Oleh Mohamad Asrori Mulky
Sejarah selalu mencatat nama-nama yang menolak tunduk pada tirani kuasa dan pemikiran. Dalam pusaran zaman yang sering kali mengaburkan batas antara kebenaran dan dogma, seperti pasir yang merepih ini, muncul seorang pemikir bernash bernama Farag Fouda.
Ia adalah pejuang kata yang tajam bak pedang yang membelah gelap masa silam sejarah Islam. Dengan pena di tangan sebagai senjata, ia meretas kabut mitos dan menguak kenyataan yang telah lama terpendam rapih dalam benak kebanyakan umat Islam.
Namun, keberanian itu harus ia bayar dengan nyawanya sendiri. Ia gugur sebagai martir, ditembus peluru fanatisme yang keji dan tak kenal kompromi. Pada suatu siang yang penuh ironi, tepatnya 8 Juni 1992, di Madinat al Nasr, Kairo, ia ditembak mati, tubuhnya roboh, rebah bersimbah darah.
Dalam al-Haqîqah
al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda membuka lembaran sejarah yang
selama ini dilapisi kabut ilusi. Ia mengisahkan tentang era keemasan Islam yang
ternyata berselimut darah, tentang para khalifah, tentang para pemimpin muslim yang
lebih sering bertikai sambil menyelipkan belati di balik jubah kebesaran.
Sejarah Islam, dalam
pandangannya, bukanlah taman indah yang layak dipandang mata, melainkan hutan
belantara di mana kepentingan beradu intrik, ambisi saling menerkam, saling intai,
dan kekuasaan lebih sering diperoleh dengan pedang ketimbang kebijaksanaan.
Mengenai masa silam
Islam itu, Fouda mengisahkan sejarah kelam umat Islam dengan penuh kegetiran. Tapi
ia segera menyadari bahwa apa yang ditulisnya akan mendapat reaksi hebat dari kelompok pemuja sakralitas
pemikiran (taqdîs al afkâr al islâm), yang hanya ingin mendengar dari
apa yang mereka kehendaki, bukan dari kebenaran yang menjadi fakta sejarah yang
sebenarnya.
(Buku al Haqîqah al Ghâibah) ini memuat perbincangan yang mungkin sekali ingin dihindari banyak orang. Kebanyakan orang hanya ingin mendengarkan apa yang mereka sukai. [Farag Fouda, 1988]
Menjangkarkan pada prinsip “sejarah harus diungkap”, Fouda menolak romantisme sejarah yang hanya menampilkan kejayaan tanpa melihat sisi gelapnya. Ia mengkritik keyakinan banyak orang yang mengidealisasikan masa lalu Islam tanpa menyentuh fakta perpecahan, perang saudara, serta kekejaman politik yang mewarnai perjalanan kekhalifahan.
Baginya, kebangkitan peradaban Islam di masa modern tidak akan terwujud jika umat tidak berani menghadapi sejarahnya dengan jujur. Ini mengingatkan kita pada Soekarno tentang Jas Merah [jangan sekali-kali melupakan sejarah], yang sering ia ucapkan. Kebesaran sebuah bangsa, kata Soekarno, terletak pada sejauh mana generasinya mengingat sejarah masa lalu dengan jujur.
Fouda tidak sedang menggugat
Islam seperti selama ini disalahpahami. Ia tidak pernah bermaksud merobohkan
sendi-sendi agama—hal yang sebetulnya tidak pernah ia bicarakan. Apa yang ia
lakukan murni mengajak umat untuk berpikir wening, bening dan jernih, dalam menimbang
masa lalu dengan timbangan yang adil, bukan dengan romantisme buta tanpa bukti.
Ia tidak menentang agama, tetapi menolak perbudakan berpikir. Ia tidak membenci sejarah, tetapi menuntut kejujuran dalam membacanya. Warisannya adalah pengingat bahwa pemikiran tidak boleh dikorbankan di altar fanatisme, dan bahwa kebenaran, betapapun pahitnya, harus terus diperjuangkan.
Perbincangan kita adalah perbincangan tentang sejarah, politik, dan pemikiran, bukan perbincangan tentang agama, keimanan, dan keyakinan. Ini alah perbincangan tentang umat Islam, bukan tentang Islam itu sendiri. [Farag Fouda, 1988]
Islam adalah cahaya yang memberi terang di kala gelap. Cahaya ilmu dan rasionalitas yang pernah mengantarkan umat ke puncak kejayaan, kini terjebak dalam lingkaran konservatisme yang menolak kritik dan perubahan. Mereka tidak peduli walaupun apa yang mereka lakukan sebenarnya pengkhianatan terhadap sejarah dan akal budi.
Berulang kali Fouda menyeru umat untuk melihat masa lalu dengan pijakan rasional, kenyataan yang berbasi data. Tetapi seruan dan kritik tajamnya terhadap kelompok pemuja kemapanan tafsir keagamaan membuatnya menjadi musuh bagi mereka yang menolak akal sebagai bagian dari agama.
Peluru yang menembus tubuhnya adalah jawaban brutal bagi gagasannya yang berani. Kematian Fouda bukan hanya tragedi bagi dirinya sendiri, tetapi juga menjadi simbol bagaimana kata-kata yang jujur sering kali dibungkam oleh mereka yang takut pada kebenaran. Darahnya mengalir di tanah, tetapi tulisannya tetap hidup, menjadi tinta yang terus menginspirasi mereka yang berani berpikir.
Farag Fouda telah tiada, tetapi jejak pemikirannya tak akan pernah pudar. Ia mengajarkan bahwa sejarah harus dibaca dengan kritis, bukan sekadar dihafal dan diulang tanpa makna. Jika darahnya telah mengering di tanah, maka tintanya tetap basah di lembaran sejarah, menjadi saksi bahwa pemikiran tak akan mati meski raga telah tiada.
Mereka mungkin bisa membungkam suara, tetapi tidak bisa membungkam gagasan. Seperti yang pernah dikatakan Fouda, "Mereka yang takut pada sejarah adalah mereka yang takut pada masa depan." Fouda tidak rela sejarah dikaburkan demi kepentingan kemapanan. Ia terus melawan dengan tinta kendati berubah menjadi darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar