Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 19 Juni 2023

Islam Tercecer di Tubir Umat Lain


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Dalam rentang waktu yang cukup panjang, Islam telah mengalami banyak pergumulan dengan ragam peradaban dunia. Berbagai lapis kebudayaan dari berbagai dunia mampu diserap dengan baik, tanpa harus menghilangkan doktrin dan kemurnian Islam yang dimilikinya.

 

Kemampuan menyerap unsur-unsur yang datang dari luar itu, mestinya jadi modal utama dalam mengembangkan keadaban Islam dalam relasinya dengan peradaban Barat yang kini unggul di hampir lini kehidupan. Patut diakui dengan lapang dada pencapaian Barat begitu menakjubkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi mereka maju pesat, bahkan mampu menembus batas bumi hingga mencapai luar angkasa.

 

Sementara Islam nasibnya kian tercecer di tengah etos umat (Islam) yang merepih seperti pasir: rapuh tanpa pondasi dan kendali. Bassam Tibi dalam The Crisis of Modern Islam: A Preindustrial Culture in the Scientific-Technological Age, menyebut negara-negara Islam masih dalam kultur pra-industri. Belum ada satu negara Islam di dunia masuk dalam kategori negara maju yang mampu mengimbangi capaian Barat.

 

Hingga kini, umat Islam hanya menjadi pengekor, konsumen ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, seni, dan budaya. Sementara negara-negara Barat menjadi produsen produks-produks modernitas, dan kian kokoh menancapkan cakar-cakarnya. Mereka menjadi aktor utama dalam percaturan dunia, dan bisa dikatakan menjadi pengendali masa depan negara-negara dunia ketiga.

 

Kalaupun kita terpaksa harus menyebut beberapa negara Islam seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, masuk ke dalam negara sedang membangun (developing countries), kata Bassam Tibi, itu karena faktor kekayaan minyak dan gas bumi yang mereka miliki, bukan karena kemampuannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi paling mutakhir.

 

Dan faktanya, yang mengembangkan sumber daya alam melimpah itu bukan Saudi dan Emirat Arab, melainkan negara-negara industri maju, seperti Amerika Serikat (AS). Ketertinggalan Dunia Islam adalah fakta yang tak mungkin kita ingkari. Negara-negara Islam harus segera mengatasi problem yang sedang mereka hadapi. Kalau tidak akan makin dalam terperosok ke dalam kemunduran yang tak terperikan lagi.

 

Pertanyaannya, mengapa Islam masih, dan kian tercecer di tubir umat lain? Mengapa umat Islam seperti berjalan dengan beban berat di pundaknya, sementara Barat melesat laksana kilat meninggalkan kita?

 

Pertanyaan menohok semisal ini sebetulnya pernah diajukan Syakib Arsalan di tahun 1930 dalam karyanya Limadza Taakhara Al Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Mengapa Islam tertinggal dan mengapa Barat maju?). Jauh sebelumnya, Abdullah Nadhim pada tahun 1893, juga mengajukan pertanyaan yang serupa, Mengapa Bangsa Arab Maju dan Kita Mundur?. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Islam mengajukan pertanyaan yang serupa.

 

Dalam menghadapi kemajuan akibat modernitas, umat Islam seperti berpijak di dua tempat yang berbeda. Satu kaki umat Islam ingin meniru kemajuan Barat namun tak berdaya. Dan kaki yang lain, masih berpijak di tradisi masa lalu karena tak mampu membacanya dengan bacaan kontemporer (qira’ah mu’ashirah), apalagi sampai meninggalkannya demi mengejar ketertinggalan.

Problem Laten

Isu kemunduran Islam kini dikaji dan menjadi perhatian serius para pakar, akademisi dan kaum cendikiawan. Seruan pembaruan Islam digemakan oleh para pembaharu seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Taha Husein, Muhammad Iqbal, Ali Syariati, Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Abed Al Jabiri, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaed, Ali Ahmad Said (Adonis), dll. Semuanya sepakat mencari akar kemunduran Islam dan berupaya menemukan solusinya.

 

Ada banyak hipotesa mengenai sebab kemunduran umat Islam. Pertama, paham agama yang ekslusif. Kedua, sektarianisme. Ketiga, meninggalkan metode rasional dan eksperimental. Keempat, jauh dari kultur demokrasi dan minimnya partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa. Kelima, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang meningkat. Keenam, gagal menciptakan keadilan sosial dan persamaan di lingkuan negara dan masyarakat Arab.

 

Dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud mengulas semua problem yang dihadapi umat Islam di atas. Sektarianisme menjadi persoalan mendasar. Ini terjadi sejak berabad-abad yang lalu, dalam waktu yang cukup panjang. Konflik Sunni-Syiah dari dulu hingga kini tidak lebih menjadi baik. Apalagi bila konflik teologis itu dibumbui persoalan politik identitas dan kekuasaan. Kadang, luka lama mereka buka kembali. Tak peduli betapa bau busuk itu menyengkat bagi kehidupan Islam masa kini.

 

Perlu diketahui, problem sektarianisme yang terjadi di tubuh umat Islam itu berlapis-lapis, bukan semata pada wilayah keagamaan, tapi juga pada wilayah budaya, etnis atau kabila, sejarah, dan politik. Kesemuanya itu sedikit banyak berkontribusi pada keadaan umat Islam yang makin runyam. Sampai saat ini, rasa kesukuan Dunia Arab masih menonjol. Warisan masa lalu itu tidak pernah hilang. Malah dibawa turun temurun.

 

Ibnu Khaldun dalam Muqodimah-nya menggambarkan dengan baik bagaimana Dunia Arab begitu fanatik terhadap suku dan kabilahnya. Solidaritas kesukuan ini di masa lalu, bahkan di masa-masa berikutnya sering menjadi peletup peperangan di antara mereka sendiri. Permusuhan yang berdarah-darah antara Bani Ummayah dengan Bani Abbasiyah menjadi bukti bagaimana rasa kesukuan dan kabilah di tubuh umat Islam masih kental. Bahkan para sejarawan membeberkan konflik sektarianisme ini sudah terjadi di hari di mana Nabi Muhammad Saw wafat.

 

Perseteruan awal umat Islam yang diwakili Muhajirin dan Anshor di Bani Tsaqifah, memperebutkan kepemimpinan pasca Nabi. Sejarawan mengisahkan bagaimana keributan dua kelompok itu begitu keras dan nyaris terlibat konflik fisik. Tetapi konflik itu segera bisa diatasi setelah sebelumnya berdebat tentang keutamaan Suku Quraish (Muhajir) dari kaum Anshor. Mengenai cerita ini, Khalil Abdil Karim dengan cemerlang mengulas hegemoni Suku Quraish dalam menentukan masa depan umat Islam di tahun-tahun berikutnya.

 

Apa yang terjadi pada dunia Islam, terutama pada bangsa Arab saat ini, seperti sebuah tragedi yang sulit dipahami. Agaknya tidak ada kosa kata yang lebih tepat menggambarkan tragedi kemanusiaan yang terus meningkat di banyak negara Arab pasca-Perang Dunia II. Negara-negara Arab terus berperang. Dan perang yang terlanjur digelar itu masih sulit ditemukan titik damainya.

 

Pengalaman pahit tentang kegagalan Arab Spring menambah masa depan masyarakat Arab makin terpuruk. Transisi menuju demokrasi di Dunia Arab malah menghasilkan instabilitas, kehancuran, dan kehidupan tanpa arah. Di tengah situasi seperti itu, kekuatan non-negara radikal seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), muncul memusuhi umat Islam lain yang berbeda haluan dan arah pandangan. Meski kini ISIS mengalami kemunduran signifikan dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Arab masih belum bisa keluar dari kemelut yang membelitnya.

 

Kolumnis asal Lebanon, Gassan Charbel menulis artikel di harian Asharq Al Awsat. Dalam tulisan tersebut dia mengibaratkan keadaan negara-negara Arab seperti orang sakit parah dan selalu menunggu dokter dari luar negeri untuk mengobatinya. Dengan meminta pertolongan kepada dokter luar memberi isyarat seolah dunia Arab sendiri tidak mampu mengobati penyakit yang dideritanya karena penyakitnya terlalu ruwet dan rumit.

 

Ahmet T. Kuru dalam Authoritarianism and Underdevelopment, menganalisa aspek politik dan teologi yang membuat dunia Islam kian terbelakang, baik dalam sains, ekonomi, politik, bahkan seni dan kebudayaan. Menurutnya, krisis laten yang membekap Dunia Arab dan Islam disebabkan krisis politik berkepanjangan yang menghancurkan prestasi peradaban yang dibangun selama berabad-abad.

 

Kuru menyebut, terjadi perebutan kekuasaan di antara umat Islam dengan menjadikan agama dan ulama sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Akibatnya, dunia Islam tidak memiliki pusat riset dan pengembangan keilmuan kelas dunia yang independen. Secara ekonomi dan politik, para ulama berada di bawah kontrol kekuasaan. Situasi ini diperburuk oleh tiadanya kelas borjuis yang juga independen. Tanpa ulama dan kelas pedagang yang kuat dan berdiri di luar kekuasaan negara, ketika penguasa jatuh maka masyarakat ikut jatuh.

 

Begitulah keadaan umat Islam Dunia, terpolarisasi ke dalam banyak kepentingan yang pada akhirnya sulit mencari titik temu di antara mereka sendiri. Perbedaan mazhab dan golongan menjadi pemicu perang. Rasa persaudaraan di antara sesama umat Islam hanyalah jargon dan ajaran semata. Namun tidak dibuktikan dalam dunia nyata. Islam hanya sebatas formalitas, sementara subtansinya masih jauh panggang dari api.

Tidak ada komentar: