Tentang
Nasab yang Dikapitalisasi dan Agama yang Dipolitisasi
Oleh Mohamad
Asrori Mulky
Nabi Muhammad Saw. memang telah pergi. Ia
telah menyeberang ke sisi dunia yang tak lagi bisa disentuh oleh waktu dan
musim. Ia telah meninggalkan kita—bukan karena membelakangi, tapi karena
tugasnya telah purna. Ia telah menyelesaikan risalah agung, menaburkan cahaya,
dan membuka jalan terang bagi mereka yang ingin pulang di jalan yang benar. Dan
setelah itu, ia tidak tinggal untuk disembah, tapi pergi agar kita belajar
mencintainya tanpa kehadiran.
Kita, umatnya, tidak akan mungkin bertemu
dengannya di dunia ini. Bukan karena cinta kita kurang, tetapi karena ruang dan
waktu telah menetapkan batas yang tak bisa dilompati oleh kerinduan semata. Tak
ada perjalanan fisik yang dapat mengantarkan kita kepadanya, tak ada pesawat,
tak ada langkah, tak ada jalur diplomasi menuju Mekah-Madinah abad ketujuh dulu
yang merekam seluruh perjuangannya dengan segenap suka dan dukanya.
Tapi justru di situlah letak keajaibannya. Ia
yang telah pergi, justru paling hidup dalam hati mereka yang mencintai. Ia yang
tak bisa dijumpai, justru paling dekat dengan air mata yang jatuh saat
bershalawat. Tak ada jarak sejauh cinta. Dan tak ada cinta sebesar rindu yang
membuncah kepada manusia yang menyinari dunia meski wajahnya tak pernah kita
tatap walau sekejap mata. Seperti bait syair Taufiq Ismail yang didendangkan
BIMBO: “Rindu Kami Padamu Ya Rasul/Rindu Tiada Terperi/Beradab Jarak Darimu
Ya Rasul/Serasa Dikau di Sini”.
Kita tak akan bisa menggenggam tangannya di
dunia ini. Namun kita bisa menggenggam warisannya: akhlaknya, kelembutannya,
keberaniannya, dan senyum sabarnya di tengah zaman yang penuh dengan gemuruh
dan kedangkalan makna. Ia memang tak lagi ada di antara kita secara jasadi.
Tapi setiap kali kita memilih jujur dalam tindakan, lembut dalam kekuasaan, dan
sabar dalam derita—ia hadir. Diam-diam. Dalam laku kita setiap saat.
---
Nabi Muhammad memang tak lagi ada di dunia
ini. Tapi di malam-malam yang kerap didekap rasa gelisah ini, aku kerap bertanya dalam keheningan diri yang
bukan sekadar sepi: “Apa jadinya jika Nabi yang agung itu kembali hidup dan
berjalan bersama kita di abad ini—abad yang canggih tapi gamang, abad yang
berkilau tapi keropos oleh kegelisahan spiritual dan makna hidup yang tandus?”.
Begitulah dialog imajiner yang bergejolak dalam batin ini. Aku membayangkan
bertemu Rasul dan bertanya tentang beberapa hal kepadanya.
Nabi, dalam khayalku, andai ia hadir kembali
di abad ini, ia tidak datang dengan sorak sorai atau pawai kehormatan. Karena
memang ia tidak ingin dipuja. Apalagi dikeramatkan (disakralkan). Ia tidak
muncul di layar kaca, tidak menghadiri forum elite, tidak berpose di konferensi
pers. Ia berjalan pelan, seperti biasanya, membelah lorong-lorong kota yang
riuh oleh poster-poster pemilu dan baliho-baliho bertuliskan nama-nama
keluarganya—yang kini menjadi semacam merek dagang, dijual dalam diskursus
keagamaan yang sudah kehilangan cahaya.
Di hadapannya aku ingin menyapanya, tapi
lidahku kelu tak berdaya. Sebab dalam diamnya saja, aku seperti dihakimi oleh
cermin yang bening sekali. Tapi entah dari mana keberanian itu datang, aku
bertanya, pelan, gemetar: "Ya Rasulullah, jika engkau menyaksikan
bagaimana sebagian orang kini menjadikan keturunanmu sebagai alat untuk menjual
legitimasi, bagaimana mereka memperdagangkan garis darahmu untuk meraih
kehormatan dan suara, apa yang akan engkau katakan?".
Isu nasab dalam beberapa tahun ini memang
sedang jadi buah bibir di masyarakat. Ia menatapku dengan tatapan yang dulu
membuat batu Mekah pun remuk oleh iba. Kemudian ia menjawab, tanpa marah, tanpa
gegabah, tapi setiap katanya seperti pisau yang melucuti kepalsuan dan
kebusukan, menelanjangi topeng yang dipakai mereka yang mengaku keturunan nabi.
"Nasab adalah amanah, bukan
tiket untuk dihormati. Siapa pun yang mengangkat namaku untuk menjatuhkan orang
lain, atau membungkus kerakusannya dengan sorban nasab, maka ia bukan
pewarisku, tapi penjiplak bayanganku. Aku tidak meninggalkan agama untuk
dijadikan panggung. Aku tidak mewariskan darah untuk dijadikan alasan
menindas."
“Ketahuilah, nasab bukanlah
mahkota yang diwariskan di atas kepala, tapi akhlak yang diwariskan lewat
laku. Siapa pun yang mencatut namaku,
namun berperilaku seperti Firaun yang membungkus kekuasaan dengan doa, ia telah
mengubur kecintaan umat di bawah reruntuhan kesombongan. Aku datang membawa
kemanusiaan, bukan kasta. Dan jika hari
ini engkau melihat orang-orang menjual nama keluargaku seperti saham di bursa
agama, ketahuilah—itu bukan risalah yang kutinggalkan, melainkan nafsu yang
memakai jubah keagungan."
Dalam kebudayaan kita hari ini, nasab telah
menjadi komoditas. Orang-orang mengangkat silsilah sebagai alat meraih harta
benda, popularitas dan kehormatan. Nama keluarga Nabi diperdagangkan dalam
iklan, dalam politik identitas, dalam proyek-proyek representasi. Seolah menjadi
cucu biologis berarti menjadi wakil kebenaran mutlak. Nasab dikapitalisasi
untuk memupuk materi, gengsi dan ketenaran dunia.
Padahal, seperti kata Ali Shariati, revolusi
Islam tidak bertumpu pada garis darah, tapi pada keberpihakan kepada keadilan. Dan
keberpihakan itu tidak diwarisi lewat genetik, tapi dipilih lewat keputusan
eksistensial manusia. Islam bukan agama darah, tapi agama yang menjunjung ilmu
dan adab (akhlak). Siapa yang menjadikan nasab sebagai alat maka ia telah menyelewengkan
ajaran nabi yang suci.
Rasulullah—dalam khayalku yang mungkin
terlalu fana untuk menyentuh hakikatnya—tidak pernah membanggakan nasab. Bahkan
ia memperingatkan: bahwa keturunan tidak menjamin kemuliaan, dan siapa pun yang
sombong karena silsilah, hakikatnya sedang menyembah dirinya sendiri, bukan
Tuhan. Dan siapa yang membanggakan silsilah sebetulnya ia tidak memiliki
apa-apa dalam dirinya: tak punya kapasitas, tak punya otoritas apa-apa dalam
agama, seperti pernah disampaikan KH. Said Agil Sirraj, mantan Ketua Umum PBNU,
baru-baru ini dalam sebuah Podcast bersama Akbar Faisal.
Aku terdiam. Tapi pertanyaanku belum selesai
sampai di situ. Maka kutanyakan pula: "Lalu bagaimana dengan mereka
yang memungut ayat dan hadis untuk mengukuhkan kekuasaan? Yang mengatur tafsir
agar sejalan dengan kebijakan? Yang menjadikan agama sebagai alat siasat, bukan
pelita batin?" Agama
seringkali dipolitisasi untu kepentingan kuasa hingga kehilangan makna
hakikinya.
Dalam imaji-ku, Nabi menjawab: "Agama,"
katanya dengan lirih, "bukan alat. Ia adalah jalan. Jika politik datang
untuk menegakkan keadilan, maka ia adalah saudara agama. Tapi jika ia datang
untuk membungkam, menjarah, dan menipu atas nama Tuhan, maka agama hanya akan
menjadi topeng."
"Aku datang bukan membawa
tahta, tapi tugas. Ketika Mekah bersujud padaku, aku memilih untuk bersujud
kepada-Nya. Tapi kini, mereka mengangkat namaku di mimbar-mimbar, untuk
mengangkat dirinya sendiri. Mereka berbicara seolah membawa wahyu yang pernah
aku terima, padahal hanya membawa kepentingan sendiri."
Aku bayangkan Rasul berkata pelan, dengan
nada sesal namun ia tahan: “Agama bukan panggung, dan aku bukan tokoh drama.
Aku datang bukan untuk membangun kekuasaan, tapi menegakkan kesaksian. Siapa
pun yang menjadikan agamaku sebagai senjata untuk merebut jabatan, ia telah
mencemari sumur yang dulu kutimba dengan air air mata.”
Seketika suasana batin ini menjadi berat,
seperti langit yang menahan hujan. Aku ingin menjawab, ingin membela zaman,
tapi tak ada kalimat yang cukup bersih untuk dipersembahkan di hadapan Nabi.
Maka aku hanya bisa berkata lirih: "Aku malu, Ya Rasul. Sebab nama-Mu
kini dipakai untuk membenarkan kekuasaan yang menindas. Gelar keluargamu dijual
dalam pasar gengsi. Dakwah berubah menjadi bisnis. Dan sunnah menjadi seleksi
sosial. Kami tak tahu lagi, mana warisanmu, mana warisan mereka yang hanya
mengaku-ngaku."
Nabi tidak marah. Ia hanya mengangkat matanya
ke langit, dan berkata pelan: "Ketahuilah! Risalahku tidak diwariskan
dalam nama, tapi dalam akhlak. Siapa pun yang jujur, ia dekat denganku, meski tidak
satu darah. Siapa pun yang menindas, ia jauh dariku, meski mengaku ahli bait.
Jangan biarkan agamaku menjadi alat dagang atau senjata politik. Bawalah ia
kembali ke hati: tempat di mana ia pertama kali turun."
Dialog imajiner ini sungguh melegakan batin
ini yang sebelumnya gusar melihat watak dan retak orang-orang yang hobi
mengkapitalisasi nasab dan mempolitisasi agama dengan tujuan dunia sesaat. Tidak
berapa lalu, kemudia ia berdiri, dan seperti cahaya yang kembali ke matahari,
ia hilang. Tapi suaranya tinggal, menempel di dinding dadaku. Ia berkata: "Jadilah
seperti pelita kecil. Jangan takut pada gelap yang besar. Jangan biarkan namaku
diseret ke pasar. Bawa risalahku ke jalan yang sepi—di mana hanya keikhlasan
dan cinta yang menjadi bekal."
Dan kata-kata itu menggema dalam kesadaran
yang paling sunyi: bahwa kita hidup dalam zaman ketika nama Nabi Muhammad Saw sering
kali lebih terdengar dalam debat politik daripada dalam permenungan spiritual.
Bahwa mihrab telah digeser oleh panggung, dan kalimat-kalimat suci dibungkus
seperti slogan kampanye.
Rumi pernah menulis, “Kebenaran bukan di
luar sana, tapi menunggu di dalam dirimu, seperti bulan yang malu-malu
memandang laut.” Maka mungkin, jika Nabi datang hari ini, ia tidak akan
menghadiri debat atau duduk di kursi kehormatan. Ia akan mengetuk pintu hati
kita satu per satu, menanyakan bukan seberapa keras kita membela namanya di
media sosial, tapi seberapa dalam kita meneladani akhlaknya dalam senyap.
Aku kembali ke dunia, setelah imaji itu perlahan
mulai memudar bersama sinar pagi yang datang dengan perlahan menyapu gelapnya sisa-saia
malam. Tapi aku tahu, aku tak lagi sama. Dalam dada ini kini tinggal beban yang
sekaligus cahaya: untuk tidak menjadikan agama sebagai alat, tidak menjadikan
nasab sebagai alasan, dan tidak menjadikan Nabi sebagai simbol kosong.
Sebaliknya, aku ingin menjadikannya gema di
setiap laku: dalam kejujuran, dalam keberpihakan kepada yang lemah, dalam
kesederhanaan yang menolak dipuja, dalam cinta yang tidak ingin menguasai, tapi
membebaskan. Maka jika hari ini, aku bertanya:
“di mana Nabi?” Jawabannya bukan di garis keturunan. Juga bukan di
podium politik. Tapi di dalam diri kita sendiri:
di dalam setiap langkah dan laku hidup kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar