Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 06 Maret 2025

Tan Malaka: Pemikir Revolusi yang Berjalan dalam Sunyi


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di antara lorong-lorong sejarah yang remang, nama Tan Malaka terpatri sebagai nyala api yang tak kunjung padam. Ia adalah nyanyian perlawanan yang menggema dari zaman ke zaman, lelaki yang menulis takdirnya dengan tinta keberanian dan getir pengasingan. Di panggung revolusi, ia bukan aktor yang berpidato lantang sebagaimana Soekarno sang orator, melainkan pujangga pemikiran yang meramu gagasan dalam pergulatan aksi massa sebagai motor perjuangan menuju revolusi.

 

Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Dari tanah Minangkabau yang kental dengan filsafat adat dan syair keagamaan, ia menempa diri dalam pendidikan kolonial yang membukakan matanya terhadap tirani dan ketimpangan. Seperti sungai yang tak bisa dibendung, pikirannya mengalir deras, mencari muara di mana keadilan bisa ditegakkan, dan kebebasan menjadi nadi kehidupan.

 

Keberangkatannya ke Belanda untuk menimba ilmu di Rijks Kweekschool, Haarlem, bukan sekadar perjalanan akademik, melainkan awal dari pencarian panjang menuju makna revolusi sejati: revolusi tanpa kompromi dan negosiasi. Di sana, ia bersentuhan dengan gagasan sosialisme dan marxisme, dua arus besar yang kelak membentuk tulang punggung pemikirannya. Namun, tak seperti pemikir dogmatis yang beku oleh teks dan terjerat dalam batas-batas teori, Tan Malaka membangun tafsirnya sendiri: sosialisme yang berakar pada realitas Nusantara, bukan sekadar cerminan dari dunia Barat.

 

Di Negeri Kincir Angin, Tan Malaka melahap buku-buku aliran kiri dari para penulis utama seperti Friedrich Nietzsche, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Kelak di masa depan, pemikiran mereka mengiringi perjuangannya mencari kebebasan dan mengguratkan api perlawanan di cakrawala negeri. Ia mengunyah gagasan revolusi hingga serupa bara yang membakar jiwanya, menjadikannya mercusuar bagi mereka yang tersesat di samudra penindasan. Baginya, revolusi bukan permainan kata, melainkan aksi murni yang tak mengenal basa-basi.

 

Dalam gemuruh zaman yang menuntut aksi nyata, Tan Malaka memilih senjata yang tak lekang oleh waktu, tak lapuk oleh musim—kata-kata dan aksi massa, intelektualisme dan aktivisme. Pemikirannya yang terangkum dalam  Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) adalah bintang kejora yang menuntun kesadaran bangsa menuju kebebasan sejati. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar pengusiran penjajah dari bumi pertiwi, melainkan pembebasan pikiran dari belenggu mistisisme dan fatalisme yang membius bangsa dalam kepasrahan yang membeku.


Baginya, revolusi harus bertumpu pada kecerdasan, bukan sekadar amarah yang digelorakan oleh kerumunan massa. Madilog bukanlah kitab dogma, apalagi setumpuk aturan yang membelenggu, melainkan cetak biru bagi manusia merdeka yang berpikir jernih, bergerak dalam kesadaran, dan menolak tunduk pada mitos yang mengaburkan kebenaran. Dalam guratan kalimatnya, Tan Malaka bukanlah seorang teoretikus; ia adalah penyair kebebasan yang menulis dengan tinta darah dan derita. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan makna hidup yang mati tanpa arti.

 

Di antara gelegar revolusi, dua nama menjulang bagai raksasa sejarah: Soekarno, sang orator api yang menghidupkan bara kemerdekaan, dan Tan Malaka, bayangan abadi yang berkelebat di lorong-lorong gelap perjuangan. Keduanya mencintai tanah air, namun dengan bahasa yang berbeda; mencumbui revolusi, namun dengan irama yang tak seirama. Soekarno menari dalam diplomasi, sementara Tan Malaka menggeretak dengan konfrontasi: perlawanan tanpa kompromi. Sejarah pun mengabadikan ironi: yang satu duduk di singgasana istana, yang lain mati di pengasingan, dilupakan dan tertutup debu zaman. Ia dihukum mati oleh bangsanya sendiri tanpa proses pengadilan. Tragis!

 

Namun, Soekarno dan Tan Malaka ibarat tiang dari rumah yang sama: rumah revolusi, rumah Indonesia. Tanpa Soekarno, revolusi Indonesia akan kehilangan gairah dan cahaya. Tanpa Tan Malaka, revolusi akan kehilangan keberanian dan kemurnian. Dua langit dalam revolusi, berbeda warna namun sama meneduhi bumi pertiwi. Hingga kini, dalam riuh gelombang zaman, nama mereka tetap menggema: satu dalam terang, satu dalam bayangan, tetapi keduanya abadi dalam sejarah.

 

Seorang pejuang sejati adalah mereka yang berani berjalan sendiri, teguh dalam pendirian meski harus hidup dalam sepi, dan Tan Malaka adalah arketipe dari kesunyian itu. Di tengah hingar-bingar revolusi yang melahirkan pahlawan instan, ia memilih jalan terjal penuh liku, berpindah dari satu pengasingan ke pengasingan lain, menghindari jebakan politik pragmatis yang membajak idealisme perjuangan. Dari Penjara ke Penjara mengisahkan hidup yang ia ukir dengan derita, menggambarkan pengembaraannya dari gelapnya sel hingga tajamnya pertarungan politik.


Tan Malaka dikenang sebagai "Bapak Republik Indonesia," meski namanya tak selalu terpatri dalam arus utama sejarah. Pemikirannya, kata Harry A Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi, menghujam dalam benak Soekarno dan Hatta, mengendap dalam suluh revolusi, menjadi bara yang membakar semangat para pemimpin bangsa. Ia tidak sekadar menulis teori, tetapi bergerak, mengibarkan panji perlawanan melalui organisasi politik dan Partai Murba, yang ia dirikan demi membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan.

 

Di masa kelam, ia bersanding dengan revolusi proletar, menyusuri jalan sunyi dalam perjuangan tanpa kompromi. Ia pernah bersandar pada bahu Partai Komunis Indonesia (PKI), namun tatkala arus ideologi menyimpang dari cita-citanya, ia melepaskan diri pada tahun 1921, memilih jalan sendiri yang lebih puritan, lebih berbatu. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan bukanlah buah diplomasi belaka, melainkan hasil dari tempaan jiwa yang tak kenal menyerah, tak kenal kompromi dan negosiasi. Tan Malaka ingin Indonesia merdeka secara purna sebagaimana ia kemukakan dalam Merdeka Seratus Persen.

 

Namun, sejarah bersifat culas. Ia yang seharusnya dielu-elukan, justru dilenyapkan dalam bayang-bayang kekuasaan. Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1963 mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional, tetapi namanya tetap terkurung dalam senyap, dikaburkan oleh rezim yang menjadikannya hantu di tanah yang ia perjuangkan. Seperti daun yang jatuh tanpa sempat dikenang angin, ia ditelan sunyi, hingga hanya mereka yang mencari akan menemukan jejaknya di lembar-lembar yang terlupakan.

 

Ia diasingkan, ditolak, bahkan oleh mereka yang mengaku sebagai kawan seperjuangan. Dalam drama politik yang berliku, Tan Malaka menjadi hantu yang menggentayangi revolusi Indonesia—disebut, tetapi dihindari; dikagumi, tetapi ditakuti. Kesetiaannya pada cita-cita membawanya ke akhir yang tragis: dieksekusi tanpa pengadilan pada 21 Februari 1949, tubuhnya terkubur tanpa nisan, namanya tenggelam dalam riuhnya kemenangan yang tak pernah sepenuhnya ia percayai.


Betapapun kejamnya arti pengorbanan, sejarah tak dapat menghapus nama yang telah ditorehkan dengan gagasan. Seperti nyala api yang menyelinap dalam gelap, pemikiran Tan Malaka tetap hidup menyala, merasuk ke dalam denyut bangsa yang terus mencari makna kebebasan. Ia bukan sekadar tokoh, melainkan semangat yang tak mengenal batas waktu—seorang pemikir yang menolak tunduk pada takdir, seorang pejuang yang tetap melangkah meski sendirian.

 

Maka, di antara lorong-lorong sunyi, di balik riuhnya pidato-pidato kenegaraan, nama Tan Malaka tetap menggema. Bukan sebagai bayang-bayang yang terlupakan, tetapi sebagai suluh yang terus menerangi mereka yang berani berpikir dan berjuang tanpa pamrih. Ia adalah angin yang berbisik di sela-sela dedaunan revolusi, suara yang tak akan pernah benar-benar padam meski kepingan waktu terus berubah silih berganti. Tan Malaka adalah pemikir revolusi yang berjalan dalam sunyi.

Tidak ada komentar: