-->
Media Indonesia |
Media Indonesia |
Koran Jakarta, Kamis 20 Agustus 2009
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Penulis : Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman
Penerbit : Zahra, Jakarta
Edisi : I, Maret 2009
Tebal : 196 halaman
Serangan udara, dan darat yang dilancarkan tentara Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari (27 Desember 2008--17 Januari 2009) hingga merenggut lebih dari 1.500 jiwa warga Palestina, mengundang perdebatan cukup alot di kalangan pakar dan analis politik internasional. Pasalnya, duduk perkara di Jalur Gaza tentang siapa yang melakukan serangan terlebih dahulu sampai kini masih simpang siur dan akar permasalahannya masih diperdebatkan.
Sebagian pihak menilai, agresi militer yang dilakukan Israel ke Gaza adalah reaksi atas serangan roket yang diluncurkan anggota Hamas ke pemukiman Yahudi Israel. Sementara di lain pihak menyatakan, serangan roket Hamas merupakan balasan atas serangan tentara Israel yang telah menewaskan enam anggota sayap militer Hamas di Gaza pada 4 November 2008 lalu, atau satu bulan sebelum gencatan senjata resmi berahkhir.
Buku “Gelegar Gaza” yang ditulis oleh Muhsin Labib dan Irman Abdurrahman ini, berupaya mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di balik serangan Israel ke Gaza. Selama ini, informasi yang kita terima lebih memihak pada Israel sebagai kelompok yang diserang dan Hamas pihak yang menyerang. Agar informasi seputar Gaza jadi seimbang, melalui buku ini, kedua penulis berkepentingan untuk meluruskan duduk perkara yang sesungguhnya terjadi di sana. Sehingga dengan begitu kita pun dapat meletakan persoalan Gaza pada proporsinya masing-masing, tidak dimanipulasi oleh pihak tertentu, apalagi dikaburkan kebenaranya.
Secara kronologis, kedua penulis menjelaskan akar persoalan di Gaza dari sejak terbentuknya kesepakatan gencatan senjata selama enam bulan (19 Juni 2008- 19 Desember 2008) hingga meletusnya perang 22 hari. Bagi penulis, serangan 4 November yang dilakukan tentara Israel adalah titik permulaan mengapa perang 22 hari di Gaza meletus.
Meski demikian, Israel tidak ingin dijadikan pihak yang bertanggungjawab dalam perang ini. Mereka tetap saja mengkambinghitamkan Hamas dengan menebar dalih yang cukup klasik, bahwa “Operation Cast Lead” yang dilakukan Israel adalah respon terhadap roket-roket Hamas yang selama bertahun-tahun telah mengganggu tidur warga Israel di wilayah Selatan. Dengan dalih ini, Israel memiliki alasan cukup kuat untuk berperang (jus ad bellum) dengan Hamas sebagai bentuk “pembelaan diri” (sef-defense).
Di atas itu semua, Norman Finkelstein, penulis buku The Holocaust Industry membeberkan motif-motif fundamental Israel di balik serangannya ke Gaza lebih didasari pada dua faktor: Pertama, Israel ingin mengembalikan pamor kekuatan militernya di mata dunia internasional yang telah dicabik-cabik milisi Hizbullah saat perang 34 hari pada tahun 2006. Dalam perang tersebut Israel mengalami kekalahan besar meski menggunakan senjata super canggih dan lengkap.
Kedua, Israel harus mengeliminasi ancaman yang dihadirkan oleh sebuah “dorongan perdamaian” yang ofensif dari pihak Palestina. Dalam konteks ini, Israel cukup khawatir terbentuknya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya, segala bentuk perdamaian yang ditandatangani di meja runding antara Israel dan Palestina selalu mentah, karena Israel sering melanggar kesepakatan itu.
Sekali lagi, buku ini cukup menarik karena tidak saja mengupas akar persoalan agresi Israel ke Gaza, tapi juga menyuguhkan sejarah panjang Palestina, dari sejak tahun sebelum masehi hingga meletusnya perang Gaza 22 hari. Di mana dalam perang tersebut, menurut penulis, dunia Arab seperti Mesir, Riyadh, Amman, dan lainya memberkati dan merestui serangan itu. Buktinya, sehari sebelum agresi, Kantor Berita Fars menyebutkan adanya pertemuan rahasia kepala-kepala negara Arab dengan Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas di Ramallah, yang tujunya, membicarakan normalisasi hubungan Arab-Israel. Benarkah demikian?