Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di dunia yang dilapisi kepura-puraan,
manusia berjalan dengan wajah yang tertutupi, bukan oleh debu atau waktu, tapi
oleh kedok dan kepalsuan. Seperti bait lagu yang dilantunkan Raja Dagdut Rhoma
Irama: Topeng...//Membuat Orang Pandai Berdusta//Hidup Penuh dengan
Pura-Pura//Yang Penting Diri Tampak Seolah Mulia.
Lagu ini bukan sekadar alunan nada, tetapi cermin yang
memantulkan kenyataan getir yang menggambarkan realitas manusia pada umumnya. Dunia
di mana kita hidup saat ini benar-benar telah menjadi panggung sandiwara,
tempat manusia memakai topeng demi menjaga citra lahir, menutupi kepalsuan, atau
kekosongan batin yang bersarang dalam jiwa.
Topeng adalah simbol kepura-puraan yang
kita pakai untuk bertahan dalam tuntutan zaman yang merepih seperti pasir, yang
berdebur seperti buih di lautan. Kita berpura-pura suci, berpura-pura
bijaksana, berpura-pura berbudi luhur. Tapi di balik topeng itu semua,
tersembunyi wajah yang sesungguhnya—yang mungkin penuh cela, penuh luka, penuh
dusta dan tipu daya.
Dalam lanskap sosial yang bertukar tangkap
dalam kepalsuan, hal yang spiritual, seperti puasa yang sekarang kita jalani
ini, tak luput dari polesan topeng. Ada yang berbalut kesalehan, yang lisannya
menuturkan kebajikan, penampilannya mencerminkan ketaatan, tetapi hatinya kering
kerontang, gersang, penuh dengki dan kejahatan. Kesalehan dalam berpuasa kadang
hanya menjadi kedok bagi mereka yang membutuhkan panggung pujian.
Betapa banyak manusia menahan lapar dan
dahaga di siang hari hingga menjelang maghrib, namun tidak dari hawa nafsunya.
Mulut mereka terkatup dari makanan, tetapi lepas bebas dalam mengucap dusta.
Mata mereka terjaga dari nikmat dunia, tetapi sibuk mengintai celah-celah
kesalahan saudaranya. Puasa, yang semestinya merundukkan keangkuhan, justru
menjadi topeng yang dipakai untuk menutupi kehampaan batin.
Jauh sebelum fenomena puasa topeng ini
terjadi, Nabi Muhammad Saw. telah menangkap gejala seperti itu melalui sabdanya,
"Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa
dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga" (HR. Ahmad). Puasa
bukanlah sekadar ritual, melainkan madah kejujuran yang menggema dalam jiwa. Sebab
yang dicari bukanlah tepuk tangan manusia, melainkan tatapan kasih dari Yang
Maha Melihat.
Al-Ghazali, sang Hujjatul Islam, telah
mengingatkan manusia akan bahaya riyaa’, kesalehan yang dipertontonkan
demi tepuk tangan dunia, demi pamrih, demi pujian manusia. Dalam Ihya’ Ulum
al-Din, ia mengajarkan bahwa ketulusan adalah nyawa dari ibadah, dan tanpa
itu, setiap sujud hanyalah gerakan tanpa makna, setiap doa hanyalah angin yang
berhembus tanpa tujuan. Sehingga puasa yang dijalankan tidak memperoleh apa-apa
selain menahan lapar dan dahaga semata.
Di era digital ini, puasa topeng menjadi
semakin genting. Dunia maya adalah panggung tanpa ujung, tempat manusia menari
dengan bayangan, melukis diri dalam warna-warna yang tak selalu sejati. Kita
bisa menjelma siapa saja, lebih indah, lebih baik, lebih saleh—tapi apakah
dalam semua kepalsuan itu, masih ada kita yang sejati? Ataukah kita telah
tenggelam dalam citra yang kita ciptakan sendiri?
Puasa bukan sekadar dogma agama, tetapi
nyanyian sunyi bagi jiwa yang merindu kejujuran. Ia adalah perlawanan terhadap
dunia yang menggoda manusia untuk menyembah rupa dan melupakan makna. Ia adalah
perjalanan pulang ke hakikat, menuju manusia yang utuh, yang tak lagi
terbelenggu oleh fatamorgana dunia. Dengan menanggalkan topeng, kita kembali
menjadi diri yang sesungguhnya—bukan bayangan, bukan citra, tetapi cahaya yang
sejati.
Puasa topeng adalah tirai yang
menyembunyikan dusta, menyamarkan kerakusan, dan memoles wajah-wajah angkuh agar
tampak suci. Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi tentang
bagaimana menahan diri dari kerakusan dunia. Puasa bukanlah tentang mengundang
pujian manusia, tetapi tentang merayu Tuhan dengan ketulusan yang tak
bertopeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar