Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 17 Maret 2025

Ayah


Oleh Mohamad Asori Mulky

Kematian, kata Albert Camus, adalah absurditas yang tak terelakkan. Ia datang seperti bayangan senja yang merayap perlahan, tanpa suara, tanpa isyarat. Namun bagi seorang anak laki-laki yang kehilangan ayahnya, kematian bukan sekadar absurditas, melainkan sebuah kehilangan yang terus bergema, seperti denting lonceng yang menggantung di udara.

 

Seorang ayah adalah akar bagi pohon yang menjulang tinggi. Ia tak selalu terlihat, namun kehadirannya menyusup dalam setiap helai daun yang menari ditiup angin. Dalam masa kecilnya, anak lelaki itu menggenggam erat tangan ayahnya, berjalan di atas jejak kaki yang lebih besar, berusaha menyesuaikan langkah demi langkah.

 

"Seorang pria sejati," kata Ernest Hemingway, "bukanlah yang tak pernah jatuh, melainkan yang selalu bangkit." Dan ayah adalah bukti dari itu: sosok yang jatuh berkali-kali namun bangkit dengan kepala tegak. Seolah ingin membuktikan pada anaknya bahwa ia sanggup bertahan walau dunia tidak berpihak kepadanya.

 

Tapi kini, ayahnya telah pergi jauh. Dunia tetap berputar, tetapi ada sesuatu yang tak lagi utuh. Bayang-bayangnya masih ada di sudut ruang tengah rumah, di setiap inci bangunan yang kini sudah berbeda tak seperti dulu, dan dalam wangi kemeja lusuh yang tergantung tanpa pemilik. "Tak ada kematian bagi orang yang kita cintai," tulis Antoine de Saint-Exupéry, "sebab cinta adalah keabadian." Namun mengapa kehilangan tetap terasa sepi, meski namanya masih terbisik di dalam doa?

 

Anak lelaki itu kini berjalan sendiri, membawa beban yang dulu dipikul bersama. Setiap keputusan terasa lebih berat, karena tak ada lagi suara yang menuntunnya. Orang bijak berkata, "seorang ayah memberi dua hal kepada anaknya: akar dan sayap." Akar itu telah tertanam dalam-dalam, tapi ia masih belajar untuk terbang, untuk menemukan jalannya sendiri dalam dunia yang kini terasa lebih sunyi dan sepi.

 

Lalu suatu hari, di antara hiruk-pikuk kehidupan yang seolah percuma ini, ia menyadari bahwa ayahnya tak pernah benar-benar pergi. Ia ada dalam cara anak itu mengikat tali sepatu, dalam keteguhan yang diajarkan tanpa kata, dalam keberanian untuk berdiri meski lutut gemetar. Ayahnya ada dalam dirinya—dalam darah yang mengalir, dalam kisah yang terus hidup, dalam bayang-bayang yang tak pernah benar-benar lenyap.

 

Maka ia melangkah, bukan untuk melupakan, tetapi untuk meneruskan. Sebab cinta seorang ayah tidak mati—ia hanya berubah wujud, menjadi cahaya yang membimbing di jalan yang panjang dan tak berujung. Ia terus memberi kekuatan dan harapan meski keduanya berada dalam alam yang berbeda.

Tidak ada komentar: