Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di bab pembuka dalam buku ini, Reopening Muslim Minds, Mustafa Akyol memulainya dengan kisah Hayy ibn Yaqzhan. Bila diterjemahkan secara bebas Hayy ibn Yaqzhan berarti 'Hidup Putra Kesadaran', maknanya sangat simbolis, yaitu tentang manusia yang berkesadaran, yang saat ini, saya kira, telah hilang dari diri umat Islam namun dirawat dengan baik oleh orang lain.
Hidup (hayy) bukan sekedar hidup yang menubuh tanpa jiwa dan daya. Tapi hidup yang menghidupi daya-daya/jiwa-jiwa rasional, dan kesanggupan mengaktualkan segenap potensi yang ada di dalam diri. Itulah ciri manusia berkesadaran (yaqzhan) yang mampu mengembangkan kemampuan dalam diri hingga memperoleh ilmu sejati dan kebenaran hakiki.
Dalam cerita rekaan Ibn Thufail, Hayy adalah anak manusia yang terpisah sejak kecil dari ibunya. Dia hidup seorang diri di tengah hutan tak berpenghuni. Berbekal daya rasional dan perenungan yang mendalam, dia mampu menyingkap rahasia kehidupan, fenomena alam, nilai-nilai (etika), dan kebenaran tentang Tuhan. Semua itu dia peroleh tanpa bantuan wahyu (agama).
Hayy ibn Yaqzhan adalah cerita roman tentang kemungkinan perjumpaan akal dengan Tuhan, tentang kesadaran yang diperoleh manusia lewat jalur perenungan (jiwa rasional). Hanya saja, saya ulangi sekali lagi, kesadaran itu kini telah hilang dari kehidupan umat Islam: kritisisme (nalar burhani) redup, penyelidikan suram, dan ekperimentasi (nalar tajribi) diabaikan.
Sementara Barat, yang sempat menjalani kehidupan kelam mampu mengambil alih penalaran dan penyelidikan dari ulama-ulama Islam. Hasilnya cukup menakjubkan. Kini, Barat menjelma bangsa dengan peradaban maju tingkat tinggi dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Mereka menjadi percontohan. Bahkan negara-negara Islam hidup mengekor tak bisa lepas dari kemajuan Barat.
Maka, tidaklah heran bila Mustafa Akyol mengajukan pertanyaan sangat relevan dalam buku ini: mengapa kesadaran (penalaran dan penyelidikan) meredup dan menghilang dari negeri-negeri berpenduduk Muslim? Mengapa umat muslim terus tertinggal dan makin tercecer dari bangsa lain?
Kemunduran Islam, kata Akyol, dipicu konflik ideologis dan teologis di internal umat sendiri. Konflik itu sering begitu keras dan mematikan. Di mana kutub postulat teologis yang tidak memberi ruang bagi reasoning (penalaran/akal) pada akhirnya menjadi begitu dominan. Teologi Asy’ariyah menguasai kehidupan umat Islam pasca kekelahan kaum rasional; Muktazilah dan para filosof.
Kemenangan Asy’ariyah atas Muktazilah dan para filosof berdampak pada tertutupnya ruang-ruang pemikiran dan penyelidikan, yang sebelumnya demikian cemerlang dilahirkan oleh para sarjana Muslim masa dulu. Akal yang menjadi dasar pengetahuan manusia sebagaimana dikisahkan dalam Hayy ibn Yaqzhan di atas, dicurigai, bahkan dituduh menjadi penyebab kemunduran Islam. Padahal akal itu sendiri, kata Fakhruddin al Razi, dasar bagi naql.
Sementara konflik internal yang bersifat ideologi-politis kian membenamkan umat Islam dari percaturan dunia global. Lihatlah perang saudara antara Sunni dan Syia’ah sampai sekarang masih terus berkobar. Masing-masing saling mengalahkan untuk keluar menjadi sang pemenang. Mereka telah memelihara dendam sejarah masa lalu, hal yang sebetulnya tidak boleh terulangi lagi di alam modern seperti saat ini.
Belum lagi ideologi-politis sekelompok Islam yang menghendaki berdirinya sistem khilafah, faham wahabisme, dan kemuculan Islam garis keras dalam bentuknya paling ekstrims seperti para teroris yang kerap mengatasnamakan agama. Semua itu makin menenggelamkan citra Islam di mata dunia. Islam makin terpojok, tersisih dalam percakapan dunia dalam membangun dunia baru yang plural dan berkeadilan.
Dalam buku ini, Akyol benar-benar mengarahkan telunjuknya kepada teologi Asy’ariyah sebagai penyebab kemunduran Islam. Saat menjelaskan kenapa umat Muslim kehilangan moralitas (why we lost morality?), kenapa umat Muslim kehilangan universalisme (why we lost universalism?), dan kenapa umat Muslim kehilangan sains, (why we lost science?), Akyol menunjuk hidung Asy’ariyah sebagai penyebabnya.
Wajar saja, Asy’ariyah adalah teologi yang paling banyak diterima umat Islam dunia. Keberadaanya begitu dominan, tidak hanya dalam soal-soal keagamaan, tapi juga dalam urusan politik mereka mampu mencengkeramkan pengaruhnya begitu kuat dan dalam. Doktrin teologinya terkesan anti-nalar begitu tertanah dalam benak umat hingga sikap apatis (jabariyyah) merasuk pada etos umat.
Meski begitu, Akyol tidak bermaksud memberhangus Asy’ariyah, dan menggantinya dengan teologi lain yang mendukung agendanya seperti Muktazilah atau nalar kaum filosof. Dalam buku ini, Akyol sedang merealisasikan agendanya, dengan mengambil inspirasi dari segi-segi teologis klasik yang dianggapnya seirama dengan agendanya, tanpa harus menghilangkan Asy’ariyah dari muka bumi ini.
Kritik keras namun berdasar Akyol pada teologi Asy’ariyah dimaksukan dalam rangka menemukan kembali nilai-nilai “pencerahan Islam” atau kesadaran (yaqzhan) Islam, seperti nalar (akal), kebebasan, dan toleransi. Akyol ingin membangkitkan ketiga nilai tersebut yang sengaja telah dikubur dalam-dalam oleh umat Islam sendiri. Buku ini layak dibaca bagi siapa saja yang peduli dan mengharapkan kebangkitan Islam. Waallahu’alambisshawab!
1 komentar:
Mantabb. Lanjutkan.
Posting Komentar