Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 16 Maret 2025

Tugas Sarjana NU di Era Post Truth



Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di tengah lautan informasi yang terhampar bebas dan tak terkendali, kita menyaksikan dunia yang kita huni ini tak lagi berlandaskan fakta. Era post-truth telah datang, menjauhkan manusia dari kejelasan, memburamkan garis antara kenyataan dan kebohongan. Post-truth bukan sekadar zaman yang memudarkan batas antara fakta dan fiksi, tetapi juga sebuah pentas besar tempat emosi menjadi raja, sementara akal tersingkir ke sudut-sudut yang sunyi.

 

Dalam situasi seperti itu, kebohongan bukan lagi sesuatu yang tersembunyi dalam gelap, tetapi ia menari di ruang-ruang maya, menghipnotis para penonton yang tak lagi mencari kebenaran, tetapi hanya mendengar apa yang ingin didengar. Jean Baudrillard menyebut situasi itu dengan hyperreality, yaitu zaman di mana kebenaran tak lagi bermahkota, apa yang kita anggap sebagai kenyataan hanyalah konstruksi media semata.

 

Namun, di tengah pusaran badai ini, para intelektual dan kaum cerdik pandai bangsa ini seharusnya hadir bukan sebagai nabi yang berteriak lantang dari menara gading, tetapi sebagai lentera yang menembus pekatnya kabut zaman. Mereka bukan sekadar pemungut serpihan-serpihan kebenaran yang tercecer, tetapi penjaga kewarasan bangsa dari meluasnya banjir hoaks yang kian deras memenuhi kesadaran setiap orang.

 

KH. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-13, menyebut era post-truth sebagai Iltibas. Istilah itu beliau sampaikan di hadapan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Tangerang dalam perjamuan batin dan jasmani, buka puasa bersama di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang, 15 Maret 2025.

 

Beliau mengibaratkan Iltibas, seperti kabut yang menyelimuti hakikat, menjadikan yang hak tampak batil, dan yang batil menyaru dalam paras kebajikan. Di layar-layar yang berpendar, kata-kata dipelintir, fakta diburamkan, dan dusta menjelma kebenaran semu. Beliau meminta para sarjana NU untuk tetap berdiri tegak di hadapan ombak tipu daya, diwajibkan untuk berpegang teguh pada tali ilmu yang berpijak pada iman. Di tengah badai yang menyelimuti akal itu, ISNU harus teguh. Menjadi mercusuar dalam samudra digital, memandu umat menuju tepian yang selamat.


Para sarjana NU harus menjaga api rasionalitas tetap menyala ketika dunia terbuai dalam ilusi. Mereka adalah penjaga batas antara fakta dan fiksi, antara akal dan emosi, antara kebenaran dan kebohongan. Mereka harus berani melawan arus, menantang propaganda, menolak tunduk pada kebisingan yang memabukkan. Sebab jika mereka bungkam, jika mereka menyerah, maka yang tersisa hanyalah kehampaan, dan bangsa ini akan kehilangan arah dalam labirin yang dibangun dari kebohongan.

 

Dunia digital adalah pisau bermata dua: ia bisa menjadi taman ilmu yang menumbuhkan kebijaksanaan atau rimba belantara yang menyesatkan. Post-truth adalah bayang-bayang yang mengintai, siap melahap akal sehat kapan saja. Di tengah pertarungan ini, para intelektual adalah benteng terakhir yang menjaga negeri ini dari tenggelam dalam samudra kegelapan. Mereka bukan sekadar penjaga kata, tetapi penjaga jiwa bangsa. Dan selama mereka tetap tegak, masih ada harapan bahwa fajar kebenaran akan kembali menyingsing, menggantikan malam panjang kepalsuan yang menyesakkan.

 

Ribuan tahun lalu, Plato dalam The Republibc-nya, melukiskan manusia dewasa ini sebagai makhluk yang terperangkap dalam gua, melihat bayang-bayang di dinding, percaya bahwa itulah realitas sejati. Seperti para tawanan dalam alegori gua, kita kini hidup dalam era post-truth, terjebak dalam ilusi media dan narasi yang dibentuk penguasa. Kebenaran bukan lagi cahaya yang membebaskan, tetapi sekadar refleksi yang dikendalikan. 

Maka, apakah kebenaran masih memiliki tempat? Ataukah kita telah menyerah pada arus manipulasi? Kaum bijak bestari mengajarkan kita untuk tidak pasrah, melainkan menggali lebih dalam, mempertanyakan, dan menyalakan kembali cahaya rasionalitas. Post-truth bukanlah takdir yang tak terhindarkan, tapi tantangan intelektual yang harus kita hadapi. Dengan daya kritis, akal sehat, kita dapat menyingkap tabir ilusi, dan menemukan kembali hakikat kebenaran. Dan itu semua harus dinyalakan oleh para sarjana NU yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU).

Tidak ada komentar: