Asian Godfathers/SINDO |
Oleh: Mohamad Asrori Mulky*
Seputar Indonesia |
Minggu, 29 Maret 2009 |
Istilah
"godfather" pertama kali diperkenalkan oleh Mario Puzo dalam
novelnya, The Godfather, yang berkisah tentang seorang tokoh Vito Corleone.
Tokoh ini sangat
dihormati, dicintai, sekaligus ditakuti dan dibenci oleh kawan maupun
lawan-lawannya. Meski sebagai mafia penguasa New York, Vito dari Sisilia-Italia
ini menolak tradisi balas dendam. Kenyataan seperti itu tentu tidak lazim
dilakukan dalam dunia mafia yang identik dengan aksi barbarisme, anarkisme, dan
brutalisme terhadap kelompok di luar mereka.
Berbeda dengan buku The
Godfather karya Mario Puzo, buku Asian Godfathers karya Joe Studwell lebih
menggambarkan tradisitradisi paternalisme, kekuasaan laki-laki, penyendirian,
dan mistik yang benar-benar menjadi bagian dari kisah para taipan Asia dari dulu
hingga kini.
Karya ini bermaksud
menunjukkan pada pembaca bahwa ada mitologi lain yang tumbuh di antara para
taipan-taipan Asia, yang besar dan tak tersentuh. Dalam buku ini, Studwell
tidak menilai keseluruhan taipan Asia (godfather) sebagai spesies yang
benar-benar berhati dengki dan terlibat dalam sejumlah kejahatan
terorganisas--meski kenyataannya ada sebagian dari mereka terlibat kejahatan
terorganisasi tersebut.
Karena itulah para
taipan Asia ini sulit dijangkau dan diverifikasi. Bila kita perhatikan lebih
mendalam, seluruh rangkaian legenda yang terjadi di Asia, khususnya kawasan
Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, Hong Kong, dan
Filipina mengandung sejumlah submitos tentang ras, budaya, genetika,
entrepreneuralisme, dan keseluruhan dasar dari kemajuan ekonomi kawasan ini
sejak akhir kolonialisme.
Koran Sindo |
Maka, dalam pengertian
seperti inilah buku Asian Godfathers merupakan kebalikan dari The Godfather-nya
Mario Puzo. Dalam sejarah Asia Tenggara, seluruh perekonomian di kawasan ini
sepenuhnya dikendalikan oleh segelintir konglomerat atau taipan. Umumnya mereka
itu dikenal sebagai godfather Asia.
Menurut Studwell, pada
1990-an, mereka termasuk delapan dari 25 orang terkaya di dunia. Sebut saja
misalnya Li Ka-shing, sang miliuner Hong Kong; Stanley Ho, bandar kasino di
Macau; Lim Goh Tong, pemilik Genting Highland Resort yang sangat besar di
Malaysia; Lucio Tan, miliuner tembakau di Filipina; atau para konglomerat
Indonesia, dari Achmad Bakrie, Haji Kalla, Eka Tjipta Widjaya, hingga Tommy
Winata.
Dalam buku ini,
Studwell memberi analisa yang menarik tentang awal kemunculan para godfather
Asia. Menurutnya, lanskap ekonomi kontemporer Thailand, Malaysia, Indonesia,
Filipina, Singapura, dan Hong Kong dibentuk oleh interaksi antara dua kekuatan
sejarah, yaitu migrasi dan kolonialisme.
Kehadiran kaum imigran
ke daerah-daerah Asia ini, seperti India, China, dan Arab, mendahului kaum
kolonial Eropa. Mereka datang ke kawasan Asia tidak saja melibatkan diri dalam
urusan perdagangan, tapi juga dalam kegiatan- kegiatan lainnya. Di Thailand,
sejak abad ke-16 kaum imigran dipekerjakan dalam berbagai pekerjaan yang
disetujui oleh pengadilan.
Orang-orang Persia dan
China mengoperasikan monopoli- monopoli perdagangan dan jasa pengumpulan pajak.
Hingga abad ke-18, orang-orang China tercatat bekerja untuk pengadilan Thailand
sebagai administrator dan akuntan. Fenomena ini juga tak jauh berbeda terjadi
di Pulau Jawa di Indonesia.
Tercatat dengan jelas
bahwa para pengusaha China memasuki manajemen administratif dan pengelolaan
monopoli bersama kaum aristokrat Jawa sebelum kedatangan orang-orang Eropa pada
abad ke-16. Sementara itu, kedatangan kaum kolonial Eropa, yang muncul pada
abad ke-16, namun tidak ekspansionis secara agresif hingga abad ke-19, memperkuat
kecenderungan yang sudah tampak.
Kaum kolonial berusaha
berkuasa melalui elite-elite yang ada, baik secara politik maupun ekonomi.
Mereka merepresentasikan diri sebagai penguasa tertinggi sehingga para pemimpin
politik dan ekonomi lokal mau tidak mau membutuhkan mereka dan begitu pula sebaliknya.
Bagi para imigran yang ambisius, baik dari China, Arab, dan Persia, kehadiran
orang Eropa merupakan momentum tepat untuk mengakulturasi diri mereka dengan
para penguasa baru itu yang merepresentasikan diri sebagai kekuatan dominan.
Di Indonesia, para
taipan China mendapat perlakuan yang istimewa dari Belanda sehingga lama
kelamaan orang China menjadi godfather di negeri ini. Perlu diketahui, terutama
di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perkembangan ekonominya merupakan
produk dari kekuatan politik dan ekonomi yang berkembang di era kolonial dengan
setumpuk karakter yang berbeda pascakolonial.
Dalam hubungan ini,
elite politik memberikan kepada elite ekonomi konsesi-konsesi monopoli ekonomi.
Para taipan di setiap kawasan Asia Tenggara, secara keseluruhan cenderung
melayani kepentingan politik dan para elitenya. Mereka—godfatehr—mendapatkan
kekayaan personal yang besar dari hubungan itu, namun mereka tidak banyak
memberikan kemajuan ekonomi secara keseluruhan.
Maka, pada titik inilah kawasan Asia Tenggara memiliki kelemahan besar dalam pembangunan politik dan institusional, yang membuat kawasan ini mengalami kehancuran yang sangat akut. Sebagian besar dari problem itu belum bisa teratasi dalam satu dekade sejak krisis melanda seluruh kawasan itu.(*)
Maka, pada titik inilah kawasan Asia Tenggara memiliki kelemahan besar dalam pembangunan politik dan institusional, yang membuat kawasan ini mengalami kehancuran yang sangat akut. Sebagian besar dari problem itu belum bisa teratasi dalam satu dekade sejak krisis melanda seluruh kawasan itu.(*)
* Mohamad Asrori Mulky,
Deputi Direktur Freedom Foundation Jakarta dan peneliti pada Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.
_________________________________
Judul : ASIAN GODFATHERS (Menguak Tabir
Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa)
Penulis : Joe Studwell
Genre : Ekonomi
Penerjemah : Yanto Musthofa
Editor : Julie Indahrini
Cetakan : I, Maret 2009
Ukuran : 15 x 23 cm (plus flap 8 cm)
Tebal : 432 halaman
ISBN : 978-979-3064-63-5
Harga : Rp. 85.000,-