu dengan sangat baik: “Lihatlah Ibrahim, ia tidak membunuh anaknya. Ia membunuh dirinya sendiri, yang bernama keakuan, yang memisahkan pecinta dari Kekasih-nya.” Dan setelah beberapa abad yang silam pasca-Rumi, Ali Syariati dalam Hajj menyampaikan hal yang senada. Menurutnya, Ismail hanyalah simbol dari apa yang paling dicintai manusia di dunia. Ia bisa berupa anak, harta, nama baik, pangkat, jabatan, bahkan diri sendiri.

 

Dalam magnum opusnya itu, Ali Syariati mengajak manusia menziarahi makna terdalam dari sebuah perintah purba yang lahir dari langit dan bersemayam dalam lubuk kesadaran profetik: menyembelih Ismail. Baginya, Ismail bukan semata anak Ibrahim, bocah suci yang dihamparkan di atas batu karang Mina dengan dada yang lapang dan jiwa yang pasrah. Ismail adalah segala yang dicintai manusia, segala yang membuat dada berdebar dan hati terikat, segala yang melahirkan rasa takut kehilangannya.

 

"Setiap manusia," tulis Syariati, "memiliki Ismailnya masing-masing." Maka Mina bukan hanya sebidang tanah di jazirah Arab, tapi medan spiritual yang sunyi di dalam dada manusia. Di sanalah, setiap anak Adam diuji untuk menyembelih apa yang paling dicintainya, agar ia bisa mencintai Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Ismail adalah cermin, dan dalam cermin itu kita melihat apa yang menawan hati kita selain Tuhan.

 

Martin Buber, dalam I and Thou, menyiratkan bahwa relasi manusia yang autentik hanya terjadi bila manusia mampu keluar dari dirinya dan menanggalkan ego yang membatu. Dalam kerangka ini, "Ismail" adalah ego yang membuat relasi manusia dengan Tuhan dan sesama menjadi relasi yang semu, relasi "aku–itu", bukan "aku–Engkau". Maka menyembelih Ismail berarti menembus ruang antara, menyucikan cinta dari kepemilikan dan menyingkap wajah Yang Maha Lain.

 

Maka saat Ibrahim mengarahkan pisau, sesungguhnya ia bukan sedang mengarahkannya kepada putra terkasihnya, melainkan kepada diri lamanya, yang belum sepenuhnya terbebas dari ikatan duniawi. Di situlah momen transformatif itu: ketika pisau tidak jadi meneteskan darah manusia, tapi justru memotong tali yang mengikat jiwa kepada yang selain Tuhan.


Ketahuilah, bahwa cinta kepada anak, meski sah dan naluriah, bisa menjadi tirai. Tirai tipis yang menghalangi pandangan ruhani manusia. Ismail dalam kisah Ibrahim adalah cermin cinta duniawi yang paling suci,  tetapi cinta seperti itu menurut para sufi tetap cinta duniawi yang harus disayat. Maka dalam qurban, manusia diminta untuk menyembelih keterikatan yang menjadikannya berhala kecil dalam hati.

 

Qurban dan Hasrat yang Tak Pernah Puas

Lalu apa relevansi ibadah qurban bagi manusia modern yang hedonis dan materialis?

 

Dalam dunia modern yang bising, yang disusupi aneka iklan, gaya konsumtif, dan semarak pencitraan, manusia telah membangun altar baru: yaitu dirinya sendiri. Ia sujud bukan lagi kepada Tuhan, melainkan kepada bayangannya sendiri di cermin. Ia tidak lagi berkurban demi Yang Gaib, tetapi justru mengurbankan segala makna demi pencapaian yang bisa diukur, dilihat, dan dipamerkan.

 

Di sinilah ibadah qurban tampil bukan hanya sebagai ritus keagamaan, tetapi sebagai kontra-narasi spiritual terhadap peradaban modern yang terobsesi pada tubuh, kepemilikan, dan kepuasan instan. Qurban adalah protes yang senyap namun mendalam terhadap hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan tertinggi, serta materialisme yang menurunkan nilai manusia menjadi sekadar angka, status sosial, atau barang yang dipajang.

 

Ali Syariati, dengan kepekaan eksistensialnya, membaca qurban sebagai tindakan revolusioner. Menurutnya, menyembelih Ismail adalah metafora dari membunuh ego, melepaskan kepemilikan, dan menundukkan kehendak diri kepada kehendak Ilahi. Dalam dunia yang mengajarkan "aku, milikku, untukku", Syariati justru menyeru: “Sembelihlah keakuanmu, karena di sanalah letak perbudakanmu yang sejati.”

 

“Zaman ini,” tulis Syariati, “adalah zaman di mana berhala-berhala baru bermunculan dalam bentuk modern: mobil mewah, apartemen, gelar, kekuasaan, dan tubuh yang dibentuk seperti dewa. Tapi berhala tetaplah berhala—apa pun wujudnya.” Semua kemelakatan itu harus disayat, disingkirkan dalam diri manusia.

 

Dalam pandangan tasawuf, ego adalah hijab terbesar antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazali menyebut nafs al-ammārah sebagai sumber segala penyakit batin. Sedang Rumi menyindir ego sebagai "penjara dari kaca"—ia tampak indah, tetapi mengurung cahaya batin. Maka qurban adalah upaya menghancurkan penjara itu, menghancurkan “aku” agar terbuka jalan menuju “Engkau”.

 

Dan dalam dunia modern, ‘penyembelihan’ itu bukan terjadi di Mina, tetapi dalam setiap detik ketika manusia berani menolak sistem yang memaksanya menjadi konsumtif, narsistik, dan egoistik. Qurban menjadi latihan spiritual untuk detachment (pelepasan), sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be? bahwa manusia modern telah kehilangan being karena terlalu terobsesi pada having. Qurban, dalam hakikatnya, mengajak manusia untuk kembali dari memiliki kepada menjadi.

 

Di zaman yang menanamkan bahwa eksistensi ditentukan oleh jumlah followers dan saldo rekening, qurban datang sebagai pelajaran abadi bahwa kebermaknaan hidup justru terletak pada kemampuan untuk melepaskan. Bahwa kebahagiaan sejati bukanlah akumulasi, melainkan pengorbanan dengan segala kepasrahan dan keberserahan yang total sebagaimana telah diajarkan Khalilullah Ibrahim As.

 


Tidak ada komentar: