Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di balik kisah yang menyayat
hati tentang Ibrahim dan Ismail — yang kerap dibaca secara literal sebagai
narasi tentang ketaatan nabi kepada perintah Tuhan — para sufi membaca teks purba
ini justru dengan mata batin yang lembut dan tajam. Mereka memasukinya lebih
jauh ke dalam wilayah yang lebih intim dan sublim: ke dalam rahasia batin dan
perjalanan cinta ruhaniah.
Qurban, bagi para
sufi, bukan sekedar ritual atau ibadah formal tahunan. Ia adalah tahap agung
dalam perjalanan menuju fana’ — yaitu lenyapnya diri dalam kehadiran
Tuhan. Dan dalam kisah Ibrahim yang menggetarkan jiwa itu, yang sesungguhnya
dikorbankan bukanlah Ismail, melainkan keakuan (ego) Ibrahim itu
sendiri: rasa memiliki, rasa mencintai sesuatu selain Allah, bahkan rasa
kebapakan yang menjadi bagian dari dunia.
Jalaluddin Rumi dalam
Matsnawi menggambarkan hal itu dengan sangat baik: “Lihatlah Ibrahim,
ia tidak membunuh anaknya. Ia membunuh dirinya sendiri, yang bernama keakuan, yang
memisahkan pecinta dari Kekasih-nya.” Dan setelah beberapa abad yang silam
pasca-Rumi, Ali Syariati dalam Hajj menyampaikan hal yang senada. Menurutnya,
Ismail hanyalah simbol dari apa yang paling dicintai manusia di dunia. Ia bisa
berupa anak, harta, nama baik, pangkat, jabatan, bahkan diri sendiri.
Dalam magnum opusnya itu, Ali Syariati mengajak
manusia menziarahi makna terdalam dari sebuah perintah purba yang lahir dari
langit dan bersemayam dalam lubuk kesadaran profetik: menyembelih Ismail. Baginya,
Ismail bukan semata anak Ibrahim, bocah suci yang dihamparkan di atas batu
karang Mina dengan dada yang lapang dan jiwa yang pasrah. Ismail adalah segala
yang dicintai manusia, segala yang membuat dada berdebar dan hati terikat,
segala yang melahirkan rasa takut kehilangannya.
"Setiap manusia," tulis Syariati, "memiliki Ismailnya
masing-masing." Maka Mina bukan hanya sebidang tanah di jazirah Arab,
tapi medan spiritual yang sunyi di dalam dada manusia. Di sanalah, setiap anak
Adam diuji untuk menyembelih apa yang paling dicintainya, agar ia bisa
mencintai Sang Pemilik Cinta itu sendiri. Ismail adalah cermin, dan dalam
cermin itu kita melihat apa yang menawan hati kita selain Tuhan.
Martin
Buber, dalam I and Thou, menyiratkan bahwa
relasi manusia yang autentik hanya terjadi bila manusia mampu keluar dari
dirinya dan menanggalkan ego yang membatu. Dalam kerangka ini, "Ismail"
adalah ego yang membuat relasi manusia dengan Tuhan dan sesama menjadi relasi
yang semu, relasi "aku–itu", bukan "aku–Engkau". Maka
menyembelih Ismail berarti menembus ruang antara, menyucikan cinta dari
kepemilikan dan menyingkap wajah Yang Maha Lain.
Maka saat Ibrahim mengarahkan pisau, sesungguhnya ia bukan sedang mengarahkannya kepada putra terkasihnya, melainkan kepada diri lamanya, yang belum sepenuhnya terbebas dari ikatan duniawi. Di situlah momen transformatif itu: ketika pisau tidak jadi meneteskan darah manusia, tapi justru memotong tali yang mengikat jiwa kepada yang selain Tuhan.
Ketahuilah, bahwa cinta kepada anak, meski sah dan naluriah, bisa menjadi tirai. Tirai tipis yang menghalangi pandangan ruhani manusia. Ismail dalam kisah Ibrahim adalah cermin cinta duniawi yang paling suci, tetapi cinta seperti itu menurut para sufi tetap cinta duniawi yang harus disayat. Maka dalam qurban, manusia diminta untuk menyembelih keterikatan yang menjadikannya berhala kecil dalam hati.
Qurban
dan Hasrat yang Tak Pernah Puas
Lalu apa relevansi ibadah
qurban bagi manusia modern yang hedonis dan materialis?
Dalam dunia modern
yang bising, yang disusupi aneka iklan, gaya konsumtif, dan semarak pencitraan,
manusia telah membangun altar baru: yaitu dirinya sendiri. Ia sujud bukan lagi
kepada Tuhan, melainkan kepada bayangannya sendiri di cermin. Ia tidak lagi
berkurban demi Yang Gaib, tetapi justru mengurbankan segala makna demi
pencapaian yang bisa diukur, dilihat, dan dipamerkan.
Di sinilah ibadah
qurban tampil bukan hanya sebagai ritus keagamaan, tetapi sebagai kontra-narasi
spiritual terhadap peradaban modern yang terobsesi pada tubuh, kepemilikan,
dan kepuasan instan. Qurban adalah protes yang senyap namun mendalam terhadap
hedonisme yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan tertinggi, serta
materialisme yang menurunkan nilai manusia menjadi sekadar angka, status
sosial, atau barang yang dipajang.
Ali Syariati, dengan
kepekaan eksistensialnya, membaca qurban sebagai tindakan revolusioner.
Menurutnya, menyembelih Ismail adalah metafora dari membunuh ego, melepaskan
kepemilikan, dan menundukkan kehendak diri kepada kehendak Ilahi. Dalam dunia
yang mengajarkan "aku, milikku, untukku", Syariati justru menyeru:
“Sembelihlah keakuanmu, karena di sanalah letak perbudakanmu yang sejati.”
“Zaman ini,” tulis
Syariati, “adalah zaman di mana berhala-berhala baru bermunculan dalam bentuk
modern: mobil mewah, apartemen, gelar, kekuasaan, dan tubuh yang dibentuk
seperti dewa. Tapi berhala tetaplah berhala—apa pun wujudnya.” Semua kemelakatan
itu harus disayat, disingkirkan dalam diri manusia.
Dalam pandangan
tasawuf, ego adalah hijab terbesar antara manusia dan Tuhan. Al-Ghazali
menyebut nafs al-ammārah sebagai sumber segala penyakit batin. Sedang
Rumi menyindir ego sebagai "penjara dari kaca"—ia tampak indah,
tetapi mengurung cahaya batin. Maka qurban adalah upaya menghancurkan penjara
itu, menghancurkan “aku” agar terbuka jalan menuju “Engkau”.
Dan dalam dunia
modern, ‘penyembelihan’ itu bukan terjadi di Mina, tetapi dalam setiap detik
ketika manusia berani menolak sistem yang memaksanya menjadi konsumtif,
narsistik, dan egoistik. Qurban menjadi latihan spiritual untuk detachment
(pelepasan), sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be?
bahwa manusia modern telah kehilangan being karena terlalu terobsesi
pada having. Qurban, dalam hakikatnya, mengajak manusia untuk kembali
dari memiliki kepada menjadi.
Di zaman yang
menanamkan bahwa eksistensi ditentukan oleh jumlah followers dan saldo
rekening, qurban datang sebagai pelajaran abadi bahwa kebermaknaan hidup justru
terletak pada kemampuan untuk melepaskan. Bahwa kebahagiaan sejati bukanlah
akumulasi, melainkan pengorbanan dengan segala kepasrahan dan keberserahan yang
total sebagaimana telah diajarkan Khalilullah Ibrahim As.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar