Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 18 Maret 2025

Islam Tanpa Mazhab: Solusi atau Kekacauan?


 

Esai ini adalah refleksi awal dari penulis sekaligus narasumber utama dalam sebuah kajian atau diskusi publik yang diselenggarakan Almash (aliansi masjid) Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, Kamis, 13 Maret 2025.


oleh Mohamad Asrori Mulky 

Mazhab-mazhab yang lahir dari rahim pemikiran para ulama telah menjadi pilar-pilar yang menyangga kokohnya bangunan syariat. Namun kini, gema zaman mengguncang sendi-sendi lama, melahirkan pertanyaan yang menggetarkan: haruskah Islam berjalan tanpa mazhab, ataukah itu langkah menuju kehancuran?

 

Islam tanpa mazhab bukan sekadar terminologi akademik yang dingin, melainkan gelombang pemikiran yang mendamba kebebasan dari kungkungan tekstual yang dianggap membatasi. Ia lahir dari keinginan untuk kembali kepada fitrah agama, mencelupkan diri langsung ke samudra wahyu tanpa perantara. Namun, di manakah batas antara kebebasan dan kebingungan? Adakah ini jalan menuju kesatuan atau malah jurang perpecahan umat yang lebih dalam?

 

Muhammad Abduh, seorang reformis yang benderangnya menyapu kabut pemikiran jumud, berujar bahwa Islam harus dibersihkan dari belenggu taqlid, agar cahaya ijtihad menyala kembali. Hal demikian ia torehkan dalam Risâlah al Tauhîd, sebuah kitab yang didaras banyak sarjana dunia dan memengaruhi alam pikiran kaum modernis. Kitab ini bukan sekadar untaian kata, melainkan sulaman filsafat dan tauhid yang dirajut dengan benang rasionalitas.

 

Abduh menolak keterpurukan akal dalam jeruji taklid buta. Baginya, tauhid bukan sekadar dogma yang diwariskan tanpa nalar, melainkan fajar yang mesti disaksikan dengan mata jernih dan hati yang terbangun dari lelap. “Agama adalah cahaya yang menyinari akal, bukan bara yang menghanguskan kebebasan berpikir,” demikian suara Abduh begitu kencang dan menggelegar dalam halaman-halaman kitabnya.

 

Dalam gerakan pembaharuannya, Abduh ingin menghidupkan kembali logika dalam tauhid, seraya menafikan segala tahayul yang membungkus kesadaran umat dari zaman ke zaman. Tuhan, dalam kaca mata Abduh, bukanlah sekadar entitas transenden yang jauh dari jangkauan, melainkan realitas yang paling hakiki yang dapat dikenali oleh akal yang bersih dari karat kejumudan.

 

Bagi kaum modernis seperti Muhammad Abduh, mazhab telah menjadi tembok tinggi yang menghalangi umat untuk berpikir mandiri dan kritis, melahirkan fragmentasi dan perpecahan hingga berdampak pada kemunduran umat secara menyeluruh. Mereka beranggapan bahwa dengan kembali langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, umat akan menemukan Islam dalam kemurniannya, sebagaimana fajar yang tak terselubungi awan.

 

Namun, pandangan ini mendapat perlawanan dari para penjaga tradisi. Syekh Yusuf al-Qaradawi, dengan kebijaksanaan seorang ulama yang menatap jauh ke depan, menegaskan bahwa mazhab bukanlah belenggu, melainkan jembatan yang menghubungkan zaman Rasulullah dengan realitas umat hari ini. Para imam besar—Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal—bukan sekadar pencari kebenaran, tetapi juga penjaga agar syariat tetap berkelindan dengan logika dan maslahat.

 

Dalam kebebasan yang didamba, sering kali tersembunyi bahaya. Tanpa kerangka mazhab, umat bisa terombang-ambing di lautan dalil yang luas dan dalam. Layaknya musafir tanpa peta, mereka bisa salah arah, tersesat dalam samudra perbedaan penafsiran. Tanpa rambu-rambu metodologi yang ditetapkan para ulama, ayat suci bisa dijadikan alat legitimasi bagi kepentingan individu atau kelompok.

 

Namun, di sisi lain, sistem mazhab yang kaku dan membelenggu juga dapat menumpulkan daya pikir. Jika mazhab dijadikan dogma yang tidak boleh dipertanyakan, maka agama kehilangan dinamikanya. Bukankah Islam mengajarkan ijtihad dan pembaruan? Dalam ketegangan antara tradisi dan pembaruan ini, umat Islam mesti bersikap arif, memilih jalan tengah yang tidak menanggalkan akar, namun tetap mampu merentangkan sayap menuju langit.

 

Dunia terus berputar, dan pemikiran manusia pun terus berevolusi. Islam tanpa mazhab bisa menjadi gerbang menuju kesatuan, atau justru pintu masuk bagi kehancuran yang lebih besar. Jika tanpa mazhab berarti membebaskan diri dari belenggu kebekuan, maka ia adalah rahmat. Namun, jika ia menciptakan generasi yang enggan menapaki jejak ulama, maka ia adalah bencana.

 

Bermazhab itu penting sejauh tidak melahirkan permusuhan, truth claim (klaim kebenaran), dan saling lempar tuduhan sesat di antara mazhab yang ada. Dalam samudra luas pemikiran Islam, mazhab diibartkan seperti perahu yang kokoh, mengantarkan mereka yang awam menuju tepian keselamatan. Ia adalah peta di tengah kabut zaman, mercusuar yang menjaga langkah dari gelombang kebingungan. Tanpanya, umat mudah hanyut dalam arus tanpa arah, terombang-ambing di antara keraguan dan kebingungan.

 

Namun, sebagaimana perahu dibuat bagi mereka yang belum menguasai lautan, ia bukan penjara bagi mereka yang telah menyelam ke dasar hikmah. Bagi yang telah menguasai angin dalil dan memahami arus nash, lautan terbentang luas untuk dijelajahi, dan perahu tidak lagi menjadi batas gerak. Mereka yang memiliki kemampuan melepaskan mazhab lama dan melahirkan mazhab baru sangat dimungkinkan.


Imam Syafi’i, yang pada mulanya berpegang pada mazhab gurunya, Imam Malik, akhirnya menancapkan layar baru, membangun sebuah istana ijtihad yang disebut al-Madzhab al-Jadid. Demikian pula Abu Hanifah, yang berani melawan tradisi dan menyusun fiqh dengan ketinggian nalar dan kelembutan dalil. Mereka bukan penghuni perahu, tetapi nahkoda yang mengukir jalur baru di samudra hukum.

 

Namun, melahirkan mazhab bukanlah tugas para pengelana biasa. Ia bukan sekadar menampik mazhab lama atau menggantinya dengan kilatan gagasan sesaat. Ia adalah tugas bagi mereka yang telah menempuh jalan panjang, memahami nash dengan hati yang jernih, menimbang dalil dengan akal yang tajam, dan mendengar detak zaman dengan telinga kebijaksanaan.

 

Bagi mereka yang awam, meniti mazhab adalah bentuk ketundukan pada hikmah. Sebagaimana seorang buta yang menggenggam tangan penuntunnya, demikian pula orang yang tak mendalam ilmunya bersandar pada warisan ulama. Tiada cela dalam ketundukan kepada yang lebih mengetahui, sebagaimana tiada hina dalam mengikuti cahaya di tengah gelap.

 

Tetapi bagi yang telah menemukan cahaya dalam dirinya, yang telah meneguk dari sumber hikmah yang jernih, ia tidak lagi hanya mengikuti—ia mencipta. Ia tidak sekadar mendengar, tetapi berkata. Bagi mereka, mazhab bukanlah batas, tetapi batu loncatan menuju cakrawala yang lebih luas.

 

Sebagaimana air yang terus mengalir, ilmu pun tak boleh beku. Zaman berubah, peradaban berkembang, dan hukum harus tetap hidup, mengikuti detak nadi umat. Di sinilah para pemikir besar lahir, mereka yang mampu menjahit teks dengan realitas, menghidupkan hukum dengan hikmah, dan melahirkan mazhab yang sesuai dengan denyut zaman.

 

Di puncak semua itu, satu hal tak boleh dilupakan: Mazhab bukan sekadar produk akal, tetapi juga gema wahyu. Siapa pun yang ingin membangun jembatan baru, haruslah berdiri kokoh di atas fondasi keilmuan yang tak tergoyahkan, agar ia tak mencipta istana di atas pasir yang rapuh.

Tidak ada komentar: