Oleh Mohamad Asrori Mulky
Angin malam membawa nyanyian lembut, membelai
wajah seorang ayah yang duduk termenung di hadapan meja kerja sambil ditemani sepotong
roti dan segelas kopi. Hingga sisa sepertiga malam tiba, melalui daun jendela
yang sejengkal terbuka, matanya menatap langit yang mulai meredup seperti akan
segera turun hujan.
Dalam gemuruh diamnya itu, ada suara hati
yang tak pernah terucap, tetapi mengalun lirih dalam dada. Siapa pun tak akan
mampu menyelaminya sebab hanya ia seorang diri saja yang merasakan debur
ombaknya. Dengan kelembutan dan keteguhan, cinta dan kasih sayang, ia menyebut
nama putri pertamanya: Nun A Wening Hyun.
Cinta seorang ayah tidak selalu terucap dalam
kata, tetapi terukir dalam setiap tatapan, dalam setiap genggaman, dan dalam
setiap langkah yang ia jaga. Di pucuk tebing gunung paling tinggi cinta seorang
ayah tulus menjulang: tiada tanding, tiada banding.
Dari detik pertama kelahirannya, ia adalah
cahaya yang menyelinap lembut ke dalam relung jiwa sang ayah: menerangi dan
menghangatkan. Ia memberi daya dalam setiap langkah untuk tetap bertahan
betapapun dunia kadang tidak berpihak. Dalam pelukannya, putrinya tertidur,
dalam genggamannya, ia belajar berjalan, dan dalam nafasnya, ada doa yang tak
pernah putus.
Tetapi seorang ayah harus sadar, bahwa ia
bukan pemilik, melainkan penjaga. Seperti yang diungkapkan Khalil Gibran,
"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan
yang rindu akan dirinya sendiri." Ayah hanya mengarahkan, kemana akan
berlabuh anaklah yang menentukan.
Ketika putrinya tumbuh, ia menjadi saksi
bagaimana dunia menggoda dengan segala gemerlapnya. Ada ketakutan dalam hati
seorang ayah—takut jika dunia merenggut kepolosannya, takut jika luka
menghampiri sebelum ia siap menghadapinya.
Namun, cinta seorang ayah tidak mengurung; ia
membentangkan sayap, membimbing dengan segala kebijaksanaan. Seperti kata
Victor Hugo, "Seorang ayah memiliki hati yang tidak terlihat, tetapi
memancarkan cahaya dalam kegelapan." Maka, ia menjadi mercusuar bagi
putrinya, menunjukkan arah tanpa memaksakan langkah.
Ada saat ketika putrinya belajar mengeja
kehidupan di luar genggaman tangannya. Hari itu, saat putrinya melangkah menuju
dunia, ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, menyembunyikan air mata di balik
senyum. Ia ingin berkata, "Pergilah dengan keberanian, tetapi jangan
lupakan rumah tempat hatimu berlabuh." Namun, ia tahu, cinta sejati tidak
pernah menahan, melainkan merelakan dengan doa yang mengiringi setiap langkah.
Seorang ayah mungkin tidak selalu bisa
berkata manis, tetapi dalam diamnya, ia mencintai dengan cara yang paling
dalam. Shakespeare pernah menulis, "Cinta itu bukan tentang melihat satu
sama lain, tetapi melihat bersama ke arah yang sama." Dan demikianlah
seorang ayah, yang meskipun kelak langkah mereka akan berpisah, matanya akan
selalu tertuju pada kebahagiaan putrinya.
Pada akhirnya, cinta seorang ayah adalah
bahasa sunyi yang abadi. Ia tidak meminta balasan, tidak menuntut pengakuan. Ia
hanya ingin melihat putrinya berdiri tegak, mencintai hidupnya, dan tetap
membawa serpihan cinta yang pernah ia tanamkan. Di dalam hatinya, putrinya
selalu menjadi gadis kecil yang dulu ia timang, dan di dalam doa-doanya, ia
selalu menyebut namanya dengan penuh kasih.
Ketahuilah, cinta seorang ayah adalah cahaya
yang tak pernah padam, meski dunia beranjak dalam gelap sekalipun. Cinta seorang
ayah bukan kasih di batas senja tapi melampaui waktu dan keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar