Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 17 April 2025

Dialog Imajiner: Andai Nabi Kembali di Abad Ini


Dialog Imajiner: Andai Nabi Kembali di Abad Ini

Tentang Nasab yang Dikapitalisasi dan Agama yang Dipolitisasi

Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Nabi Muhammad Saw. memang telah pergi. Ia telah menyeberang ke sisi dunia yang tak lagi bisa disentuh oleh waktu dan musim. Ia telah meninggalkan kita—bukan karena membelakangi, tapi karena tugasnya telah purna. Ia telah menyelesaikan risalah agung, menaburkan cahaya, dan membuka jalan terang bagi mereka yang ingin pulang di jalan yang benar. Dan setelah itu, ia tidak tinggal untuk disembah, tapi pergi agar kita belajar mencintainya tanpa kehadiran.

 

Kita, umatnya, tidak akan mungkin bertemu dengannya di dunia ini. Bukan karena cinta kita kurang, tetapi karena ruang dan waktu telah menetapkan batas yang tak bisa dilompati oleh kerinduan semata. Tak ada perjalanan fisik yang dapat mengantarkan kita kepadanya, tak ada pesawat, tak ada langkah, tak ada jalur diplomasi menuju Mekah-Madinah abad ketujuh dulu yang merekam seluruh perjuangannya dengan segenap suka dan dukanya.

 

Tapi justru di situlah letak keajaibannya. Ia yang telah pergi, justru paling hidup dalam hati mereka yang mencintai. Ia yang tak bisa dijumpai, justru paling dekat dengan air mata yang jatuh saat bershalawat. Tak ada jarak sejauh cinta. Dan tak ada cinta sebesar rindu yang membuncah kepada manusia yang menyinari dunia meski wajahnya tak pernah kita tatap walau sekejap mata. Seperti bait syair Taufiq Ismail yang didendangkan BIMBO: “Rindu Kami Padamu Ya Rasul/Rindu Tiada Terperi/Beradab Jarak Darimu Ya Rasul/Serasa Dikau di Sini”.

 

Kita tak akan bisa menggenggam tangannya di dunia ini. Namun kita bisa menggenggam warisannya: akhlaknya, kelembutannya, keberaniannya, dan senyum sabarnya di tengah zaman yang penuh dengan gemuruh dan kedangkalan makna. Ia memang tak lagi ada di antara kita secara jasadi. Tapi setiap kali kita memilih jujur dalam tindakan, lembut dalam kekuasaan, dan sabar dalam derita—ia hadir. Diam-diam. Dalam laku kita setiap saat.

---

Nabi Muhammad memang tak lagi ada di dunia ini. Tapi di malam-malam yang kerap didekap rasa gelisah ini, aku  kerap bertanya dalam keheningan diri yang bukan sekadar sepi: “Apa jadinya jika Nabi yang agung itu kembali hidup dan berjalan bersama kita di abad ini—abad yang canggih tapi gamang, abad yang berkilau tapi keropos oleh kegelisahan spiritual dan makna hidup yang tandus?”. Begitulah dialog imajiner yang bergejolak dalam batin ini. Aku membayangkan bertemu Rasul dan bertanya tentang beberapa hal kepadanya.

 

Nabi, dalam khayalku, andai ia hadir kembali di abad ini, ia tidak datang dengan sorak sorai atau pawai kehormatan. Karena memang ia tidak ingin dipuja. Apalagi dikeramatkan (disakralkan). Ia tidak muncul di layar kaca, tidak menghadiri forum elite, tidak berpose di konferensi pers. Ia berjalan pelan, seperti biasanya, membelah lorong-lorong kota yang riuh oleh poster-poster pemilu dan baliho-baliho bertuliskan nama-nama keluarganya—yang kini menjadi semacam merek dagang, dijual dalam diskursus keagamaan yang sudah kehilangan cahaya.

 

Di hadapannya aku ingin menyapanya, tapi lidahku kelu tak berdaya. Sebab dalam diamnya saja, aku seperti dihakimi oleh cermin yang bening sekali. Tapi entah dari mana keberanian itu datang, aku bertanya, pelan, gemetar: "Ya Rasulullah, jika engkau menyaksikan bagaimana sebagian orang kini menjadikan keturunanmu sebagai alat untuk menjual legitimasi, bagaimana mereka memperdagangkan garis darahmu untuk meraih kehormatan dan suara, apa yang akan engkau katakan?".

 

Isu nasab dalam beberapa tahun ini memang sedang jadi buah bibir di masyarakat. Ia menatapku dengan tatapan yang dulu membuat batu Mekah pun remuk oleh iba. Kemudian ia menjawab, tanpa marah, tanpa gegabah, tapi setiap katanya seperti pisau yang melucuti kepalsuan dan kebusukan, menelanjangi topeng yang dipakai mereka yang mengaku keturunan nabi.

 

"Nasab adalah amanah, bukan tiket untuk dihormati. Siapa pun yang mengangkat namaku untuk menjatuhkan orang lain, atau membungkus kerakusannya dengan sorban nasab, maka ia bukan pewarisku, tapi penjiplak bayanganku. Aku tidak meninggalkan agama untuk dijadikan panggung. Aku tidak mewariskan darah untuk dijadikan alasan menindas."

 

“Ketahuilah, nasab bukanlah mahkota yang diwariskan di atas kepala, tapi akhlak yang diwariskan lewat laku.  Siapa pun yang mencatut namaku, namun berperilaku seperti Firaun yang membungkus kekuasaan dengan doa, ia telah mengubur kecintaan umat di bawah reruntuhan kesombongan. Aku datang membawa kemanusiaan, bukan kasta.  Dan jika hari ini engkau melihat orang-orang menjual nama keluargaku seperti saham di bursa agama, ketahuilah—itu bukan risalah yang kutinggalkan, melainkan nafsu yang memakai jubah keagungan."


Dalam kebudayaan kita hari ini, nasab telah menjadi komoditas. Orang-orang mengangkat silsilah sebagai alat meraih harta benda, popularitas dan kehormatan. Nama keluarga Nabi diperdagangkan dalam iklan, dalam politik identitas, dalam proyek-proyek representasi. Seolah menjadi cucu biologis berarti menjadi wakil kebenaran mutlak. Nasab dikapitalisasi untuk memupuk materi, gengsi dan ketenaran dunia.

 

Padahal, seperti kata Ali Shariati, revolusi Islam tidak bertumpu pada garis darah, tapi pada keberpihakan kepada keadilan. Dan keberpihakan itu tidak diwarisi lewat genetik, tapi dipilih lewat keputusan eksistensial manusia. Islam bukan agama darah, tapi agama yang menjunjung ilmu dan adab (akhlak). Siapa yang menjadikan nasab sebagai alat maka ia telah menyelewengkan ajaran nabi yang suci.

 

Rasulullah—dalam khayalku yang mungkin terlalu fana untuk menyentuh hakikatnya—tidak pernah membanggakan nasab. Bahkan ia memperingatkan: bahwa keturunan tidak menjamin kemuliaan, dan siapa pun yang sombong karena silsilah, hakikatnya sedang menyembah dirinya sendiri, bukan Tuhan. Dan siapa yang membanggakan silsilah sebetulnya ia tidak memiliki apa-apa dalam dirinya: tak punya kapasitas, tak punya otoritas apa-apa dalam agama, seperti pernah disampaikan KH. Said Agil Sirraj, mantan Ketua Umum PBNU, baru-baru ini dalam sebuah Podcast bersama Akbar Faisal.

 

Aku terdiam. Tapi pertanyaanku belum selesai sampai di situ. Maka kutanyakan pula: "Lalu bagaimana dengan mereka yang memungut ayat dan hadis untuk mengukuhkan kekuasaan? Yang mengatur tafsir agar sejalan dengan kebijakan? Yang menjadikan agama sebagai alat siasat, bukan pelita batin?" Agama seringkali dipolitisasi untu kepentingan kuasa hingga kehilangan makna hakikinya.

 

Dalam imaji-ku, Nabi menjawab: "Agama," katanya dengan lirih, "bukan alat. Ia adalah jalan. Jika politik datang untuk menegakkan keadilan, maka ia adalah saudara agama. Tapi jika ia datang untuk membungkam, menjarah, dan menipu atas nama Tuhan, maka agama hanya akan menjadi topeng."

 

"Aku datang bukan membawa tahta, tapi tugas. Ketika Mekah bersujud padaku, aku memilih untuk bersujud kepada-Nya. Tapi kini, mereka mengangkat namaku di mimbar-mimbar, untuk mengangkat dirinya sendiri. Mereka berbicara seolah membawa wahyu yang pernah aku terima, padahal hanya membawa kepentingan sendiri."

 

Aku bayangkan Rasul berkata pelan, dengan nada sesal namun ia tahan: “Agama bukan panggung, dan aku bukan tokoh drama. Aku datang bukan untuk membangun kekuasaan, tapi menegakkan kesaksian. Siapa pun yang menjadikan agamaku sebagai senjata untuk merebut jabatan, ia telah mencemari sumur yang dulu kutimba dengan air air mata.”

 

Seketika suasana batin ini menjadi berat, seperti langit yang menahan hujan. Aku ingin menjawab, ingin membela zaman, tapi tak ada kalimat yang cukup bersih untuk dipersembahkan di hadapan Nabi. Maka aku hanya bisa berkata lirih: "Aku malu, Ya Rasul. Sebab nama-Mu kini dipakai untuk membenarkan kekuasaan yang menindas. Gelar keluargamu dijual dalam pasar gengsi. Dakwah berubah menjadi bisnis. Dan sunnah menjadi seleksi sosial. Kami tak tahu lagi, mana warisanmu, mana warisan mereka yang hanya mengaku-ngaku."

 

Nabi tidak marah. Ia hanya mengangkat matanya ke langit, dan berkata pelan: "Ketahuilah! Risalahku tidak diwariskan dalam nama, tapi dalam akhlak. Siapa pun yang jujur, ia dekat denganku, meski tidak satu darah. Siapa pun yang menindas, ia jauh dariku, meski mengaku ahli bait. Jangan biarkan agamaku menjadi alat dagang atau senjata politik. Bawalah ia kembali ke hati: tempat di mana ia pertama kali turun."

 

Dialog imajiner ini sungguh melegakan batin ini yang sebelumnya gusar melihat watak dan retak orang-orang yang hobi mengkapitalisasi nasab dan mempolitisasi agama dengan tujuan dunia sesaat. Tidak berapa lalu, kemudia ia berdiri, dan seperti cahaya yang kembali ke matahari, ia hilang. Tapi suaranya tinggal, menempel di dinding dadaku. Ia berkata: "Jadilah seperti pelita kecil. Jangan takut pada gelap yang besar. Jangan biarkan namaku diseret ke pasar. Bawa risalahku ke jalan yang sepi—di mana hanya keikhlasan dan cinta yang menjadi bekal." 

 

Dan kata-kata itu menggema dalam kesadaran yang paling sunyi: bahwa kita hidup dalam zaman ketika nama Nabi Muhammad Saw sering kali lebih terdengar dalam debat politik daripada dalam permenungan spiritual. Bahwa mihrab telah digeser oleh panggung, dan kalimat-kalimat suci dibungkus seperti slogan kampanye.

 

Rumi pernah menulis, “Kebenaran bukan di luar sana, tapi menunggu di dalam dirimu, seperti bulan yang malu-malu memandang laut.” Maka mungkin, jika Nabi datang hari ini, ia tidak akan menghadiri debat atau duduk di kursi kehormatan. Ia akan mengetuk pintu hati kita satu per satu, menanyakan bukan seberapa keras kita membela namanya di media sosial, tapi seberapa dalam kita meneladani akhlaknya dalam senyap.

 

Aku kembali ke dunia, setelah imaji itu perlahan mulai memudar bersama sinar pagi yang datang dengan perlahan menyapu gelapnya sisa-saia malam. Tapi aku tahu, aku tak lagi sama. Dalam dada ini kini tinggal beban yang sekaligus cahaya: untuk tidak menjadikan agama sebagai alat, tidak menjadikan nasab sebagai alasan, dan tidak menjadikan Nabi sebagai simbol kosong.

 

Sebaliknya, aku ingin menjadikannya gema di setiap laku: dalam kejujuran, dalam keberpihakan kepada yang lemah, dalam kesederhanaan yang menolak dipuja, dalam cinta yang tidak ingin menguasai, tapi membebaskan. Maka jika hari ini, aku bertanya:  “di mana Nabi?” Jawabannya bukan di garis keturunan. Juga bukan di podium politik.  Tapi di dalam diri kita sendiri: di dalam setiap langkah dan laku hidup kita.

 


Tidak ada komentar: