Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 22 Februari 2022

Kalam Suci dan Tafsir yang Tak Pernah Selesai

 

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam suatu masa yang lalu, saat klaim kebenaran (truth claim) diperebutkan oleh banyak kelompok mazhab dan teologi, mistikus Islam Jalaluddin Rumi, mengibaratkan pencari kebenaran seperti anak tangga di bawah kaki langit. Semakin dia merangkak menaiki anak tangga, semakin menjauh langit itu untuk diraih. Dia harus melewati petala langit yang tiada tepi. Begitu pula kiranya perihal kebenaran dari tafsir kitab suci: tak kunjung usai dan tak akan pernah selesai.

Dari waktu ke waktu, hingga ribuan tahun sejak kalam suci itu diwahyukan, tak pernah ada produks tafsir yang abadi. Setiap tafsir yang diproduksi membuka kemungkinan pemahaman baru atas tafsir  lain.لا رأي معصوم و لا اجتهاد مقدس و لا تفسير نهائي .  Tidak ada pendapat yang terhindar dari kesalahan. Tidak ada ijtihad yang sakral. Sebagaimana tidak pernah ada tafsir yang final. Begitulah Said Al Asymawi, cendikiawan Mesir yang pernah menjadi Hakim Agung itu menuturkan dalam “Jauhar al-Islâm”.

Al-Asymawi tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’an tidak mungkin dapat difahami. Tidak. Sama sekali tidak. Yang dia bicarakan adalah soal kemustahilan tafsir yang final, yang maknanya melampaui segala zaman. Apa pun bentuk tafsir yang diproduksi selalu saja dibatasi kemampuan penafsirnya, dan juga konteks zamannya. Karena itu, tafsir yang datang belakangan tak perlu ditolak, dan tak perlu juga harus kehilangan tempat. Ruang dan waktu selalu hadir membatasi kesanggupan daya kreatif si penafsir—horizon, dalam istilah Gadamer.

*****

Kendati tidak ada tafsir yang final, namun upaya menafsir harus terus dilakukan agar pemahaman terhadap kitab suci tidak ketinggalan zaman. “Adat zaman berubah,” kata Muhammad Iqbal. Dan perubahan itu boleh jadi memaksa merubah pemahaman terhadap tafsir lama yang sebelumnya dianggap benar dan relevan pada masanya. Seperti halnya dalam ranah hukum, Imam Syafi’i telah pernah memikirkan ulang (merethinking) qaul qadîm-nya (pendapat lama) ketika di Irak untuk diganti dengan qaul jadîd (pendapat baru) ketika di Mesir. Begitulah idealnya watak dari penafsiran kitab suci juga mesti mengikuti kondisi zamannya. تغير الأحكام بتغير الأزمنة و الأمكان

 

Al-Qur’an dan Tafsir Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Yang pertama ajeg dan tak terhampiri sebab bersumber dari Tuhan. Sementara yang disebut terakhir selalu bergeser dan temporal oleh karena bersumber dari manusia. Ali Ahmad Said atau biasa disebut Adonis menyebut dua kondisi itu sebagai Al-Tsâbit wa Al-Mutahawwil (yang mapan dan yang berubah), atau dalam terminologi Muhammad Iqbal, sebagai Al-Baqâ’ wa Al-Fanâ. Namun kebanyaka kita cenderung mencampurkan keduanya. Menyamakan karya Tuhan dengan karya manusia. Hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

 

Gamal Al-Banna mengibaratkan Al-Qur’an seperti sumber mata air yang tak pernah kering meski sering direguk oleh banyak orang [Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm baina al-Qudâmâ wa al-Muhadditsîn, 2003]. Sementara Al-Qur’an sendiri mengibaratkan pengetahuan Tuhan laksana laut yang luas tak bertepi, yang tak akan pernah habis dikeruk daya kreatif manusia. Kapan saja menghampirinya, kita tidak akan kehabisan manfaat darinya. Semakin kita menggali isi kitab suci semakin kita menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya. Di situlah kemukjizatan al-Qur’an. Dia tidak akan kehabisan makna meski jutaan pembaca/penafsir telah memahaminya.

Sampai saat ini, Al-Qur’an masih dijadikan sebagai petunjuk (hudan), bukti yang nyata (bayyinah), dan pembeda (furqan) antara yang benar dan batil. Dalam setiap aspek kehidupan, umat Islam selalu menjadikannya sebagai pedoman yang diharapkan bisa menuntun mereka kepada jalan keselamatan dan keberkahan. Atas dasar itulah mereka mencurahkan perhatiannya kepada Al-Qur’an untuk bisa memahaminya dengan baik dan benar agar misi Islam tetap relevan meski zaman mengalami perubahan yang signifikan.

Sementara itu, tidak bisa dipungkiri, keterbatasan pengalaman manusia sangat memengaruhi cara seseorang memahami teks-teks Al-Qur’an yang terhampar luas itu. Bruce Lawrence dalam The Quran a Biography, menyadari problem serius yang dihadapi para pengkaji Al-Qur’an. Dia mengatakan, sebelum berhadapan dengan teks Al-Qur’an, para pengkaji dihadapkan dengan kenyataan bahwa Al-Qur’an dalam bahasa Arab lebih sedikit dari seluruh wahyu yang diturunkan kepada Muhammad; ia adalah wahyu orde kedua. Al-Qur’an yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan menjadi wahyu orde ketiga. Jarak dari sumber aslinya telah menciptakan jarak bagi kita.

Dalam ungkapan lain, Bruce Lawrence ingin menyampaikan bahwa teks Al-Qur’an yang kita baca dan tafsir sudah mengalami tiga proses penurunan, yaitu dimulai dari Tuhan kepada Malaikat Jibril, dari Jibril kepada Nabi Muhammad, dan dari Nabi kepada umat Islam. Dalam sejarah kodifikasi atau pembukuan, Al-Qur’an di tangan manusia begitu berkembang dan mengalami proses inovasi yang sangat atraktif dan kretaif. Al-Qur’an yang dimulai dari bahasa lisan atau verbal (tuturan) kini menjadi bahasa tulisan yang berupa huruf dan bunyi.

Fakta bahwa Al-Qur’an telah mengalami inovasi yang kreatif tidak bisa kita ingkari kebenarannya. Huruf-huruf Al-Qur’an yang tadinya serba gundul tanpa titik dan harakat kini mengalami apa yang kita saksikan saat ini. Penambahan titik dan harakat pada Al-Qur’an tentu tidak akan merubah subtansi dan makna Al-Qur’an. Namun tidak sedikit ahli tafsir saling berbeda hanya karena berbeda dalam membaca teks-teks Al-Qur’an. Al-Qur’an dalam proses ketiga telah mengalami perubahan demi perubahan yang cukup signifikan. Tentu saja, Al-Qur’an dalam pengertian yang azali dan abadi sebagai kalam Allah tidak akan berubah. Dia berada di alam tak terhampiri, belum tersentuh ruang dan waktu yang bersifat sementara ini.

Kendati begitu, menurut Bruce Lawrence, kita masih tetap bisa memahami pesan Allah SWT, melalui Al-Qur’an sebagai teks tertulis yang ada di tangan kita, yang telah diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam berbagai bahasa dunia. Proses peralihan dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Indonesia, bahasa daerah, dll) juga menghadirkan problem pemahaman yang cukup serius. Dari sini kita bisa memahmi mengapa para pengkaji dan peneliti Al-Qur’an selalu menghadirkan pemahaman yang berbeda antara satu penafsir dengan penafsir lainnya.

Muhammad Arkoun, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, menulis bahwa “Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka [untuk diinterpretasi] baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal. Apa yang disampaikan Arkoun melalui Qurais Shihab itu benar dan tak perlu dibantah lagi. Sebab, Al-Qur’an sendiri, dalam kesan saya, menawarkan dirinya untuk dipahami, oleh, dan lewat perangkat metodologi apapun.

Karena watak Al-Qur’an yang terbuka itulah, (sebagai ilmu) tafsir terhadap Al-Qur’an menjadi medan perebutan antarberbagai aliran dalam Islam. Masing-masing mempunyai tafsir sendiri, sebagai sarana mengonsolidasikan dan kemudian mengukuhkan pahamnya. Lahirnya tafsir sebagai ilmu lebih disebabkan banyaknya ayat atau kalimat di dalam Al-Qur’an yang mengundang beragam penafsiran. Ditambah dengan munculnya corak penafsiran yang beragam hingga kini. Sebut saja misalnya, corak sastra bahasa; corak filsafat dan teologi; corak penafsiran ilmiah; corak fiqih atau hukum; corak tasawuf, dll.

Corak penafsiran Al-Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, inters, motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda. Belum lagi kita bicara pendekatan yang digunakan para penafsir. Semuanya kian meneguhkan bahwa Al-Qur’an dengan keistimewaan dan kemukjizatannya menyimpan jutaan makna dan pengetahuan yang perlu disingkap ke permukaan.

Perubahan zaman yang terjadi dalam setiap waktunya telah “memaksa” kaum Muslim untuk terus berijtihad dalam menafsir teks-teks suci Al-Qur’an agar nilai-nilai yang dikandungnya senantiasa menzaman, membumi dan tetap kontekstual sampai kapanpun. Pada akhirnya, perkembangan studi Al-Qur’an menjadi sangat kompleks dengan berbagai inovasi-progresif yang terus berkembang, baik pada aspek “tafsir” (exegesis) maupun aspek “metodologis” (the theory of interpretation). Al-Farmawy telah melakukan penelitian terhadap berbagai model penafsiran yang digunakan oleh para ulama dan menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat empat metode yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu; taḥlili (analitis/rinci), ijmali (global), muqaran (perbandingan), dan mawḍū’i (tematik).

Sekali lagi, kebenaran tafsir terhadap kitab suci tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Sangatlah mustahil, manusia, dalam hal ini adalah para penafsir, mampu menebak secara sempurna kehendak Tuhan. Nalar waras kita pasti menolak hal itu. Tuhan Yang Maha Benar mustahil difahami oleh manusia yang memiliki kebenaran yang parsial. Kebenaran, kata Rumi, adalah selembar cermin di tangan Tuhan yang kemudian jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut pecahan cermin itu dan berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh. Tafsir adalah kebenaran dari kepingan kaca tersebut, yang telah pecah terserak di tanah yang kemudian dipungut oleh masing-masing mufasir.

 

Tidak ada komentar: