Oleh Mohamad Asori Mulky
Kematian, kata Albert Camus, adalah
absurditas yang tak terelakkan. Ia datang seperti bayangan senja yang merayap
perlahan, tanpa suara, tanpa isyarat. Namun bagi seorang anak laki-laki yang
kehilangan ayahnya, kematian bukan sekadar absurditas, melainkan sebuah
kehilangan yang terus bergema, seperti denting lonceng yang menggantung di
udara.
Seorang ayah adalah akar bagi pohon yang
menjulang tinggi. Ia tak selalu terlihat, namun kehadirannya menyusup dalam
setiap helai daun yang menari ditiup angin. Dalam masa kecilnya, anak lelaki
itu menggenggam erat tangan ayahnya, berjalan di atas jejak kaki yang lebih
besar, berusaha menyesuaikan langkah demi langkah.
"Seorang pria sejati," kata Ernest
Hemingway, "bukanlah yang tak pernah jatuh, melainkan yang selalu
bangkit." Dan ayah adalah bukti dari itu: sosok yang jatuh berkali-kali
namun bangkit dengan kepala tegak. Seolah ingin membuktikan pada anaknya bahwa
ia sanggup bertahan walau dunia tidak berpihak kepadanya.
Tapi kini, ayahnya telah pergi jauh. Dunia
tetap berputar, tetapi ada sesuatu yang tak lagi utuh. Bayang-bayangnya masih
ada di sudut ruang tengah rumah, di setiap inci bangunan yang kini sudah
berbeda tak seperti dulu, dan dalam wangi kemeja lusuh yang tergantung tanpa
pemilik. "Tak ada kematian bagi orang yang kita cintai," tulis
Antoine de Saint-Exupéry, "sebab cinta adalah keabadian." Namun mengapa
kehilangan tetap terasa sepi, meski namanya masih terbisik di dalam doa?
Anak lelaki itu kini berjalan sendiri,
membawa beban yang dulu dipikul bersama. Setiap keputusan terasa lebih berat,
karena tak ada lagi suara yang menuntunnya. Orang bijak berkata, "seorang
ayah memberi dua hal kepada anaknya: akar dan sayap." Akar itu telah
tertanam dalam-dalam, tapi ia masih belajar untuk terbang, untuk menemukan
jalannya sendiri dalam dunia yang kini terasa lebih sunyi dan sepi.
Lalu suatu hari, di antara hiruk-pikuk
kehidupan yang seolah percuma ini, ia menyadari bahwa ayahnya tak pernah
benar-benar pergi. Ia ada dalam cara anak itu mengikat tali sepatu, dalam
keteguhan yang diajarkan tanpa kata, dalam keberanian untuk berdiri meski lutut
gemetar. Ayahnya ada dalam dirinya—dalam darah yang mengalir, dalam kisah yang
terus hidup, dalam bayang-bayang yang tak pernah benar-benar lenyap.
Maka ia melangkah, bukan untuk melupakan,
tetapi untuk meneruskan. Sebab cinta seorang ayah tidak mati—ia hanya berubah
wujud, menjadi cahaya yang membimbing di jalan yang panjang dan tak berujung. Ia
terus memberi kekuatan dan harapan meski keduanya berada dalam alam yang
berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar