Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di tengah lautan informasi yang terhampar bebas dan tak
terkendali, kita menyaksikan dunia yang kita huni ini tak lagi berlandaskan
fakta. Era post-truth telah datang, menjauhkan manusia dari kejelasan,
memburamkan garis antara kenyataan dan kebohongan. Post-truth bukan sekadar
zaman yang memudarkan batas antara fakta dan fiksi, tetapi juga sebuah pentas
besar tempat emosi menjadi raja, sementara akal tersingkir ke sudut-sudut yang
sunyi.
Dalam situasi seperti itu, kebohongan bukan lagi sesuatu yang
tersembunyi dalam gelap, tetapi ia menari di ruang-ruang maya, menghipnotis
para penonton yang tak lagi mencari kebenaran, tetapi hanya mendengar apa yang
ingin didengar. Jean Baudrillard menyebut situasi itu dengan hyperreality, yaitu
zaman di mana kebenaran tak lagi bermahkota, apa yang kita anggap sebagai
kenyataan hanyalah konstruksi media semata.
Namun, di tengah pusaran badai ini, para intelektual dan kaum
cerdik pandai bangsa ini seharusnya hadir bukan sebagai nabi yang berteriak lantang
dari menara gading, tetapi sebagai lentera yang menembus pekatnya kabut zaman.
Mereka bukan sekadar pemungut serpihan-serpihan kebenaran yang tercecer, tetapi
penjaga kewarasan bangsa dari meluasnya banjir hoaks yang kian deras
memenuhi kesadaran setiap orang.
KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, menyebut
era post-truth sebagai Iltibas. Istilah itu beliau sampaikan di hadapan Ikatan
Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Tangerang dalam perjamuan batin dan jasmani,
buka puasa bersama di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang, 15 Maret
2025.
Beliau mengibaratkan Iltibas, seperti kabut yang
menyelimuti hakikat, menjadikan yang hak tampak batil, dan yang batil menyaru
dalam paras kebajikan. Di layar-layar yang berpendar, kata-kata dipelintir,
fakta diburamkan, dan dusta menjelma kebenaran semu. Beliau meminta para sarjana
NU untuk tetap berdiri tegak di hadapan ombak tipu daya, diwajibkan untuk
berpegang teguh pada tali ilmu yang berpijak pada iman. Di tengah badai yang
menyelimuti akal itu, ISNU harus teguh. Menjadi mercusuar dalam samudra
digital, memandu umat menuju tepian yang selamat.
Para sarjana NU harus menjaga api rasionalitas tetap menyala ketika dunia terbuai dalam ilusi. Mereka adalah penjaga batas antara fakta dan fiksi, antara akal dan emosi, antara kebenaran dan kebohongan. Mereka harus berani melawan arus, menantang propaganda, menolak tunduk pada kebisingan yang memabukkan. Sebab jika mereka bungkam, jika mereka menyerah, maka yang tersisa hanyalah kehampaan, dan bangsa ini akan kehilangan arah dalam labirin yang dibangun dari kebohongan.
Dunia digital adalah pisau bermata dua: ia bisa menjadi taman ilmu
yang menumbuhkan kebijaksanaan atau rimba belantara yang menyesatkan.
Post-truth adalah bayang-bayang yang mengintai, siap melahap akal sehat kapan
saja. Di tengah pertarungan ini, para intelektual adalah benteng terakhir yang
menjaga negeri ini dari tenggelam dalam samudra kegelapan. Mereka bukan sekadar
penjaga kata, tetapi penjaga jiwa bangsa. Dan selama mereka tetap tegak, masih
ada harapan bahwa fajar kebenaran akan kembali menyingsing, menggantikan malam
panjang kepalsuan yang menyesakkan.
Ribuan tahun lalu, Plato dalam The Republibc-nya,
melukiskan manusia dewasa ini sebagai makhluk yang terperangkap dalam gua,
melihat bayang-bayang di dinding, percaya bahwa itulah realitas sejati. Seperti
para tawanan dalam alegori gua, kita kini hidup dalam era post-truth, terjebak
dalam ilusi media dan narasi yang dibentuk penguasa. Kebenaran bukan lagi
cahaya yang membebaskan, tetapi sekadar refleksi yang dikendalikan.
Maka, apakah kebenaran masih memiliki tempat? Ataukah kita telah
menyerah pada arus manipulasi? Kaum bijak bestari mengajarkan kita untuk tidak
pasrah, melainkan menggali lebih dalam, mempertanyakan, dan menyalakan kembali
cahaya rasionalitas. Post-truth bukanlah takdir yang tak terhindarkan, tapi
tantangan intelektual yang harus kita hadapi. Dengan daya kritis, akal sehat,
kita dapat menyingkap tabir ilusi, dan menemukan kembali hakikat kebenaran. Dan
itu semua harus dinyalakan oleh para sarjana NU yang tergabung dalam Ikatan
Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar