Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 05 Mei 2020

Kurban Tanda Kekerasan?



Kurban Tanda Kekerasan?
Dimuat di Kompas (Rabu, 19 Desember 2007)
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


Agama dimulai dengan hening, sunyi, dan senyap," kata Goenawan Mohamad. Keheningan dan kesunyian dalam wajah agama lebih menggambarkan wataknya yang ramah, santun, dan beradab. Karena, itu merupakan misi utama kedatangannya ke muka Bumi.

Namun, dalam seluruh perwujudannya, kemarin dan kini, agama menjadi tanda yang bengis, seram, dan menakutkan. Kita sering menyaksikan pertikaian dan ketegangan atas nama agama. Tak jarang, kita saksikan fenomena klaim kebenaran dan sikap "sok suci" umat beragama.

Uraian itu seakan meneguhkan tesis Paul Tillich soal wajah ganda agama, yang suci dan jahat, Yang suci mengajarkan perdamaian, kasih, dan toleransi, yang jahat mengajarkan permusuhan, kekerasan, dan kebenaran tunggal.

Maka tak heran bila banyak orang mengidentikkan agama sebagai dua sisi mata pedang, yang bisa membabat kawan dan lawan.

Pertanyaannya, sisi mana yang lebih merepresentasikan kesejatian wajah agama? Yang suci atau jahat? Benarkah agama lebih merepresentasikan wataknya yang keras, suka berperang, selalu menumpahkan darah, seperti tercermin dalam tradisi kurban, seperti "tuduhan" Rene Girard?

Kompas

Menghapus kekerasan
Menurut Rene Girard, agama adalah tanda kekerasan. Tradisi kurban merupakan manifestasi kekerasan agama. Atas nama Tuhan, Ibrahim mengorbankan anaknya, dan menciptakan kebengisan, meski akhirnya diganti seekor kambing. Atas nama Tuhan pula, Ibrahim tega mengusik keheningan dan kesunyian watak agama yang ramah.

Munculnya terorisme, bom bunuh diri, perang antarsuku, dan kekerasan berlatar agama kian membuktikan tuduhan Rene Girard itu. Inikah wajah agama sebenarnya? Atau watak umat beragama kita sudah retak? Fenomena kekerasan tidak harus sepenuhnya dialamatkan pada agama, tetapi lebih dari itu, pada umat beragama yang keliru memahami hakikat agama itu sendiri. Mereka terjebak simbol, nama, dan petanda.

Ali Shariati dalam Hajj menepis tuduhan Rene Girard. Ditegaskan, kurban pada dirinya sarat makna simbolis dan makna yang tersirat. Ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan kambing, ini bertujuan menghapus tradisi kuno yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Bukan mengafirmasi dan melegitimasi sekian banyak nyawa manusia yang harus melayang.

Peristiwa ini mendakwahkan betapa Tuhannya Ibrahim bukan Tuhan yang bengis, biadab, dan haus darah manusia. Justru, Tuhannya Ibrahim ingin mengembalikan posisi manusia pada harkat, martabat, dan fitrahnya sebagai makhluk yang bebas hidup dan bernapas di Bumi.

Kurban melambangkan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang dibarengi sikap pasrah, berserah diri, dan pengorbanan secara totalitas. Kurban berasal dari kata Arab qaraba-yaqrabu-qurbanan, berarti mendekati, menghampiri, dan mendatangi. Kurban tidak berarti korban (yang dikurbankan) hingga diidentikkan kekerasan. Ia bukan obyek kekerasan itu sendiri, tetapi peneguhan diri di hadapan Tuhan akan sebuah kemerdekaan mutlak yang harus dicapai.

Simbol
Menanggapi tuduhan Rene Girard soal ritual kurban yang diidentikkannya sebagai kekerasan atas nama Tuhan, langkah utama yang harus dilakukan menggali makna simbolis kurban. Karena, dalam setiap ritual keagamaan ada makna hakiki dari makna simbolisnya.

Ritual-ritual keagamaan hanya sekadar "petunjuk", "isyarat", "petanda", "lambang", dan "simbol-simbol’" yang kadang membuat kita bingung. Berbagai maknanya-lah yang harus dipahami, bukan formalitasnya.

Simbol tidak cukup mewakili dirinya memahami hakikat terdalam dari sebuah makna. Ia hanya bisa mewakili kepentingan atau tafsir individu atau kelompok terbatas pengguna simbol itu. Permainan simbol tak jarang menyihir, menipu, sekaligus memerangkap orang yang terkesima. Rene Girard satu dari sekian banyak orang itu.

Tradisi kurban sarat akan makna simbolik. Memahami kurban sebatas penampakannya, yaitu penyembelihan Ismail akan mengarah pada pemahaman agama yang keras, haus darah, kejam. Kurban simbol totalitas penyerahan diri, pembebasan dari bentuk penindasan dan kekerasan.

Kita patut merenungi ilustrasi yang diberikan Jalaluddin Rumi terkait simbol-simbol ritual agama. Ia mengidentikkan simbol agama dengan sekuntum "mawar". Untuk mendapatkan wangi mawar, bukan dengan mengeja m-a-w-a-r, tetapi harus mencari empu yang punya mawar itu. Jadi kita akan merasakan keharuman bunga mawar itu.

Akhirnya, jangan terburu percaya pada yang tampak karena terkadang ia menipu, mengelabui, dan menyeret kita pada ilusi kebenaran. Tangkaplah makna hakikinya karena di sanalah terdapat kebenaran. Sekali lagi, dalam peristiwa kurban bukan penyembelihan yang diinginkan Tuhan, tetapi totalitas kepasrahan dan penyerahan diri. Bukan kekerasan dan pertumpahan darah yang ingin ditunjukkan, tetapi akhir tradisi mengorbankan nyawa manusia untuk kepentingan para dewa dan roh suci.

Tidak ada komentar: