Oleh Mohamad Asrori Mulky
Kehadiran agama di ruang publik tidak pernah sepi dari kritik dan persepsi negatif. Betapapun agama mewartakan kebenaran yang datang dari Tuhan melalui para nabi yang suci, tetap saja banyak pihak menuduhnya sebagai pembawa petaka dan kehancuran, bahkan sumber kekerasan.
Agama melahirkan dua wajah yang berbeda. Masing-masing memperlihatkan bentuk dan wataknya yang saling bertolak belakang: kadang jahat kadang baik, kadang berlumur darah kadang dipenuhi cahaya kasih. Semua bergantung pada pemahaman umat beragama. Wajah mana yang dipilih menentukan sikap dan ekspresi mereka pada agama yang dipeluknya.
Richard
Dawkins dalam The God Delusion (2006) menuduh agama, khususnya tiga agama
besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam sebagai sumber kekerasan dan biang malapetaka.
Kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat manusia, dari
dulu hingga kini, menurutnya, dapat ditelusuri akar persoalannya ke dalam
ajaran dan dogma setiap agama.
Tuhan,
dan agama dengan segenap ajarannya, menurut Dawkins, bukan sekedar ilusi tapi delusi.
Yang dalam diskursus psikologi dimaknai sebagai gejala dari gangguan mental
atau psikiatri, seperti skizofrenia atau gangguan delusional. Di mana seseorang
mungkin memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap hal-hal yang tidak
rasional dan ilmiah.
Kecurigaan
terhadap agama juga diutarakan Rene Girard dalam Violence and the Sacred.
Menurutnya, agama berfungsi sebagai sistem yang menjustifikasi kekerasan
melalui ritual pengorbanan. Untuk mendukung pandangannya, Girard mengembangkan
teori scapegoat (kambing-hitam) dan mimesis (tiruan).
Teori mimesis menjelaskan konflik dan kekerasan
muncul karena manusia meniru keinginan orang lain—bukan sekedar
meniru tindakan. Keinginan yang saling meniru itu akan menghasilkan persaingan
dan ketegangan, hingga pada akhirnya melahirkan konflik dan kekerasan.
Teori scapegoat (kambing-hitam)
menggambarkan bagaimana masyarakat mencari korban untuk mengalihkan dan
menenangkan kekerasan. Untuk meredakan ketegangan sosial akibat kekerasan yang
muncul dari persaingan mimesis, masyarakat sering kali memilih seseorang
atau kelompok untuk disalahkan dan dikorbankan, yang disebut scapegoat atau "kambing hitam."
Menurut
Girard, ritual pengorbanan hanya mengendalikan kekerasan untuk
sementara waktu, dan yang sebetulnya terjadi adalah melegalkan kekerasan
dalam rentang waktu yang cukup panjang. Banyak agama dan ritual tradisi
kuno
menggunakan pengorbanan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
manusia: tradisi qurban dalam Islam, penyaliban Yesus, dan pengorbanan manusia
untuk kepentingan para dewa.
Darah
yang ditumpahkan dalam setiap pengorbanan itu sudah cukup bagi Girard untuk
membuktikan, dan kian menebalkan kecurigaannya pada pelestarian kekerasan dalam
doktrin agama. Siklus kekerasan yang termanifestasikan dalam pengorbanan doktrin
agama sulit untuk dipangkas, apalagi diakhiri.
Sementara
itu, Christopher
Hitchens, jurnalis dan penulis Inggris-Amerika, dalam God Is Not Great: How Religion Poisons Everything
(2007), memberi catatan hitam pada agama. Hitchens menegaskan bahwa
agama tidak sekedar penyebab kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada banyak
aspek buruk dalam sejarah manusia, termasuk penindasan perempuan, diskriminasi,
dan terorisme yang belakangan menjadi isu global.
Hitchens
berpandangan meski ada banyak tindakan kebajikan yang dilakukan individu
beragama, institusi agama itu sendiri seringkali menindas kebebasan berpikir,
memicu ketegangan sosial, dan mengorbankan kehidupan demi dogma yang tidak
rasional. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah, Boko
Haram dan Lord’s Resistance Army di Afrika, Perang Salib yang
melenyapkan banyak jiwa manusia, ekstremis Buddha dan Hindu di Myanmar dan
India, kian menguatkan pandangan populer bahwa agama adalah sumber kekerasan
dan konflik yang berdarah-darah.
Dalam
buku tersebut, Armstrong menggali akar penyebab kekerasan yang terjadi dalam
konteks agama, dengan memisahkan elemen-elemen yang berasal dari ajaran agama
dengan kekerasan yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti politik dan
ekonomi. Dia menunjukkan fakta bahwa banyak konflik yang dipandang sebagai
"perang agama" sebenarnya memiliki dimensi politik yang lebih besar.
Agama
yang sering disalahpahami, kata Armstrong, sebagaimana dia uraikan dalam The Case for God (2009), malah
dapat menjadi
sarana membangun perdamaian dan mengatasi perpecahan sosial. Agama
bisa menjadi sumber perdamaian, cinta kasih, dan transformasi sosial menuju
peradaban emas. Dalam arti lain, agama hadir untuk menentang perang, kebencian,
dan bentuk kekerasan lain.
John
D. Caputo dalam The Weakness of God: A Theology of the Event—diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia Agama Cinta: Agama Masa Depan— meyakinkan
semua umat beragama tentang cinta sebagai inti dari ajaran agama. Menurutnya,
agama sejati adalah yang tidak menguasai, menekan dan memaksa orang lain,
apalagi jadi biang konflik dan kekerasan.
Inilah
yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai agama cinta: Cinta kepada-Nya adalah agama
dan keyakinanku (فالحب ديني و إيماني)
dalam Tarjumân al Asywâq. Agama yang tidak didasari pada tali kasih
bukanlah agama yang sejati. Bila agama memecah-belah, menjadi sumber konflik
dan kekerasan, apa guna kehadirannya di muka bumi ini???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar