Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di antara lorong-lorong sejarah yang remang,
nama Tan Malaka terpatri sebagai nyala api yang tak kunjung padam. Ia adalah
nyanyian perlawanan yang menggema dari zaman ke zaman, lelaki yang menulis
takdirnya dengan tinta keberanian dan getir pengasingan. Di panggung revolusi,
ia bukan aktor yang berpidato lantang sebagaimana Soekarno sang orator,
melainkan pujangga pemikiran yang meramu gagasan dalam pergulatan aksi massa sebagai
motor perjuangan menuju revolusi.
Tan Malaka lahir dengan nama Ibrahim Datuk
Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Limapuluh
Kota, Sumatra Barat. Dari tanah Minangkabau yang kental dengan filsafat adat
dan syair keagamaan, ia menempa diri dalam pendidikan kolonial yang membukakan
matanya terhadap tirani dan ketimpangan. Seperti sungai yang tak bisa
dibendung, pikirannya mengalir deras, mencari muara di mana keadilan bisa
ditegakkan, dan kebebasan menjadi nadi kehidupan.
Keberangkatannya ke Belanda untuk menimba
ilmu di Rijks Kweekschool, Haarlem, bukan sekadar perjalanan akademik,
melainkan awal dari pencarian panjang menuju makna revolusi sejati: revolusi
tanpa kompromi dan negosiasi. Di sana, ia bersentuhan dengan gagasan sosialisme
dan marxisme, dua arus besar yang kelak membentuk tulang punggung pemikirannya.
Namun, tak seperti pemikir dogmatis yang beku oleh teks dan terjerat dalam
batas-batas teori, Tan Malaka membangun tafsirnya sendiri: sosialisme yang
berakar pada realitas Nusantara, bukan sekadar cerminan dari dunia Barat.
Di Negeri Kincir Angin, Tan Malaka melahap buku-buku
aliran kiri dari para penulis utama seperti Friedrich Nietzsche, Karl Marx,
Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Kelak di masa depan, pemikiran mereka
mengiringi perjuangannya mencari kebebasan dan mengguratkan api perlawanan di
cakrawala negeri. Ia mengunyah gagasan revolusi hingga serupa bara yang
membakar jiwanya, menjadikannya mercusuar bagi mereka yang tersesat di samudra
penindasan. Baginya, revolusi bukan permainan kata, melainkan aksi murni yang
tak mengenal basa-basi.
Dalam gemuruh zaman yang menuntut aksi nyata,
Tan Malaka memilih senjata yang tak lekang oleh waktu, tak lapuk oleh musim—kata-kata
dan aksi massa, intelektualisme dan aktivisme. Pemikirannya yang terangkum
dalam Madilog (Materialisme,
Dialektika, dan Logika) adalah bintang kejora yang menuntun kesadaran bangsa
menuju kebebasan sejati. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar
pengusiran penjajah dari bumi pertiwi, melainkan pembebasan pikiran dari
belenggu mistisisme dan fatalisme yang membius bangsa dalam kepasrahan yang
membeku.
Baginya, revolusi harus bertumpu pada
kecerdasan, bukan sekadar amarah yang digelorakan oleh kerumunan massa. Madilog
bukanlah kitab dogma, apalagi setumpuk aturan yang membelenggu, melainkan cetak
biru bagi manusia merdeka yang berpikir jernih, bergerak dalam kesadaran, dan
menolak tunduk pada mitos yang mengaburkan kebenaran. Dalam guratan kalimatnya,
Tan Malaka bukanlah seorang teoretikus; ia adalah penyair kebebasan yang
menulis dengan tinta darah dan derita. Ia ingin membebaskan bangsa ini dari
belenggu kebodohan dan makna hidup yang mati tanpa arti.
Di antara gelegar revolusi, dua nama
menjulang bagai raksasa sejarah: Soekarno, sang orator api yang menghidupkan
bara kemerdekaan, dan Tan Malaka, bayangan abadi yang berkelebat di
lorong-lorong gelap perjuangan. Keduanya mencintai tanah air, namun dengan
bahasa yang berbeda; mencumbui revolusi, namun dengan irama yang tak seirama. Soekarno
menari dalam diplomasi, sementara Tan Malaka menggeretak dengan konfrontasi:
perlawanan tanpa kompromi. Sejarah pun mengabadikan ironi: yang satu duduk di
singgasana istana, yang lain mati di pengasingan, dilupakan dan tertutup debu
zaman. Ia dihukum mati oleh bangsanya sendiri tanpa proses pengadilan. Tragis!
Namun, Soekarno dan Tan Malaka ibarat tiang
dari rumah yang sama: rumah revolusi, rumah Indonesia. Tanpa Soekarno, revolusi
Indonesia akan kehilangan gairah dan cahaya. Tanpa Tan Malaka, revolusi akan
kehilangan keberanian dan kemurnian. Dua langit dalam revolusi, berbeda warna
namun sama meneduhi bumi pertiwi. Hingga kini, dalam riuh gelombang zaman, nama
mereka tetap menggema: satu dalam terang, satu dalam bayangan, tetapi keduanya
abadi dalam sejarah.
Seorang pejuang sejati adalah mereka yang
berani berjalan sendiri, teguh dalam pendirian meski harus hidup dalam sepi, dan
Tan Malaka adalah arketipe dari kesunyian itu. Di tengah hingar-bingar revolusi
yang melahirkan pahlawan instan, ia memilih jalan terjal penuh liku, berpindah
dari satu pengasingan ke pengasingan lain, menghindari jebakan politik
pragmatis yang membajak idealisme perjuangan. Dari Penjara ke Penjara
mengisahkan hidup yang ia ukir dengan derita, menggambarkan pengembaraannya
dari gelapnya sel hingga tajamnya pertarungan politik.
Tan Malaka dikenang sebagai "Bapak
Republik Indonesia," meski namanya tak selalu terpatri dalam arus utama
sejarah. Pemikirannya, kata Harry A Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri dan
Revolusi, menghujam dalam benak Soekarno dan Hatta, mengendap dalam suluh
revolusi, menjadi bara yang membakar semangat para pemimpin bangsa. Ia tidak
sekadar menulis teori, tetapi bergerak, mengibarkan panji perlawanan melalui
organisasi politik dan Partai Murba, yang ia dirikan demi membebaskan rakyat
dari belenggu penjajahan.
Di masa kelam, ia bersanding dengan revolusi
proletar, menyusuri jalan sunyi dalam perjuangan tanpa kompromi. Ia pernah
bersandar pada bahu Partai Komunis Indonesia (PKI), namun tatkala arus ideologi
menyimpang dari cita-citanya, ia melepaskan diri pada tahun 1921, memilih jalan
sendiri yang lebih puritan, lebih berbatu. Bagi Tan Malaka, kemerdekaan
bukanlah buah diplomasi belaka, melainkan hasil dari tempaan jiwa yang tak
kenal menyerah, tak kenal kompromi dan negosiasi. Tan Malaka ingin Indonesia
merdeka secara purna sebagaimana ia kemukakan dalam Merdeka Seratus Persen.
Namun, sejarah bersifat culas. Ia yang
seharusnya dielu-elukan, justru dilenyapkan dalam bayang-bayang kekuasaan.
Keputusan Presiden RI No. 53 tahun 1963 mengukuhkannya sebagai Pahlawan
Nasional, tetapi namanya tetap terkurung dalam senyap, dikaburkan oleh rezim
yang menjadikannya hantu di tanah yang ia perjuangkan. Seperti daun yang jatuh
tanpa sempat dikenang angin, ia ditelan sunyi, hingga hanya mereka yang mencari
akan menemukan jejaknya di lembar-lembar yang terlupakan.
Ia diasingkan, ditolak, bahkan oleh mereka
yang mengaku sebagai kawan seperjuangan. Dalam drama politik yang berliku, Tan
Malaka menjadi hantu yang menggentayangi revolusi Indonesia—disebut, tetapi
dihindari; dikagumi, tetapi ditakuti. Kesetiaannya pada cita-cita membawanya ke
akhir yang tragis: dieksekusi tanpa pengadilan pada 21 Februari 1949, tubuhnya
terkubur tanpa nisan, namanya tenggelam dalam riuhnya kemenangan yang tak
pernah sepenuhnya ia percayai.
Betapapun kejamnya arti pengorbanan, sejarah
tak dapat menghapus nama yang telah ditorehkan dengan gagasan. Seperti nyala
api yang menyelinap dalam gelap, pemikiran Tan Malaka tetap hidup menyala,
merasuk ke dalam denyut bangsa yang terus mencari makna kebebasan. Ia bukan
sekadar tokoh, melainkan semangat yang tak mengenal batas waktu—seorang pemikir
yang menolak tunduk pada takdir, seorang pejuang yang tetap melangkah meski
sendirian.
Maka, di antara lorong-lorong sunyi, di balik
riuhnya pidato-pidato kenegaraan, nama Tan Malaka tetap menggema. Bukan sebagai
bayang-bayang yang terlupakan, tetapi sebagai suluh yang terus menerangi mereka
yang berani berpikir dan berjuang tanpa pamrih. Ia adalah angin yang berbisik
di sela-sela dedaunan revolusi, suara yang tak akan pernah benar-benar padam
meski kepingan waktu terus berubah silih berganti. Tan Malaka adalah pemikir
revolusi yang berjalan dalam sunyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar