Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 20 Maret 2025

Puasa Topeng


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di dunia yang dilapisi kepura-puraan, manusia berjalan dengan wajah yang tertutupi, bukan oleh debu atau waktu, tapi oleh kedok dan kepalsuan. Seperti bait lagu yang dilantunkan Raja Dagdut Rhoma Irama: Topeng...//Membuat Orang Pandai Berdusta//Hidup Penuh dengan Pura-Pura//Yang Penting Diri Tampak Seolah Mulia.

 

Lagu ini bukan sekadar alunan nada, tetapi cermin yang memantulkan kenyataan getir yang menggambarkan realitas manusia pada umumnya. Dunia di mana kita hidup saat ini benar-benar telah menjadi panggung sandiwara, tempat manusia memakai topeng demi menjaga citra lahir, menutupi kepalsuan, atau kekosongan batin yang bersarang dalam jiwa.

 

Topeng adalah simbol kepura-puraan yang kita pakai untuk bertahan dalam tuntutan zaman yang merepih seperti pasir, yang berdebur seperti buih di lautan. Kita berpura-pura suci, berpura-pura bijaksana, berpura-pura berbudi luhur. Tapi di balik topeng itu semua, tersembunyi wajah yang sesungguhnya—yang mungkin penuh cela, penuh luka, penuh dusta dan tipu daya.

 

Dalam lanskap sosial yang bertukar tangkap dalam kepalsuan, hal yang spiritual, seperti puasa yang sekarang kita jalani ini, tak luput dari polesan topeng. Ada yang berbalut kesalehan, yang lisannya menuturkan kebajikan, penampilannya mencerminkan ketaatan, tetapi hatinya kering kerontang, gersang, penuh dengki dan kejahatan. Kesalehan dalam berpuasa kadang hanya menjadi kedok bagi mereka yang membutuhkan panggung pujian.

 

Betapa banyak manusia menahan lapar dan dahaga di siang hari hingga menjelang maghrib, namun tidak dari hawa nafsunya. Mulut mereka terkatup dari makanan, tetapi lepas bebas dalam mengucap dusta. Mata mereka terjaga dari nikmat dunia, tetapi sibuk mengintai celah-celah kesalahan saudaranya. Puasa, yang semestinya merundukkan keangkuhan, justru menjadi topeng yang dipakai untuk menutupi kehampaan batin.

 

Jauh sebelum fenomena puasa topeng ini terjadi, Nabi Muhammad Saw. telah menangkap gejala seperti itu melalui sabdanya, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga" (HR. Ahmad). Puasa bukanlah sekadar ritual, melainkan madah kejujuran yang menggema dalam jiwa. Sebab yang dicari bukanlah tepuk tangan manusia, melainkan tatapan kasih dari Yang Maha Melihat.

 

Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, telah mengingatkan manusia akan bahaya riyaa’, kesalehan yang dipertontonkan demi tepuk tangan dunia, demi pamrih, demi pujian manusia. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia mengajarkan bahwa ketulusan adalah nyawa dari ibadah, dan tanpa itu, setiap sujud hanyalah gerakan tanpa makna, setiap doa hanyalah angin yang berhembus tanpa tujuan. Sehingga puasa yang dijalankan tidak memperoleh apa-apa selain menahan lapar dan dahaga semata.

 

Di era digital ini, puasa topeng menjadi semakin genting. Dunia maya adalah panggung tanpa ujung, tempat manusia menari dengan bayangan, melukis diri dalam warna-warna yang tak selalu sejati. Kita bisa menjelma siapa saja, lebih indah, lebih baik, lebih saleh—tapi apakah dalam semua kepalsuan itu, masih ada kita yang sejati? Ataukah kita telah tenggelam dalam citra yang kita ciptakan sendiri?

 

Puasa bukan sekadar dogma agama, tetapi nyanyian sunyi bagi jiwa yang merindu kejujuran. Ia adalah perlawanan terhadap dunia yang menggoda manusia untuk menyembah rupa dan melupakan makna. Ia adalah perjalanan pulang ke hakikat, menuju manusia yang utuh, yang tak lagi terbelenggu oleh fatamorgana dunia. Dengan menanggalkan topeng, kita kembali menjadi diri yang sesungguhnya—bukan bayangan, bukan citra, tetapi cahaya yang sejati.

 

Puasa topeng adalah tirai yang menyembunyikan dusta, menyamarkan kerakusan, dan memoles wajah-wajah angkuh agar tampak suci. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi tentang bagaimana menahan diri dari kerakusan dunia. Puasa bukanlah tentang mengundang pujian manusia, tetapi tentang merayu Tuhan dengan ketulusan yang tak bertopeng.

 

Tidak ada komentar: