Keberadaan tembakau sering memunculkan perdebatan publik di kalangan
akademisi dan ahli farmasi. Perdebatan mengenai hal ini, tidak saja
terjadi diIndonesia, tapi juga di belahan dunia lainya seperti Eropa,
Amerika Latin, dan tentunya Timur Tengah. Sebagian pihak hingga kini
masih meyakini tembakau merupakan barang perusak bagi kesehatan tubuh
manusia. Karena itu secara teologis dipandang sebagai barang haram dan
harus dijauhkan. Secara ekologis tembakau dapat mencemarkan udara dan
merusak lingkungan. Sehingga secara sosial tembakau juga akan berakibat
pada hubungan yang kurang harmonis antara pecandu tembakau dengan yang
anti-tembakau.
Buku yang ada di hadapan Anda ini bukan sedang mempersoalkan apakah
tembakau sebagai barang perusak kesehatan atau tidak. Tapi buku “Nicotine War” bermaksud
membeberkan pada kita bahwa di balik pelarangan tembakau yang selama
ini digencar-gencarkan ada konspirasi besar yang dikendalikan oleh
korperasi global. Tentu saja ini merupakan bagian dari misi terselubung,
persaingan bisnis. Dengan misi picik ini sebetulnya mereka ingin meraup
keuntungan besar setelah industri tembakau hancur bangkrut.
Wanda Hamilton, penulis buku ini, menyajikan fakta dan data hasil
riset yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahanya, bahwa dibalik
agenda picik yang berskala global tentang pengontrolan atas tembakau
terselubung kepentingan besar dari bisnis perdagangan obat-obatan yang
dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).
Hamiltonsadar bahwa apa yang dilakukan NRT merupakan persaingan yang
tidak sehat. Perang nikotin sebagaimana yang telah
digambarkanHamiltondalam buku ini sudah nyaris dimenangkan oleh
korporasi-korporasi farmasi internasional. Salah satu indikasinya adalah
suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh
dari badan internasional kesehatan dunia, WHO, dan para NGO anti
tembakau. Dukungan itu tentu saja tidak sekedar dalam bentuk materi,
tapi juga moral dan dukungan kebijakan kampanye anti tembakau.
Secara kronologis, gencarnya perang global melwan tembakau diawali
dengan peluncuran Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisiative) yang
merupakan salah satu dari tiga WHO Cabinet Project. Program ini
merupakan pelaksanaan kebijakan WHO “Healthfor All in the 21 st Century”
(Kesehatan untuk Semua di Abad 21) di bawah rezim Direktur Jenderal
WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland, mantan Perdana Menteri Norwegia. Doktor
dan politisi kawakan ini terpilih jadi pimpinan WHO pada bulan Mei 1998.
Tanpa menunggu waktu yang lama dan prose yang menjelimet, Proyek
Prakarsa Bebas Tembakau ini langsung dapat dukungan dana dari tiga
korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan
GlaxoWellcome. Dalam pidato Brundtland di acara World Economic Forum di
Davos, Switzeland, tanggal 30 Januari 1999, Brundtland umumkan kemitraan
proyek (Partnership Project) ini. Kenyataan ini merupakan pukulan telak
bagi industri tembakau yang sedang dilancarkan kaum anti tembakau
dengan berbagai argumentasi dan caranya.
Indonesiayang terkenal sebagai bangsa yang kaya akan rempah-rempah
dan penghasil tembakau. Tentu akan merugi jika perang nikotin ini
dimenangkan kaum anti tembakau. Betapa tidak,Indonesiaadlah bangsa yang
sangat berkepentingan dan bergantung secara nasional terhadap tembakau
dengan segala bentuk industrinya. Dan faktanya adalah ada kurang lebih 6
juta rakyatIndonesiayang hidup dan perikehidupanya bergantng pada
tembakau. Fakta lain yang perlu diketahui juga adalah bahwa industri
tembakau merupakan salah satu kontributor terbesar pendanaan APBN
Indonesia.
JikaIndonesiasebagai negara dan masyarakatIndonesiasebagai bangsa
ikut-ikutan menyetujui pelarangan tembakau, lalu siapakah yang dapat
menanggung dan menyiapkan lapangan pekerjan dan sumber penghidupan bagi 6
juta rakyatIndonesia? Siapakah yang dapat menggantikan sumber pendanaan
APBN yang berasal dari industri tembakau dalam negeri yang jumlahnya
sangat besar itu? Apakah penggiat anti tembakau yang mendapatkan dana
yang tak terhitung dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis
dalam agenda anti tembakau? Apakah pihak yang membiayai kampanye anti
tembakau? Atau WHO?
Kita jangan terjebak isu pelarangan anti tembakau hanya karena
tembakau dikatan sebagai barang perusak kesehatan tanpa mengetahui
agenda besar dibalik pelarangan itu.Hamiltoncukup cerdik membaca kasus
ini. Ia tidak ingin melihat ribuan pekerja tembakau di seluruh dunia
menjadi korbannya demi kepentingan korperasi yang suka menghisap
keringat orang lain.
Selain sebagai seorang peneliti, Hamiltonadalah seorang penulis dan
pensiunan akademisi yang disegani. Dia telah meraih gelar M.A dan telah
tuntas menyelesaikan tiga tahun studi tingkat doktoral di Bowling Green
State University, Ohio. Di samping mengajar di tiga Universitas,
Hamiltonbekerja sebagai jurnalis, sebagai seorang spesialis
perpustakaan, dan administrator suatu kelompok yang disebut “a group home for adolescent girls”.
Selama sembilan tahun terakhir ini Hamilton menjadi seorang periset
independen dan menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik
yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok. Hamilton juga
tampil sebagai seorang komentator “pro-smokers’ choice” di radio dan televisi lokal, nasional, dan internasional.
Sekali lagi, sebagai periset yang terlibat langsung dalam soal
tembakau, Hamilton merasakan gejala kuat kesan dan indikasi bahwa
kepentingan kesehatan publik (public health) dengan segala kampanye
bahaya tembakau hanyalah bungkusan (packaging) dari motif kepentingan
bisnis perdagangan produk-produk NRT ini. Atau semacam strategi
pemasaran dari produk-produk NRT ini. Karena itu jangan buru-buru
mendukung pelarangan anti tembakau, apalagi mengharamkanya tanpa
mempertimbangkan dampak buruk terhadap pekerja tembakau yang jumlahnya
cukup banyak diIndonesia.
*Mohamad Asrori Mulky (Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta). Lansir dari: www.rimanews.com – 2 Juli 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar