Oleh Mohamad Asrori Mulky
Di langit
pemikiran Islam yang terhampar luas, dengan segala bentuk khazanah yang ada,
nama Fazlur Rahman dari Pakistan berkilau bak bintang terang, meski sering
redup ditelan awan gelap kontroversi. Ia, seorang pemikir yang berani melintasi
samudra wacana, terbang-menantang arus pemikiran konservatif yang menahbiskan
dogma sebagai kebenaran absolut.
Dan dari
penjelajahan intelektualnya yang tak biasa itu, muncul satu gagasan yang
mengguncang, bahkan dianggap telah merontokkan dogma yang lama dianut: bahwa
Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah firman Tuhan sekaligus ujaran Nabi
Muhammad. “The Qur’an is entirely the Word of God and, in an ordinary sense,
also entirely the word of Muhammad” [Rahman: Islam, 1979].
Bagi kaum
konservatif, pernyataan ini laksana petir di tengah kemapanan tafsir yang
berabad-abad kokoh menjulang tinggi. Bagaimana mungkin Kalam Ilahi yang tak
berhingga itu, yang turun dari langit ke tujuh, bersatu dalam raga manusiawi
seorang Rasul? Bukankah wahyu adalah sesuatu yang transenden, sakral, murni,
dan tidak tercampur oleh nalar serta diksi manusia?
Di
sinilah Rahman, dengan kebijaksanaan seorang pemikir-filosof, membentangkan
argumennya: bahwa wahyu Ilahi, sebelum menjadi teks yang tertulis, telah
melebur dalam diri Nabi sebagai seorang insan pilihan. Wahyu bukanlah huruf
yang beku yang terpisah dari pengalaman dan kepribadian Rasul. Sebaliknya, ia
adalah gema Ilahi yang menyusup dalam sanubari Nabi Muhammad, melahirkan
kata-kata yang sarat dengan makna ketuhanan, namun terjalin dalam jalinan
bahasa manusiawi. Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah refleksi dari pengalaman
wahyu dalam diri Nabi, yang kemudian menjelma dalam bahasa yang dapat
dimengerti umatnya [bi lisân qaumihi].
Namun,
pandangan ini tidaklah tanpa tantangan. Para pemegang teguh ortodoksi
melihatnya sebagai pintu masuk kedalam pemahaman relativisasi wahyu dan
berakibat pada penanggalan sakralitasnya. Jika Al-Qur'an adalah ujaran Nabi
yang menyerap ilham Tuhan, apakah itu berarti terdapat unsur subjektivitas
dalam kalam suci? Apakah ini bukan langkah menuju reduksi wahyu menjadi sekadar
pemikiran seorang manusia, betapapun agungnya Nabi Muhammad itu?
Gelombang
penolakan pun deras menerjang, menghantam Rahman dan gagasannya, menuduhnya
sebagai pelopor sekularisasi wahyu. Ia dihujat, dicaci, dianggap penebar
bid’ah, sesat, dan akhirnya, terusir dari tanah kelahirannya. Namun, dalam bentangan samudra
intelektual yang luas, gelombang kontroversi hanyalah riak kecil dalam arus
pemikiran besar.
Rahman, dengan keteguhan seorang pemikir-filsuf, menjelaskan bahwa gagasannya justru hendak memperdalam pemahaman tentang Al-Qur'an. Ia tidak menafikan keilahian wahyu yang transenden, tetapi justru menegaskan bahwa wahyu tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan menyentuh hati, pikiran, dan lisan seorang manusia utama—Muhammad, Sang Rasul. Gagasan Rahman ini di kemudian hari dikembangkan Nasr Hamid Abu Zaed dalam Mafhûm al Nâsh dengan adagium terkenal Muntaj Tsaqafi (al Qur’an adalah produks budaya).
Bagi
Rahman, memahami Al-Qur'an tidak cukup dengan membaca teksnya secara harfiah,
tetapi harus menelusuri semangat dan konteks yang melahirkannya. Wahyu adalah
ruh yang hidup, bukan huruf yang mati dan membeku. Ia turun untuk membimbing
manusia, dan dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan memilih bahasa dan ekspresi
manusiawi agar wahyu dapat menjadi petunjuk bagi seluruh umat. Pewahyuan adalah
peristiwa di mana Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dan komunikasi itu bisa
dipahami bila menggunakan media bahasa yang dapat dimengerti.
Maka,
dalam kontroversi ini, sesungguhnya terhampar pertanyaan yang lebih dalam:
apakah kita memahami Al-Qur'an sebagai kitab yang beku, atau sebagai teks yang
hidup, yang terus berbicara kepada setiap generasi? Fazlur Rahman, dalam jejak
intelektualnya, mengajak kita untuk melihat Al-Qur'an bukan hanya sebagai teks
yang dibaca, tetapi sebagai pesan yang direnungkan, dihayati, dan
direalisasikan dalam kehidupan.
Rahman bukanlah intelektual kacangan. Ia dibesarkan dalam tradisi keilmuan yang mapan, yang banyak menapaki jalan yang jarang dilalui: memadukan warisan Islam klasik dengan semangat modernitas. Hafal Al-Qur'an sejak kecil, ia tidak hanya mengakrabi teks, tetapi juga menggugat bagaimana teks itu dipahami. Dari Punjab hingga Oxford, dari Lahore hingga Chicago, ia membangun dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan Timur dan Barat, masa lalu dan masa depan. Ia adalah intelektual yang diperhitungkan di dunia.
Dalam “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition”, Rahman merumuskan metodologi baru—double movement—dalam memahami Islam. Baginya, Islam bukanlah batu yang beku, melainkan sungai yang terus mengalir, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan esensinya. Ia mengusung gagasan tentang living Sunnah, bahwa sunnah bukanlah sekadar hadis yang tertulis, melainkan tradisi hidup yang berkembang dalam masyarakat muslim.
Ia menafsir ulang hukum Islam dengan perspektif kontekstual. Riba, yang oleh banyak ulama dipandang sebagai kejahatan mutlak, baginya perlu dikaji ulang dalam kerangka ekonomi modern. Hukuman hudud, seperti potong tangan bagi pencuri, ia anggap lebih sebagai representasi nilai ketertiban sosial ketimbang aturan mutlak yang harus diterapkan dalam semua kondisi. Pendekatannya yang kritis terhadap hukum Islam menjadikannya musuh bagi mereka yang menganggap syariah sebagai sesuatu yang tak boleh digugat.
Fazlur Rahman wafat pada 26 Juli 1988, meninggalkan jejak pemikiran yang tak bisa dihapus oleh waktu. Ia adalah suara yang menembus batas, mengguncang fondasi yang rapuh, dan menyalakan obor pemikiran di tengah kegelapan dogma. Ia tahu bahwa kebenaran harus diperjuangkan, bahkan jika perjuangan itu berakhir dengan pengasingan. Ia telah memilih jalannya: menjadi seorang pencari kebenaran, bukan penjaga tradisi yang kaku.
Dalam pergulatan Islam dengan modernitas, gagasan Rahman masih nyaring menggema. Mereka yang berani berpikir, yang menolak tunduk pada otoritas tanpa kritisisme, menemukan dalam dirinya seorang guru. Dan bagi mereka yang masih memeluk dogma tanpa bertanya, bayangan Rahman tetap menjadi pengingat bahwa Islam bukanlah kitab yang tertutup, melainkan kisah yang terus ditulis oleh setiap generasi.
Dan
demikianlah, pemikir besar itu melangkah dalam arus zaman, meninggalkan warisan
pemikiran yang terus berdebur dalam samudra wacana Islam. Bagi mereka yang
berani menyelami, pemikirannya bukanlah badai yang menghancurkan, melainkan
angin segar yang membawa perahu pemahaman menuju cakrawala yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar