Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 28 November 2022

Epilog: Subulussalam adalah ‘Rumah Kembali’


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Hari-hari boleh berganti. Perubahan musim selalu saja datang dan pergi. Tapi ingatan kita tentang masa lampau tidak boleh hilang oleh amuk waktu yang berjalan mengikuti peredaran matahari.

Waktu mampu merubah semua dan menghentikan segala. Seluruh jalan hidup yang pernah kita lewati pasti meninggalkan jejak. Sewaktu-waktu kita pun bisa menengoknya kembali untuk sekedar mengingat dan melawan bayangan lupa.

Kadang, masa kini terlalu melenakan, membuai dan melupakan semua ingatan. Apalagi bila jarak dan antara yang kita miliki terlampau jauh ditempuh atau justru terlalu lama ditepikan. Situasi seperti ini pada akhirnya membuat kita sulit menoleh, apalagi untuk menghadirkan seluruh ingatan dalam kekinian.

Kita pernah hidup di ruang bersama’ meski datang dari arah yang berbeda-beda. Ruang itu pula yang mempertemukan kita untuk saling mengenal, menjadi sahabat, bahkan saudara. Ruang yang tak lagi tersekat oleh perbedaan latar belakang, golongan, identitas, dan ego komunal. Ruang yang menjadi titik temu dan diharapkan tidak mudah berlalu.

Ya, Subulussalam. Di sanalah kita mengawali semua cerita. Kisah yang mempertautkan seluruh kehidupan dari banyak perbedaan. Muasal kita tidak sama, titik berangkat kita juga tidak serupa: ada yang datang dari Pandeglang, Rangkas, Serang, Tangerang, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, Riau, dll.

Sebagai manusia kelana yang datang dari selaksa asal kembara, mulanya kita tidak mengenal satu sama lain. Namun kala hati, pikiran, dan perbuatan kita terbuka untuk semua hal baru dalam hidup, kita akan menemukan sahabat terbaik yang akan mengisi hari-hari kosong. Wajah-wajah asing yang dulu bagai orang lain, kini seketika jadi orang-orang yang paling berpengaruh bagi karir dan hidup kita.

Masa lalu adalah masa kini yang tiba terlalu dini. Kita tidak boleh menepikannya dari bagian kisah hidup kita. Sebab segala upaya untuk melupakannya adalah nama lain dari ketidakjujuran dan pengkhianatan pada kisah yang telah kita torehkan sendiri.

Masih ingatkah kita pada malam yang melipat siang? Atau pada matahari yang membasuh embun sisa kenangan di waktu malam? Senja selalu membawa kita pada batas hari, perlahan tapi pasti. Pergantian siang dan malam, dan peredaran matahari yang tak pernah berhenti, semua itu kita lewati hari-harinya di ‘rumah bersama’ bernama Subulussalam.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Jangan sekedar menjadikannya kenangan sesaat, sebab kenangan seperti itu hanyalah bayangan masa lalu, yang lambat laun akan pupus dilupakan amuk waktu. Jadikanlah Subulussalam sebagai ingatan yang akan senantiasa terpatri dalam memori, meski waktu terus berjalan mendampingi putaran matahari.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Di sini pernah kita berlindung dari terpaan angin, goresan hujan, dan sengatan lidah matahari. Di sini pernah kita digembleng dan ditempa untuk menjadi manusia utama. Di sini pula pernah kita bicara tentang banyak hal; tentang Tuhan, tentang alam, tentang manusia, tentang ombak kehidupan.

Subulussalam adalah ‘rumah bersama’. Rahim yang telah melahirkan kita semua. Adakalanya kita pergi keluar rumah, mengembara, melewati dataran dan tanjakan; menjelajahi gunung, tebing, bahkan tanjung; mengarungi samudera dan lautan. Tapi jangan pernah lupa jalan untuk pulang.

“Kam Min Manjilin Fi Al Ardhi Ya’lifuhu Al Fatâ // Wa Hanînuhu Abadan Liawwali Manzilin”. [كم من منزل فى الأرض يألفه الفتى وحنينه أبدا لأول منزل] Betapa banyak tempat di dunia mampu disinggahi sang pengembara // Tapi kerinduannya selalu hanya kepada tempat persinggahan yang pertama.

Setiap perjalanan pergi merindukan ruang kembali. Adakalanya para petualang menyusuri punggung bumi. Adakalanya juga harus memenuhi panggilan pulang ibu pertiwi. Manusia adalah atma kembara, sekaligus jiwa pertapa.

Subulussalam adalah ‘rumah kembali’. Setelah ‘ribuan purnama’ bergelut dengan ombak kehidupan, kadang kita lelah, bahkan mungkin hampir terkapar kalah. Pulanglah sejenak ke ‘rumah kembali’ untuk mencari berkah kiai agar kita tidak kehilangan jangkar jati diri.

Pergumulan hidup kadang membuat sayap-sayap ini patah dan terbelah. Sejenak kiranya kita perlu pulang ke ‘kampung kenangan’, yang dulu menyimpan banyak kisah indah yang sulit dilupakan. Kenangan kadang baik untuk memulihkan beban hidup, juga baik untuk menyehatkan ingatan yang hampir tergerus amuk waktu.

Subulussalam adalah ‘kampung kenangan’. Sesekali kita perlu pulang untuk merawat akar dan tradisi, yang sempat ditinggalkan dalam proses kembara mencari nafkah bumi. Sesekali kita juga perlu pulang untuk melawan bayangan lupa. Ibarat burung yang terbang bebas melintasi cakrawala, namun tak pernah lupa pulang ke sarang.

Di kelam malam, manusia kadang baru menyadari arti kehadiran bintang penuntun. Memang, tidak semua orang bisa mengikuti setiap seruan yang datang. Bahkan bila seruan itu diarahkan pada jalan kebenaran sekali pun, tetap saja akan masih ada yang menolaknya.

Rahim Subulussalam (Pak Kiai Maimun) yang dulu melahirkan para santri, kini telah menunggu anak-anaknya kembali. Pulanglah sejenak, meski kini beliau tidak lagi bisa menyambut kedatangan kita seperti waktu dulu kala. Beliau tak lagi bisa menyapa, meski sekadar bertanya tentang kabar kita.

Pak Kiai, di Haul ke-2 ini, kami para alumni datang bukan untuk meminta nasehat yang dulu sering engkau berikan. Kami datang bukan untuk melihat senyuman yang biasa engkau pancarkan dari wajah yang sejuk dan bijaksana. Kami datang bukan untuk meminta jalan hidup dari persoalan yang kami hadapi. Sebab engkau telah pergi.

Engkau pergi untuk selamanya ke tempat tanpa suara, tanpa aksara. Tempat seluruh hamba pada akhirnya nanti akan kembali. Engkau pergi memang tidak akan pernah kembali. Tapi engkau telah meninggalkan jejak layaknya manusia utama

Hari ini kami datang untuk memberi penghormatan yang dalam atas semua jasa-jasa yang telah engkau berikan. Engkau adalah guru sejati, yang tak lelah memberi arti. Engkau pergi untuk Cinta Yang Abadi. Allahummagfirlahu Warhamhu Waafiihi Wa’fuanhu.

Tidak ada komentar: