Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 22 Februari 2025

Fazlur Rahman dan Simfoni Kalam: Antara Firman dan Ujaran


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Di langit pemikiran Islam yang terhampar luas, dengan segala bentuk khazanah yang ada, nama Fazlur Rahman dari Pakistan berkilau bak bintang terang, meski sering redup ditelan awan gelap kontroversi. Ia, seorang pemikir yang berani melintasi samudra wacana, terbang-menantang arus pemikiran konservatif yang menahbiskan dogma sebagai kebenaran absolut.

 

Dan dari penjelajahan intelektualnya yang tak biasa itu, muncul satu gagasan yang mengguncang, bahkan dianggap telah merontokkan dogma yang lama dianut: bahwa Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, adalah firman Tuhan sekaligus ujaran Nabi Muhammad. “The Qur’an is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad” [Rahman: Islam, 1979].

 

Bagi kaum konservatif, pernyataan ini laksana petir di tengah kemapanan tafsir yang berabad-abad kokoh menjulang tinggi. Bagaimana mungkin Kalam Ilahi yang tak berhingga itu, yang turun dari langit ke tujuh, bersatu dalam raga manusiawi seorang Rasul? Bukankah wahyu adalah sesuatu yang transenden, sakral, murni, dan tidak tercampur oleh nalar serta diksi manusia?

 

Di sinilah Rahman, dengan kebijaksanaan seorang pemikir-filosof, membentangkan argumennya: bahwa wahyu Ilahi, sebelum menjadi teks yang tertulis, telah melebur dalam diri Nabi sebagai seorang insan pilihan. Wahyu bukanlah huruf yang beku yang terpisah dari pengalaman dan kepribadian Rasul. Sebaliknya, ia adalah gema Ilahi yang menyusup dalam sanubari Nabi Muhammad, melahirkan kata-kata yang sarat dengan makna ketuhanan, namun terjalin dalam jalinan bahasa manusiawi. Dengan kata lain, Al-Qur'an adalah refleksi dari pengalaman wahyu dalam diri Nabi, yang kemudian menjelma dalam bahasa yang dapat dimengerti umatnya [bi lisân qaumihi].

 

Namun, pandangan ini tidaklah tanpa tantangan. Para pemegang teguh ortodoksi melihatnya sebagai pintu masuk kedalam pemahaman relativisasi wahyu dan berakibat pada penanggalan sakralitasnya. Jika Al-Qur'an adalah ujaran Nabi yang menyerap ilham Tuhan, apakah itu berarti terdapat unsur subjektivitas dalam kalam suci? Apakah ini bukan langkah menuju reduksi wahyu menjadi sekadar pemikiran seorang manusia, betapapun agungnya Nabi Muhammad itu?

 

Gelombang penolakan pun deras menerjang, menghantam Rahman dan gagasannya, menuduhnya sebagai pelopor sekularisasi wahyu. Ia dihujat, dicaci, dianggap penebar bid’ah, sesat, dan akhirnya, terusir dari tanah kelahirannya. Namun, dalam bentangan samudra intelektual yang luas, gelombang kontroversi hanyalah riak kecil dalam arus pemikiran besar.


Rahman, dengan keteguhan seorang pemikir-filsuf, menjelaskan bahwa gagasannya justru hendak memperdalam pemahaman tentang Al-Qur'an. Ia tidak menafikan keilahian wahyu yang transenden, tetapi justru menegaskan bahwa wahyu tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan menyentuh hati, pikiran, dan lisan seorang manusia utama—Muhammad, Sang Rasul. Gagasan Rahman ini di kemudian hari dikembangkan Nasr Hamid Abu Zaed dalam Mafhûm al Nâsh dengan adagium terkenal Muntaj Tsaqafi (al Qur’an adalah produks budaya).

 

Bagi Rahman, memahami Al-Qur'an tidak cukup dengan membaca teksnya secara harfiah, tetapi harus menelusuri semangat dan konteks yang melahirkannya. Wahyu adalah ruh yang hidup, bukan huruf yang mati dan membeku. Ia turun untuk membimbing manusia, dan dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan memilih bahasa dan ekspresi manusiawi agar wahyu dapat menjadi petunjuk bagi seluruh umat. Pewahyuan adalah peristiwa di mana Tuhan berkomunikasi dengan manusia. Dan komunikasi itu bisa dipahami bila menggunakan media bahasa yang dapat dimengerti.

 

Maka, dalam kontroversi ini, sesungguhnya terhampar pertanyaan yang lebih dalam: apakah kita memahami Al-Qur'an sebagai kitab yang beku, atau sebagai teks yang hidup, yang terus berbicara kepada setiap generasi? Fazlur Rahman, dalam jejak intelektualnya, mengajak kita untuk melihat Al-Qur'an bukan hanya sebagai teks yang dibaca, tetapi sebagai pesan yang direnungkan, dihayati, dan direalisasikan dalam kehidupan.

 

Rahman bukanlah intelektual kacangan.  Ia dibesarkan dalam tradisi keilmuan yang mapan, yang banyak menapaki jalan yang jarang dilalui: memadukan warisan Islam klasik dengan semangat modernitas. Hafal Al-Qur'an sejak kecil, ia tidak hanya mengakrabi teks, tetapi juga menggugat bagaimana teks itu dipahami. Dari Punjab hingga Oxford, dari Lahore hingga Chicago, ia membangun dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan Timur dan Barat, masa lalu dan masa depan. Ia adalah intelektual yang diperhitungkan di dunia.

 

Dalam “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition”, Rahman merumuskan metodologi baru—double movement—dalam memahami Islam. Baginya, Islam bukanlah batu yang beku, melainkan sungai yang terus mengalir, menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan esensinya. Ia mengusung gagasan tentang living Sunnah, bahwa sunnah bukanlah sekadar hadis yang tertulis, melainkan tradisi hidup yang berkembang dalam masyarakat muslim.

 

Ia menafsir ulang hukum Islam dengan perspektif kontekstual. Riba, yang oleh banyak ulama dipandang sebagai kejahatan mutlak, baginya perlu dikaji ulang dalam kerangka ekonomi modern. Hukuman hudud, seperti potong tangan bagi pencuri, ia anggap lebih sebagai representasi nilai ketertiban sosial ketimbang aturan mutlak yang harus diterapkan dalam semua kondisi. Pendekatannya yang kritis terhadap hukum Islam menjadikannya musuh bagi mereka yang menganggap syariah sebagai sesuatu yang tak boleh digugat.

 

Fazlur Rahman wafat pada 26 Juli 1988, meninggalkan jejak pemikiran yang tak bisa dihapus oleh waktu. Ia adalah suara yang menembus batas, mengguncang fondasi yang rapuh, dan menyalakan obor pemikiran di tengah kegelapan dogma. Ia tahu bahwa kebenaran harus diperjuangkan, bahkan jika perjuangan itu berakhir dengan pengasingan. Ia telah memilih jalannya: menjadi seorang pencari kebenaran, bukan penjaga tradisi yang kaku.


Dalam pergulatan Islam dengan modernitas, gagasan Rahman masih nyaring menggema. Mereka yang berani berpikir, yang menolak tunduk pada otoritas tanpa kritisisme, menemukan dalam dirinya seorang guru. Dan bagi mereka yang masih memeluk dogma tanpa bertanya, bayangan Rahman tetap menjadi pengingat bahwa Islam bukanlah kitab yang tertutup, melainkan kisah yang terus ditulis oleh setiap generasi.

 

Dan demikianlah, pemikir besar itu melangkah dalam arus zaman, meninggalkan warisan pemikiran yang terus berdebur dalam samudra wacana Islam. Bagi mereka yang berani menyelami, pemikirannya bukanlah badai yang menghancurkan, melainkan angin segar yang membawa perahu pemahaman menuju cakrawala yang lebih luas.

 

Tidak ada komentar: