Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 15 Maret 2025

Bukan Kasih di Batas Senja


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Angin malam membawa nyanyian lembut, membelai wajah seorang ayah yang duduk termenung di hadapan meja kerja sambil ditemani sepotong roti dan segelas kopi. Hingga sisa sepertiga malam tiba, melalui daun jendela yang sejengkal terbuka, matanya menatap langit yang mulai meredup seperti akan segera turun hujan.

 

Dalam gemuruh diamnya itu, ada suara hati yang tak pernah terucap, tetapi mengalun lirih dalam dada. Siapa pun tak akan mampu menyelaminya sebab hanya ia seorang diri saja yang merasakan debur ombaknya. Dengan kelembutan dan keteguhan, cinta dan kasih sayang, ia menyebut nama putri pertamanya: Nun A Wening Hyun.

 

Cinta seorang ayah tidak selalu terucap dalam kata, tetapi terukir dalam setiap tatapan, dalam setiap genggaman, dan dalam setiap langkah yang ia jaga. Di pucuk tebing gunung paling tinggi cinta seorang ayah tulus menjulang: tiada tanding, tiada banding.

 

Dari detik pertama kelahirannya, ia adalah cahaya yang menyelinap lembut ke dalam relung jiwa sang ayah: menerangi dan menghangatkan. Ia memberi daya dalam setiap langkah untuk tetap bertahan betapapun dunia kadang tidak berpihak. Dalam pelukannya, putrinya tertidur, dalam genggamannya, ia belajar berjalan, dan dalam nafasnya, ada doa yang tak pernah putus.

 

Tetapi seorang ayah harus sadar, bahwa ia bukan pemilik, melainkan penjaga. Seperti yang diungkapkan Khalil Gibran, "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri." Ayah hanya mengarahkan, kemana akan berlabuh anaklah yang menentukan.

 

Ketika putrinya tumbuh, ia menjadi saksi bagaimana dunia menggoda dengan segala gemerlapnya. Ada ketakutan dalam hati seorang ayah—takut jika dunia merenggut kepolosannya, takut jika luka menghampiri sebelum ia siap menghadapinya.

 

Namun, cinta seorang ayah tidak mengurung; ia membentangkan sayap, membimbing dengan segala kebijaksanaan. Seperti kata Victor Hugo, "Seorang ayah memiliki hati yang tidak terlihat, tetapi memancarkan cahaya dalam kegelapan." Maka, ia menjadi mercusuar bagi putrinya, menunjukkan arah tanpa memaksakan langkah.

 

Ada saat ketika putrinya belajar mengeja kehidupan di luar genggaman tangannya. Hari itu, saat putrinya melangkah menuju dunia, ia hanya bisa berdiri di ambang pintu, menyembunyikan air mata di balik senyum. Ia ingin berkata, "Pergilah dengan keberanian, tetapi jangan lupakan rumah tempat hatimu berlabuh." Namun, ia tahu, cinta sejati tidak pernah menahan, melainkan merelakan dengan doa yang mengiringi setiap langkah.

 

Seorang ayah mungkin tidak selalu bisa berkata manis, tetapi dalam diamnya, ia mencintai dengan cara yang paling dalam. Shakespeare pernah menulis, "Cinta itu bukan tentang melihat satu sama lain, tetapi melihat bersama ke arah yang sama." Dan demikianlah seorang ayah, yang meskipun kelak langkah mereka akan berpisah, matanya akan selalu tertuju pada kebahagiaan putrinya.

 

Pada akhirnya, cinta seorang ayah adalah bahasa sunyi yang abadi. Ia tidak meminta balasan, tidak menuntut pengakuan. Ia hanya ingin melihat putrinya berdiri tegak, mencintai hidupnya, dan tetap membawa serpihan cinta yang pernah ia tanamkan. Di dalam hatinya, putrinya selalu menjadi gadis kecil yang dulu ia timang, dan di dalam doa-doanya, ia selalu menyebut namanya dengan penuh kasih.

 

Ketahuilah, cinta seorang ayah adalah cahaya yang tak pernah padam, meski dunia beranjak dalam gelap sekalipun. Cinta seorang ayah bukan kasih di batas senja tapi melampaui waktu dan keadaan.


Tidak ada komentar: