Esai ini adalah refleksi awal dari penulis
sekaligus narasumber utama dalam sebuah kajian atau diskusi publik yang diselenggarakan
Almash (aliansi masjid) Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU)
Nusantara Tangerang, Kamis, 13 Maret 2025.
Mazhab-mazhab yang lahir dari rahim pemikiran
para ulama telah menjadi pilar-pilar yang menyangga kokohnya bangunan syariat.
Namun kini, gema zaman mengguncang sendi-sendi lama, melahirkan pertanyaan yang
menggetarkan: haruskah Islam berjalan tanpa mazhab, ataukah itu langkah menuju
kehancuran?
Islam tanpa mazhab bukan sekadar terminologi
akademik yang dingin, melainkan gelombang pemikiran yang mendamba kebebasan
dari kungkungan tekstual yang dianggap membatasi. Ia lahir dari keinginan untuk
kembali kepada fitrah agama, mencelupkan diri langsung ke samudra wahyu tanpa
perantara. Namun, di manakah batas antara kebebasan dan kebingungan? Adakah ini
jalan menuju kesatuan atau malah jurang perpecahan umat yang lebih dalam?
Muhammad Abduh, seorang reformis yang
benderangnya menyapu kabut pemikiran jumud, berujar bahwa Islam harus
dibersihkan dari belenggu taqlid, agar cahaya ijtihad menyala kembali. Hal
demikian ia torehkan dalam Risâlah al Tauhîd, sebuah kitab yang didaras banyak
sarjana dunia dan memengaruhi alam pikiran kaum modernis. Kitab ini bukan
sekadar untaian kata, melainkan sulaman filsafat dan tauhid yang dirajut dengan
benang rasionalitas.
Abduh menolak keterpurukan akal dalam jeruji
taklid buta. Baginya, tauhid bukan sekadar dogma yang diwariskan tanpa nalar,
melainkan fajar yang mesti disaksikan dengan mata jernih dan hati yang
terbangun dari lelap. “Agama adalah cahaya yang menyinari akal, bukan bara yang
menghanguskan kebebasan berpikir,” demikian suara Abduh begitu kencang dan
menggelegar dalam halaman-halaman kitabnya.
Dalam gerakan pembaharuannya, Abduh ingin
menghidupkan kembali logika dalam tauhid, seraya menafikan segala tahayul yang
membungkus kesadaran umat dari zaman ke zaman. Tuhan, dalam kaca mata Abduh,
bukanlah sekadar entitas transenden yang jauh dari jangkauan, melainkan
realitas yang paling hakiki yang dapat dikenali oleh akal yang bersih dari
karat kejumudan.
Bagi kaum modernis seperti Muhammad Abduh,
mazhab telah menjadi tembok tinggi yang menghalangi umat untuk berpikir mandiri
dan kritis, melahirkan fragmentasi dan perpecahan hingga berdampak pada
kemunduran umat secara menyeluruh. Mereka beranggapan bahwa dengan kembali
langsung pada Al-Qur'an dan Hadis, umat akan menemukan Islam dalam
kemurniannya, sebagaimana fajar yang tak terselubungi awan.
Namun, pandangan ini mendapat perlawanan dari
para penjaga tradisi. Syekh Yusuf al-Qaradawi, dengan kebijaksanaan seorang
ulama yang menatap jauh ke depan, menegaskan bahwa mazhab bukanlah belenggu,
melainkan jembatan yang menghubungkan zaman Rasulullah dengan realitas umat
hari ini. Para imam besar—Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam
Ahmad bin Hanbal—bukan sekadar pencari kebenaran, tetapi juga penjaga agar
syariat tetap berkelindan dengan logika dan maslahat.
Dalam kebebasan yang didamba, sering kali
tersembunyi bahaya. Tanpa kerangka mazhab, umat bisa terombang-ambing di lautan
dalil yang luas dan dalam. Layaknya musafir tanpa peta, mereka bisa salah arah,
tersesat dalam samudra perbedaan penafsiran. Tanpa rambu-rambu metodologi yang
ditetapkan para ulama, ayat suci bisa dijadikan alat legitimasi bagi
kepentingan individu atau kelompok.
Namun, di sisi lain, sistem mazhab yang kaku dan
membelenggu juga dapat menumpulkan daya pikir. Jika mazhab dijadikan dogma yang
tidak boleh dipertanyakan, maka agama kehilangan dinamikanya. Bukankah Islam
mengajarkan ijtihad dan pembaruan? Dalam ketegangan antara tradisi dan
pembaruan ini, umat Islam mesti bersikap arif, memilih jalan tengah yang tidak
menanggalkan akar, namun tetap mampu merentangkan sayap menuju langit.
Dunia terus berputar, dan pemikiran manusia
pun terus berevolusi. Islam tanpa mazhab bisa menjadi gerbang menuju kesatuan,
atau justru pintu masuk bagi kehancuran yang lebih besar. Jika tanpa mazhab
berarti membebaskan diri dari belenggu kebekuan, maka ia adalah rahmat. Namun,
jika ia menciptakan generasi yang enggan menapaki jejak ulama, maka ia adalah
bencana.
Bermazhab itu penting sejauh tidak melahirkan
permusuhan, truth claim (klaim kebenaran), dan saling lempar tuduhan
sesat di antara mazhab yang ada. Dalam samudra luas pemikiran Islam, mazhab diibartkan
seperti perahu yang kokoh, mengantarkan mereka yang awam menuju tepian
keselamatan. Ia adalah peta di tengah kabut zaman, mercusuar yang menjaga
langkah dari gelombang kebingungan. Tanpanya, umat mudah hanyut dalam arus
tanpa arah, terombang-ambing di antara keraguan dan kebingungan.
Namun, sebagaimana perahu dibuat bagi mereka
yang belum menguasai lautan, ia bukan penjara bagi mereka yang telah menyelam
ke dasar hikmah. Bagi yang telah menguasai angin dalil dan memahami arus nash,
lautan terbentang luas untuk dijelajahi, dan perahu tidak lagi menjadi batas
gerak. Mereka yang memiliki kemampuan melepaskan mazhab lama dan melahirkan
mazhab baru sangat dimungkinkan.
Imam Syafi’i, yang pada mulanya berpegang
pada mazhab gurunya, Imam Malik, akhirnya menancapkan layar baru, membangun
sebuah istana ijtihad yang disebut al-Madzhab al-Jadid. Demikian pula Abu
Hanifah, yang berani melawan tradisi dan menyusun fiqh dengan ketinggian nalar
dan kelembutan dalil. Mereka bukan penghuni perahu, tetapi nahkoda yang
mengukir jalur baru di samudra hukum.
Namun, melahirkan mazhab bukanlah tugas para
pengelana biasa. Ia bukan sekadar menampik mazhab lama atau menggantinya dengan
kilatan gagasan sesaat. Ia adalah tugas bagi mereka yang telah menempuh jalan
panjang, memahami nash dengan hati yang jernih, menimbang dalil dengan
akal yang tajam, dan mendengar detak zaman dengan telinga kebijaksanaan.
Bagi mereka yang awam, meniti mazhab adalah
bentuk ketundukan pada hikmah. Sebagaimana seorang buta yang menggenggam tangan
penuntunnya, demikian pula orang yang tak mendalam ilmunya bersandar pada
warisan ulama. Tiada cela dalam ketundukan kepada yang lebih mengetahui,
sebagaimana tiada hina dalam mengikuti cahaya di tengah gelap.
Tetapi bagi yang telah menemukan cahaya dalam
dirinya, yang telah meneguk dari sumber hikmah yang jernih, ia tidak lagi hanya
mengikuti—ia mencipta. Ia tidak sekadar mendengar, tetapi berkata. Bagi mereka,
mazhab bukanlah batas, tetapi batu loncatan menuju cakrawala yang lebih luas.
Sebagaimana air yang terus mengalir, ilmu pun
tak boleh beku. Zaman berubah, peradaban berkembang, dan hukum harus tetap
hidup, mengikuti detak nadi umat. Di sinilah para pemikir besar lahir, mereka
yang mampu menjahit teks dengan realitas, menghidupkan hukum dengan hikmah, dan
melahirkan mazhab yang sesuai dengan denyut zaman.
Di puncak semua itu, satu hal tak boleh
dilupakan: Mazhab bukan sekadar produk akal, tetapi juga gema wahyu. Siapa pun
yang ingin membangun jembatan baru, haruslah berdiri kokoh di atas fondasi
keilmuan yang tak tergoyahkan, agar ia tak mencipta istana di atas pasir yang
rapuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar