Oleh Mohamad Asrori Mulky
Aku
masih menyimpan dengan utuh ingatan tentang hari pertama ketika kaki ini
menjejak gerbang Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek, Tangerang. Waktu
itu, adzan zuhur sedang berkumandang, melayang di antara terik matahari yang
begitu menyala, seolah langit hendak menguji keteguhan langkah seorang anak
muda yang datang dengan sejuta harap dari daerah terpencil bernama Jiput. Panas
menyengat dahi hingga meneteskan peluh, tetapi justru di dalam dada tumbuh
getar bahagia yang tak tertahankan: inilah hari pertama, saat sebuah perjalanan
panjang dimulai—perjalanan menuju rumah kedua, sekolah jiwa, ladang ilmu, dan
samudra pengalaman yang tak akan pernah kering.
Dari
kejauhan, mataku menangkap sosok seorang kiai luhur dengan ilmu dan kharisma, keluar dari rumah sederhana.
Beliau berjalan dengan langkah tenang menuju mushala, hendak mengimami santri
yang telah menunggu. Seketika, seolah ada takdir kecil yang bekerja, beliau
menoleh ke arahku—anak asing yang masih berdiri ragu di depan gerbang. Wajah kiai itu begitu teduh, matanya penuh kasih, dan sebuah senyum menawan mengembang ke arahku bagai cahaya
fajar yang menyejukkan sisa-sisa malam yang dingin. Senyum itu seolah berbicara
tanpa kata: “Selamat datang, anakku. Di sinilah engkau akan belajar, ditempa,
dan dibimbing.”
Sekejap
panas yang menguasai udara siang itu luruh oleh kesejukan batin. Di hadapan senyum itu,
aku tak lagi merasa asing. Aku merasa pulang ke rumahku sendiri.
Kiai
itu bernama KH. Ahmad Maimun Alie, MA. Beliau telah "berpulang", kembali kepangkuan Illahi dengan tenang dan damai. Aku merasa pertemuan pertama dengan senyum beliau saat itu menjadi penanda perjalanan rohani yang panjang. Dari senyum itulah aku belajar,
bahwa pesantren bukan semata ruang untuk menimba ilmu, melainkan rumah kasih
sayang, tempat di mana senyum guru adalah doa, tatapan beliau adalah pelita,
dan bimbingannya adalah jalan keselamatan. Harapan yang tadinya samar,
tiba-tiba berubah menjadi keyakinan yang bulat: di Subulussalam, aku akan
menemukan cahaya.
Mistikus
Islam Jalaluddin Rumi pernah berkata: “Apa yang berasal dari hati, akan sampai
ke dalam hati.” Senyum sang kiai itulah bahasa hati yang tak pernah usang;
sebuah bahasa kasih yang menembus segala jarak. Dan benar adanya pepatah Arab
yang diwariskan para ulama: “Al-mu’allim rahmah, wal-mu’allim siraj.”
Guru adalah rahmat, guru adalah pelita.
Maka
sejak detik itu aku memahami, bahwa ilmu tidak hanya tumbuh dari buku,
melainkan juga dari sikap, dari tatapan, dari senyum yang lahir dari jiwa
seorang kiai. Seperti yang pernah diungkapkan Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa adab
bagaikan api tanpa kayu bakar.” Di Subulussalam, ilmu dan adab berpadu;
keduanya mengalir bersama, menjadi sungai jernih yang menuntun santri menuju
samudra hikmah.
****
Dan
kini, Subulussalam sudah berusia 35 tahun. Di usia tiga puluh lima tahun ini
seolah menjadi jeda yang bening: sebuah titik koma dalam kalimat panjang
sejarah, saat kita menoleh ke belakang dengan rasa syukur dan menatap ke depan
dengan nyala harap. Tiga puluh lima tahun bukan sekadar hitungan musim; ia
adalah anyaman pagi yang tekun, malam yang khusyuk, dan siang yang tak henti
mengukir kerja—pada buku, pada diri, pada bumi tempat di mana kita berpijak. Di
lumbung-lumbung padi Kresek, angin membawa kabar tentang santri yang datang
dengan mimpi dan pulang dengan amanah. Di serambi-serambi Subulussalam, ilmu
tak pernah berjalan sendirian; ia selalu bergandengan tangan dengan adab agar
siapa saja yang mereguknya mendapat kemuliaan.
Di
sinilah sebuah filosofi merapat ke tubuh ikhtiar: modern tetapi bersujud, maju
tanpa kehilangan arah kiblat. Nurcholish Madjid atau yang biasa disapa Cak Nur pernah
mengingatkan dengan jernih, “Modernisasi adalah rasionalisasi, bukan
Westernisasi.” Kalimat ini, ringkas namun bernas, seolah menjadi janji
diam-diam yang dijaga Subulussalam: bahwa pembaruan bukan penyeragaman, bahwa
sains dan teknologi adalah alat kebajikan bila dipandu cahaya kalam. Maka
kurikulum—seperti sungai yang bertemu muara—menyatukan fikih dan fisika,
balaghah dan biologi, ushuluddin dan ilmu data. Di kelas-kelas yang terang,
ayat-ayat kauniyah dibaca dengan rasa ingin tahu yang riang, sementara
ayat-ayat qauliyah dilafazkan dengan hati yang rendah.
Abdurrahman
Wahid, Gus Dur, mengingatkan jejak identitas yang khas itu ketika ia menulis,
“Pesantren adalah subkultur.” Bukan sekadar institusi, pesantren menyimpan
ekologi nilai, ritme sosial, dan tata rasa yang memerdekakan. Di dalam
subkultur itulah Subulussalam tumbuh: menjaga yang lama yang baik, menyambut
yang baru yang lebih baik [المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح]. Subkultur ini mengajari kita cara
berjalan di atas dua jalan yang sejajar—tradisi yang meneduhkan dan inovasi
yang mencerahkan—tanpa membuat keduanya saling meniadakan.
Indonesianis
seperti Clifford Geertz pernah menyebut pesantren sebagai “the classical
Islamic boarding school”—sebuah pusat pengkaderan santri yang menegaskan
ortodoksi sembari berdialog dengan realitas setempat. Martin van Bruinessen
menunjukkan bagaimana “kitab kuning” menjadi tulang punggung transmisi ilmu,
bukan sebagai fosil masa silam, melainkan sebagai organisme pengetahuan yang
terus bernafas melalui syarah, hasyiyah, dan karya-karya baru.
Dari bingkai ini, kontribusi Subulussalam terbaca: menjaga kesinambungan sanad
intelektual sekaligus mendorong keberanian metodologis untuk menjawab soal-soal
kontemporer—ekologi pesisir, ekonomi kreatif, literasi digital, hingga moderasi
beragama. Tradisi luhur semacam ini tidak boleh ditepikan, apalagi dihilangkan dari kurikulum pesantren.
Tiga
setengah dekade terakhir, Subulussalam menulis kisahnya bukan hanya di kelas-kelas
lusuh, tetapi juga di ruang-ruang sosial. Di saat bangsa memerlukan jembatan,
pesantren hadir sebagai penyeberangan yang aman: menautkan desa dan kota,
sekolah dan keluarga, pasar dan mushala. Ketika negara memerlukan argumen
kebangsaan yang lembut namun tegas, santri mengajukan dalil-dalil etika publik:
cinta tanah air sebagai kesalehan sosial, ketaatan hukum sebagai bentuk kepatuhan
pada kemaslahatan. Di sini gema pemikiran Cak Nur terasa dekat: agama dan
negara tak mesti berhadap-hadapan; keduanya dapat bersekutu dalam cita-cita
keadaban. Modernisasi, demikian ruh pesannya, menuntut kedewasaan akal—dan
pesantren menyediakan disiplin batin agar akal tidak tersesat oleh keangkuhan.
Gus
Dur menafsirkan peran itu dengan berkali-kali menekankan fungsi pesantren
sebagai agen perubahan sosial. Subulussalam mewujudkannya dalam skala yang
setia sekaligus kreatif: program pengabdian yang merangkul warga, literasi yang
menghidupkan balai, pelatihan wirausaha yang mengubah bakat menjadi manfaat,
dan teladan toleransi yang tak lelah menenangkan perbincangan-perbincangan yang
bising. Di halaman pesantren, keberagamaan menjadi taman: tiap bunga tumbuh
sesuai warna, tiap harum saling menguatkan, dan tanahnya disirami oleh
adab—adab pada ilmu, pada guru, pada sesama.
Sejak
semula, pesantren mendidik manusia utuh: jasad yang terlatih, akal yang cermat,
dan ruh yang teduh. Subulussalam menambahkan aksen zamannya: kecakapan abad
ke-21. Santri belajar merangkai argumen seteliti ulama ushul, menulis laporan
setertib auditor, berdiskusi sefixi ruh musyawarah, dan memanfaatkan teknologi
seperti tukang kayu memegang pahat—sadar alat, tahu batas. Ilmu pengetahuan
modern bukan altar, melainkan obor; ia menyala untuk menerangi, bukan
menyilaukan. Dan tak ada obor yang abadi jika tak diberi minyak akhlak.
Pada
usia 35, ada hikmah yang pantas dirayakan, yaitu ketahanan. Ketahanan menghadapi
gelombang nasional yang datang silih berganti—krisis literasi, ekonomi, pandemi, fragmentasi sosial, dan polarisasi
wacana. Subulussalam bertahan bukan karena keras kepala, tetapi karena
luwes—seperti bambu yang lentur namun tak patah. Lentur dalam metode, teguh
dalam tujuan. Teguh pada tauhid, lentur pada strategi. Teguh pada akhlak,
lentur pada ekspresi budaya. Di sinilah kearifan lokal bertemu universalitas
Islam: tradisi Banten yang bersahaja menyalami kosmopolitanisme ilmu.
Kontribusi
bagi bangsa, negara, dan agama bukan jargon di spanduk ulang tahun; ia hadir
sebagai laku harian. Bagi bangsa, Subulussalam menyumbang kohesi sosial:
menumbuhkan warga yang sanggup berbeda tanpa bermusuhan, yang hafal doa
sekaligus peka data. Bagi negara, ia memanen buah kepatuhan sipil: taat aturan
bukan karena takut sanksi, melainkan karena paham makna maslahat. Bagi agama,
ia menjaga aliran makna: agar ibadah tidak mengeras menjadi ritual kosong, dan
agar syariat tetap berbuah menjadi keadilan dan kasih.
Geertz,
dengan lensa antropologisnya, pernah memperlihatkan betapa jaringan simbol,
ritus, dan pengetahuan di pesantren membentuk struktur makna yang mengikat
komunitas. Namun para santri Subulussalam menunjukkan sesuatu yang lebih: bahwa
struktur makna itu tak statis. Ia tumbuh bersama pengalaman: menafsir ulang
teks tanpa menistakan penulisnya, memelihara tradisi tanpa memenjarakan
kemungkinan. Van Bruinessen menandai dinamika ini ketika ia menulis tentang
mobilitas intelektual ulama dan santri—pertemuan pasar kitab, halaqah
lintas-kota, dan pengetahuan yang berpindah dari rak ke laku.
Pada
akhirnya, ulang tahun bukanlah tepuk tangan untuk diri sendiri, melainkan
pengingat akan amanah. Tiga puluh lima tahun adalah prolog yang panjang;
bab-bab berikutnya menunggu keberanian baru. Semoga Subulussalam menjaga tiga
keseimbangan: antara dalil dan data, antara zikir dan fikir, antara akar dan
sayap. Akar agar tidak tercerabut dari tanah kemanusiaan; sayap agar mampu
terbang mengejar cakrawala pengetahuan.
Di
ambang fajar peringatan ini, mari kita kirimkan doa yang sederhana tetapi
dalam: semoga Allah menjaga para guru yang menjadi mata air, para santri yang
menjadi sungai, para alumni yang menjadi hujan, dan para orang tua yang menjadi
awan peneduh. Semoga Subulussalam terus mengukir jejak yang halus namun
kuat—jejak ilmu yang menyala tetapi menenangkan, jejak adab yang sunyi tetapi
menggerakkan, jejak bakti yang kecil di mata manusia namun besar di sisi-Nya.
Dan
bila suatu saat, anak-anak kita bertanya apa arti 35 tahun bagi sebuah
pesantren, kita bisa menjawab: ini adalah umur sebuah janji—janji untuk setia
pada ilmu, berani pada zaman, dan rendah hati pada Tuhan. Selamat milad ke-35,
Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek. Langitmu semoga selalu luas;
tanahmu semoga selalu subur; dan jalanmu, seperti namamu, selalu menjadi “subul
al-salām”—jalan-jalan keselamatan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar