Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Kamis, 09 Januari 2025

Dua Wajah Agama

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kehadiran agama di ruang publik tidak pernah sepi dari kritik dan persepsi negatif. Betapapun agama mewartakan kebenaran yang datang dari Tuhan melalui para nabi yang suci, tetap saja banyak pihak menuduhnya sebagai pembawa petaka dan kehancuran, bahkan sumber kekerasan.


Agama melahirkan dua wajah yang berbeda. Masing-masing memperlihatkan bentuk dan wataknya yang saling bertolak belakang: kadang jahat kadang baik, kadang berlumur darah kadang dipenuhi cahaya kasih. Semua bergantung pada pemahaman umat beragama. Wajah mana yang dipilih menentukan sikap dan ekspresi mereka pada agama yang dipeluknya.

 

Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) menuduh agama, khususnya tiga agama besar seperti Yahudi, Kristen dan Islam sebagai sumber kekerasan dan biang malapetaka. Kekerasan yang terjadi dalam sejarah umat manusia, dari dulu hingga kini, menurutnya, dapat ditelusuri akar persoalannya ke dalam ajaran dan dogma setiap agama.

 

Tuhan, dan agama dengan segenap ajarannya, menurut Dawkins, bukan sekedar ilusi tapi delusi. Yang dalam diskursus psikologi dimaknai sebagai gejala dari gangguan mental atau psikiatri, seperti skizofrenia atau gangguan delusional. Di mana seseorang mungkin memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap hal-hal yang tidak rasional dan ilmiah.

 

Kecurigaan terhadap agama juga diutarakan Rene Girard dalam Violence and the Sacred. Menurutnya, agama berfungsi sebagai sistem yang menjustifikasi kekerasan melalui ritual pengorbanan. Untuk mendukung pandangannya, Girard mengembangkan teori scapegoat (kambing-hitam) dan mimesis (tiruan).

 

Teori mimesis menjelaskan konflik dan kekerasan muncul karena manusia meniru keinginan orang lain—bukan sekedar meniru tindakan. Keinginan yang saling meniru itu akan menghasilkan persaingan dan ketegangan, hingga pada akhirnya melahirkan konflik dan kekerasan.

 

Teori scapegoat (kambing-hitam) menggambarkan bagaimana masyarakat mencari korban untuk mengalihkan dan menenangkan kekerasan. Untuk meredakan ketegangan sosial akibat kekerasan yang muncul dari persaingan mimesis, masyarakat sering kali memilih seseorang atau kelompok untuk disalahkan dan dikorbankan, yang disebut scapegoat atau "kambing hitam."

 

Menurut Girard, ritual pengorbanan hanya mengendalikan kekerasan untuk sementara waktu, dan yang sebetulnya terjadi adalah melegalkan kekerasan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Banyak agama dan ritual tradisi kuno menggunakan pengorbanan untuk mengatasi masalah yang dihadapi manusia: tradisi qurban dalam Islam, penyaliban Yesus, dan pengorbanan manusia untuk kepentingan para dewa.

 

Darah yang ditumpahkan dalam setiap pengorbanan itu sudah cukup bagi Girard untuk membuktikan, dan kian menebalkan kecurigaannya pada pelestarian kekerasan dalam doktrin agama. Siklus kekerasan yang termanifestasikan dalam pengorbanan doktrin agama sulit untuk dipangkas, apalagi diakhiri.

 

Sementara itu, Christopher Hitchens, jurnalis dan penulis Inggris-Amerika, dalam God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (2007), memberi catatan hitam pada agama. Hitchens menegaskan bahwa agama tidak sekedar penyebab kekerasan, tetapi juga berkontribusi pada banyak aspek buruk dalam sejarah manusia, termasuk penindasan perempuan, diskriminasi, dan terorisme yang belakangan menjadi isu global.

 

Hitchens berpandangan meski ada banyak tindakan kebajikan yang dilakukan individu beragama, institusi agama itu sendiri seringkali menindas kebebasan berpikir, memicu ketegangan sosial, dan mengorbankan kehidupan demi dogma yang tidak rasional. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah, Boko Haram dan Lord’s Resistance Army di Afrika, Perang Salib yang melenyapkan banyak jiwa manusia, ekstremis Buddha dan Hindu di Myanmar dan India, kian menguatkan pandangan populer bahwa agama adalah sumber kekerasan dan konflik yang berdarah-darah.

Berbeda dengana pandangan para tokoh sebelumnya, Karen Armstrong justru memberi penilaian cukup positif terhadap peran agama di ruang publik. Dalam Fields of Blood: Religion and the History of Violence, dia memberi penjelasan historis mengenai relasi agama dan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan atas nama agama, menurutnya, sering kali berkaitan dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi ketimbang ajaran agama.

 

Dalam buku tersebut, Armstrong menggali akar penyebab kekerasan yang terjadi dalam konteks agama, dengan memisahkan elemen-elemen yang berasal dari ajaran agama dengan kekerasan yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti politik dan ekonomi. Dia menunjukkan fakta bahwa banyak konflik yang dipandang sebagai "perang agama" sebenarnya memiliki dimensi politik yang lebih besar.

 

Agama yang sering disalahpahami, kata Armstrong, sebagaimana dia uraikan dalam The Case for God (2009), malah dapat menjadi sarana membangun perdamaian dan mengatasi perpecahan sosial. Agama bisa menjadi sumber perdamaian, cinta kasih, dan transformasi sosial menuju peradaban emas. Dalam arti lain, agama hadir untuk menentang perang, kebencian, dan bentuk kekerasan lain.

 

John D. Caputo dalam The Weakness of God: A Theology of the Event—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Agama Cinta: Agama Masa Depan— meyakinkan semua umat beragama tentang cinta sebagai inti dari ajaran agama. Menurutnya, agama sejati adalah yang tidak menguasai, menekan dan memaksa orang lain, apalagi jadi biang konflik dan kekerasan.

 

Inilah yang oleh Ibn ‘Arabi disebut sebagai agama cinta: Cinta kepada-Nya adalah agama dan keyakinanku (فالحب ديني و إيماني) dalam Tarjumân al Asywâq. Agama yang tidak didasari pada tali kasih bukanlah agama yang sejati. Bila agama memecah-belah, menjadi sumber konflik dan kekerasan, apa guna kehadirannya di muka bumi ini???

Tidak ada komentar: