Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 28 Februari 2022

Isra Mikraj dalam Perjalanan Imajinal Mohamad Iqbal

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Isra Mikraj dalam perjalanan imajinal Mohamad Iqbal terlukis dengan begitu indah dalam magnus opus-nya, Javid Namah (Kitab Keabadian). Buku ini sebetulnya diperuntukan untuk putra terkasihnya, Javid. Ditulis dalam bahasa Persia dengan gaya bahasa sastra tingkat tinggi. Memang tidak mudah memahaminya. Apalagi dibaca oleh mereka yang belum akrab dengan pemikiran-pemikiran filosofis penulisnya.

Saya memiliki buku ini sejak masih nyantri di Pondok Pesantren Modern Subulussalam, Kresek, Tangerang. Saat itu, sulit bagi saya memahami  isinya. Semua kalimat yang saya baca selalu menyisakan kabut tebal yang menghalangi pemahaman saya. Ilmu Al-Balâghoh (terdiri dari: Bayân, Ma’âni, dan Badî’) yang saya pelajari dengan cara seksama, tidak banyak membantu menyingkap maksud si penulis. Tapi saya tetap membacanya oleh karena keindahan bahasanya.

Entah mengapa buku ini begitu setia menemani, bahkan hingga saya masuk perguruan tinggi di Ciputat, UIN Syarif Hidayatullah (IAIN kala itu). Tetapi, kabut tebal itu masih saja belum terurai. Dia masih menghalangi pemahaman saya meski sudah dibantu ilmu Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî yang saya pelajari di Fakultas Dirosaat Islamiyah. Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî adalah ilmu kuno sastra Arab untuk membuat syair atau sajak. Ilmu ini kurang begitu diminati generasi muda oleh karena aturan-aturannya yang kaku dan baku.

Konon, para penyair pra-Islam, seperti Umru Al-Qais (bukan dalam kisah Laila dan Majnun), Labîd ibn Rabî’ah, Tarafah ibn Al ‘Abd, Harîts ibn Hillizah, Amr ibn Kultsûm, Zuhair ibn Abî Salmâ, dan ‘Antarah ibn Syadâd sangat menguasai Al-‘Arûdh wa Al-Qawâfî. Mereka dijuluki Sab’u al-Mu’allaqât (tujuh penyair yang karyanya ditempel di dinding Ka’bah) oleh sebab kemahirannya dalam mengubah sajak. Saya pribadi cukup bersyukur pernah dikenalkan dengan ketujuh penyair besar pra-Islam itu oleh Ustadz Umar Syarifudin pada mata pelajaran Fî al-Syi’r al-Jâhili saat masih di Subulussalam.

Seiring berjalannya waktu, kabut tebal itu mulai terurai. Sedikit demi sedikit. Terutama sejak saya diperkenalkan pemikiran Mohamd Iqbal oleh Miming Ismail, Boy Ahmad Bahromi, Ahmad Rifki, Hudori Husna dan Edi Benkit di forum kajian Komunitas Pintu Terbalik (Koplik), Ciputat. Perlahan-lahan saya membaca karya-karya Iqbal: Metafisika Persia (disertasi Iqbal yang dibukukan), Asrar-i- Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Payam-i Masyriq (Pesan untuk Timur), Sisi Manusiawi Iqbal (Catatan Harian Iqbal), Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam), dan buku yang kita bicarakan ini, Javid Namah.

Saya selalu yakin dengan evolusi pemahaman. Apapun pengetahuan yang semula tidak kita pahami, suatu ketika nanti akan kita pahami. Asalkan kita mau membaca. Dan terus membaca. Plato pernah mengatakan, semua bentuk pengetahuan di dunia pernah kita miliki saat jiwa masih di alam idea, alam pra-eksistensi. Namun ketika jiwa terlahir, dan masuk ke dalam tubuh, maka seluruh pengetahuan itu menghilang. Jiwa jadi terpenjara di ruang gelap materi (tubuh). Karena itu, kata Plato, perlu ada “pengenalan” (membaca) sebagai upaya mengingat kembali (anamnesis). Membaca adalah cara kita menghadirkan kembali pengetahuan yang sebelumnya kita pahami.

Di sini saya perlu berterimakasih kepada Pak Ma’mun, distributor buku Koperasi Subulussalam yang rajin menjajakan buku-buku berkualitas. Dialah yang memilihkan buku ini (Javid Namah) untuk saya miliki. Tidak sekali saya mengerutkan dahi setiap membuka lembar demi lembar isinya. Namun karena rekomendasi Pak Ma’mun, saya tetap membelinya. Apalagi dia memberi prolog menarik mengenai guru spiritual Mohamad Iqbal, Jalaludin Rumi. Nama yang sebetulnya saat itu sudah saya kenal melalui puisi-puisi cintanya.

Masa-masa pengabdian adalah masa di mana saya mulai menyisihkan honor bulanan untuk membeli buku-buku bacaan di koperasi pesantren. Selain Javid Namah, saya membeli Manhaj Fikih Yusuf Al Qardhawi, Etos Kerja Pribadi Muslim, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, dan beberapa yang lainnya. Tentu saja, buku-buku itu saya beli secara bertahap dengan satu konsekuensi, merelakan uang jajan bulanan untuk berburu buku.

******

­­­­Javid Namah menceritakan perjalanan spiritual-intelektual Mohamad Iqbal yang dia lakukan secara imajinal. Kisah rekaan Mohamad Iqbal ini terispirasi dari pengalaman isra mikraj Nabi Muhammad yang kini sedang kita peringati. Diawali Prolog di Bumi, Iqbal memulai pengalaman imajinalnya melewati petala langit. Di setiap lapisan dia bertemu dengan sejumlah tokoh penting dalam sejarah atau beberapa tokoh rekaanya sendiri. Sebagai karya sastra, buku ini menghadirkan dialog imajiner yang menarik antara dirinya dengan tokoh-tokoh yang ditemuinya. Dialog yang terjadi di luar ruang dan waktu yang menyangkut banyak persoalan filosofis yang musykil. [baca juga: MENDIALOGKAN ISRA DAN MIKRAJ]

Dalam pengembaraan ruhani itu, Iqbal yang menyebut dirinya Zinda-Rud (sungai hidup) ditemani Jalaludin Rumi sebagai pemandu jalan (guru spiritual). “Bagai si buta, aku berjalan dengan kedua tangan di atas pundak Rumi dan masuk ke dalam gua yang begitu gelap...”, kata Iqbal. Di langit pertama, Iqbal bertemu Budha, Zarasustra, Isa, dan baginda kita, Nabi Muhammad. Keempatnya membabarkan kembali pengajaran-pengajaran mulia yang pernah mereka sampaikan untuk bekal manusia berdamping hidup secara rukun dan teratur di antara sesama umat beragama. Kehidupan akan damai bilamana umat beragama saling menghargai, tidak membenci dan memaki.

Di langit kedua, Iqbal bertemu Jamaluddin Al Afghani dan Said Halim Pasya. Ketiganya mendiskusikan prinsip dunia yang dicitakan Al Qur’an, fungsi manusia sebagai khalifah, dan kerajaan Tuhan kelak. Al Afghani menitipkan pesan kepada rakyat Rusia melalui Iqbal. Di matanya, komunisme ala Rusia memperlihatkan banyak persamaan—di samping banyak perbedaan—dengan Islam, yaitu melawan kapitalisme, penghisapan manusia, dan bercita-cita membangun tata dunia baru. Apa yang dipesankan Al Afghani merupakan perpanjangan tangan dari perjuangan Nabi Muhammad dulu saat melawan elite Quraisy yang kapitalistik, pemuja riba dan sistem rente.

Setelah langit kedua, ditemani Rumi, Iqbal terus menaiki lapisan-lapisan langit berikutnya hingga Hadirat Ilahi. Di alam tanpa warna tanpa suara itulah Iqbal mengalami pengalaman yang tidak bisa diucapkan melalui kata-kata. Tak ada kata-kata dan ibarat yang bisa mewakili puncak pengalaman itu. Dia berkata: “Mendadak kulihat alam yang melingkupiku, langit yang menaungiku dan bumi tempatku berpijak, tenggelam dalam kilai cahaya merah, hingga bagai pijar membara. Kilau yang dahsyat menyambar jiwaku, sampai aku pingsan bagai Musa”.

Perjalanan trans-kosmik Iqbal memang luar biasa. Dalam sastra dunia, tidak banyak karya yang bisa dibandingkan dengan magnun opus Iqbal ini, selain Dante Alighieri dalam La Divina Comedia (The Divine Comedy), yang juga diilhami peristiwa isra mikraj. Sebagai karya fiksi, Javid Namah bukan sekadar pengembaraan ide atau imajinasi yang liar-bebas tanpa berjangkar pada realitas. Lewat karya fiksi ini, Iqbal justru menemukan ruang yang luas untuk mengeksplorasi berbagai ide besar, yang selama ini menjadi isu-isu penting di ranah spiritualitas dan intelektual manusia sepanjang sejarah.

Begitulah kehebatan karya sastra, bisa mempertemukan tokoh riil dan rekaan dalan satu plot cerita. Apa yang dilakukan Iqbal dalam Javid Namah, mengingatkan saya pada karya S. Tidjab, pencipta tokoh legenda Arya Kamandanu dalam Tutur Tinular. Dia (S. Tidjab) mampu mempertemukan tokoh-tokoh rekaan seperti Arya Kamandanu, Arya Dwipangga, Sakawuni, Dewi Sambi, Tong Bajil, Ayu Wandira, dan Panji, dengan tokoh riil seperti Raden Wijaya, Lembu Sora, Rangga Lawe, Kebo Anabrang, Banya Kapuk, Gajah Madha, dan Gajah Paghon. Bahkan dalam beberapa kesempatan Arya Kamandanu sempat terlibat pertempuran sengit dengan Rangga Lawe dan Lembu Sora, begitu juga dengan Sakawuni yang mampu mengalahkan Banya Kapuk. Hal yang sebtulnya sama sekali tidak pernah terjadi dalam sejarah masa lalu. 

Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi karya ini. Ditulis oleh seorang penyair-filosof, yang di Indonesia sendiri gagasan-gagasan pembaruannya banyak diganderungi para pemikir ternama seperti, Cak Nur (Nurcholish Madjid), Buya Syafii Ma’arif, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan para mahasiswa. Gagasannya mengenai khudi (ego/diri) mendasari seluruh bangunan filosofis dan puisi-puisinya. Khudi dalam pandangan Iqbal itu dinamis dan terus bergerak menuju Ego Yang Mutlak (Tuhan). Namun di sini saya tidak bermaksud mengulas filsafat khudi Iqbal secara panjang dan mendalam. Mungkin di lain tulisan.

******

Dalam tradisi tasawuf, isra mikraj adalah momen pertemuan dua kekasih yang saling ingin melepas rindu. Sebab rindu, kata Rumi, hanya bisa ditebus oleh temu. Allah telah memperjalankan hamba-Nya, Nabi Muhammad, untuk sampai kepada-Nya. Ini adalah undangan spesial yang tidak banyak manusia bisa mengalaminya. Ibn Sînâ dalam Al Isyârât wa Al Tanbihât mengatakan: “Singgasana Ilahi tinggi dan tak bertepi, sehingga tidak dapat diraih oleh para pencari, dan tak dapat dipahami sesuatu darinya, kecuali sebagian kecil saja dari mansuia”. Lantas bagaimana dengan manusia biasa seperti kita? Apakah kita bisa mengalami hal semacam itu?

Kita pun akan bisa mengalami pengembaraan ruhani (mikraj) selama mampu menghilangkan segala kemelekatan dalam diri: nafsu (ego), materi, pangkat, jabatan, kesombongan, iri, dengki, dan sifat tercela lain. Mengosongkan diri (takhallî) dari seluruh atribut dunia dan kemelekatan materi, lalu kemudian mengisinya (tahallî) dengan sifat dan asma Illahi. Hingga pada akhirnya menjadi manusia paripurna (insân al-kâmil), manusia sempurna yang mampu menerima manifestasi (tajjalî) Tuhan. Nabi pun pernah bicara tentang kemungkinan pengalaman mikraj yang juga bisa dialami umatnya. Dia bersabd: “Al Sholâtu Mi’râj al Mu’minîn”, solat adalah tangga spiritual kaum mu’min. Solat adalah momen penghadapan seorang hamba kepada Sang Pencipta secara personal. 

Tentu saja bukan sekedar solat, yang sebatas menunaikan urutan gerakan dari iftitah sampai salam.  Tapi solat yang benar-benar membebaskan hati dan pikiran dari segala kemelekatan materi dan bayangan. Selama di dalam hati yang solat masih ada “sesuatu” selain Tuhan belum bisa dikatan penghadapan yang hakiki (pengesaan). “Lâ Ilâha Ill Al Allâh”, tidak ada Tuhan selain Allah. Tidak boleh ada yang lain di hati dan pikiran yang solat selain Allah. Memang tidak mudah mencapai tahapan seperti itu. Hanya segelintir orang saja yang bisa. Hati dan pikiran kita masih terikat materi dan bayangan dunia. Tidak jarang kita masih mendengar suara-suara (bakso…bakso atau bayangan bajigur yang belum habis diseruput) sementara kita sedang melaksanakan solat.

Solat adalah momen komunikasi intim seorang hamba dengan Tuhannya. Sebisa mungkin keakraban itu tidak diganggu dengan kehadiran yang lain. Ibarat pecinta yang tak menghendaki orang ketiga. Demikian halnya kita saat “berasyik ma’syuq” dengan Tuhan Sang Pengatur Segala. Itulah sebabnya Rabi’ah ‘Adawiyyah (sufi Wanita yang saya kagumi) sedikitpun tidak memberi ruang pada selain Tuhan di hatinya. Hatinya dipenuhi cinta Illahi. Sehingga untuk membeci syetan pun dia tidak bisa. Hatinya selalu solat—yang dalam istilah Syaikh Siti Jenar, disebut dengan “Solat Daim”—tersambung, atau wushûl kepada Allah. Begitulah pengalaman mikraj para sufi melalui solat yang ditunaikannya.

Pengalaman mikraj Nabi, kata Iqbal, melampaui capaian yang dialami para sufi. Dia tidak menghabiskan waktu berasyik ma’syuq dalam keintimannya dengan Tuhan. Dia langsung turun kembali ke bumi untuk menyelesaikan misi profetiknya, yaitu penyapaan pada umat manusia. Agama untuk kebaikan manusia. Karena itu ajaran-ajaranya harus memenuhi fitrah manusia dan kemanusiaannya. Sebagai Nabi, dia tahu betul apa yang harus diperbuat; bukan sekedar penghadapan (melalui ritual) tapi juga penyapaan (bakti sosial).

Sebagai penutup, semoga kita semua menjadi golongan yang mampu mengambil hikmah peristiwa isra mikraj Nabi Muhammad dan merefleksikannya dalam kehidupan. Kita juga berharap bisa meneladani dakwahnya yang santun, ramah, tanpa caci maki. Nabi Muhammad adalah guru tentang kata-kata, yang tidak menusuk dan berteriak (memaki). Selamat memperingati Isra Mikraj Nabi Muhammad 1443 H.

 

Tidak ada komentar: