Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 02 November 2022

Manusia adalah Serigala bagi Sesamanya

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Pepatah Latin ini sepertinya cukup mewakili kebrutalan seorang ayah yang dengan biadab membantai putri dan istrinya hingga meregang nyawa. Peristiwa pembantaian ini terjadi di Jatijajar, Tapos, Depok, 1 November 2022. Motifnya hal sepele, gara-gara kalah judi online. Naudzubillah min dzalik!

Dari informasi yang saya terima melalui sejumlah laman berita, korban mengalami luka cukup parah. Mata korban dicongkel dan jari-jari tangannya putus. Peristiwa ini cukup menghentak kesadaran publik sebab dilakukan ayah kandungnya sendiri. Entah syetan mana yang merasuki pikiran si pelaku. Tapi begitulah kondisi seseorang bilamana akalnya sudah dikuasai watak serigala yang siap memangsa kapan saja.

Istilah homo homini lupus pertama kali diperkenalkan sastrawan Romawi, Titus Maccius Plautus (254-184 SM) dalam Asinaria. Plautus menuliskan, “Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit.” Manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi orang lain. Apa yang disampaikan Plautus itu tidak lain merupakan kritik keras terhadap perilaku manusia yang gemar memangsa sesamanya. Tak peduli seperti apa korban meregang nyawa, tak mengapa meski ribuan manusia menggelepar penuh luka.

Sejak berabad-abad yang silam, Plautus sudah memperingati watak purba manusia yang bersifat destruktif itu, yang sesekali akan muncul manakala manusia dalam keadaan terdesak. Memang, manusia pada puncak moralitas dan spiritualnya akan menjelma sebagai Tuhan: dipuja dan disembah. Tapi pada titik paling terendah manusia akan menjelma sebaliknya, bak binatang buas. Bahkan lebih biadab dari binatang sekalipun.

Intelektual Islam Ali Syariati dalam On the Sociology mengalisa, bahwa sejatinya manusia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kekerasan. Bahkan sejarah manusia di buka bumi ini ditandai dengan pertumpahan darah. Pembunuhan Habil oleh Qabil bukti kekejaman manusia atas manusia lain. Kemudian, kekerasan terus berlangsung, bahkan seperti terwariskan hingga sekarang sebagai habitus, dan selanjutnya mewarnai ekspresi peradaban kita.

Dalam sejarah umat manusia, kekejaman demi kekejaman kerap ditampilkan manusia di muka bumi justru bukan untuk menghabisi lawan-lawannya, tapi untuk memenuhi kesenangan-kesenangannya. Masih ingatkah kita tentang bagaimana sepak terjang tentara Jepang yang tanpa ampun membantai warga Nanking tak berdosa.

Dalam aksi kejinya, tentara Jepang tanpa belaskasihan menghabisi warga Nanking. Tua-muda dibantai, laki-laki-perempuan dihabisi, bahkan anak-anak balita pun tidak luput dari kebiadaban mereka. Puluhan ribu kepala dipisahkan dari tubuhnya, mayat-mayat bergelimpangan, situasinya saat itu amat mencekam. Nanking seperti kota mati tak berpenghuni.

Sementara para algojo melakukan aksinya itu tanpa rasa iba. Mereka malah melakukannya dengan penuh bangga. Dikisahkan, untuk mendukung nafsu membunuhnya, petinggi militer Jepang memberi hadiah besar bagi prajurit yang berhasil memenggal banyak kepala. Dalam perang yang terlanjur digelar tidak pernah ada yang dimenangkan, kecuali kesengsaraan yang mencekam bagi para korban.

Manusia di dalam dirinya memiliki kualitas predator, kejam, tidak manusiawi. Apa yang ditampilkan pelaku di Depok kian menguatkan watak dasar manusia sebagai pembunuh berdarah dingin. Pelaku tak peduli siapa sasaran yang menjadi korbannya. Yang ada dalam pikirannya adalah melampiaskan nafsu membunuhnya. Homo homini lupus. Manusia adalah mangsa bagi manusia lainnya.

Ada banyak contoh kekerasan dan kekejaman yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya. Semuanya dilakukan dengan bentuk dan wujud yang berbeda-beda, dengan dalih dan alasan yang berbeda pula. Dan semua itu merupakan watak purba dari manusia yang harus dihindari. Watak dasar manusia kata Hegel adalah keinginan menguasai yang lain. Dan dalam upaya menguasai itu, seseorang akan meniadakan dan bahkan menghacurkan yang lainnya.

Sejarah manusia, terang Hegel adalah sejarah dialektika. Sejarah saling meniadakan, saling menghancurkan.

 

Homo Homini Socius

Homo homini socius. Manusia adalah teman bagi sesamanya. Manusia adalah mahluk sosial. Begitu tulis Filusuf Romawi, Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 SM). Pernyataan Seneca ini menaggapi nukilan drama berjudul Asinari karya Plautus, yang menuliskan, “Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit.” Manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi orang lain.

Dalam situasi manusia dihantui sifat seperti predator dan gemar memangsa manusia lain, Seneca mengajukan suatu sikap alternatif guna menanggulangi kekacauan tersebut. manusia diharapkan bisa menajdi teman/sahabat bagi sesamanya. Sebagai mahluk sosial, manusia diharapkan saling membantu dan menolong dalam menghadapi problem kehidupan.

Dalam menapaki hidup ini, manusia tidak akan bisa hidup sendiri. Manusia tidak akan bisa keluar dari watak dasarnya sebagai mahluk sosial dan bermasyarakat. Dan di dalam hidup bermasyarakat itulah manusia satu sama lain dituntut untuk saling membutuhkan, bukan untuk saling menghancurkan dan membunuh. Manusia adalah teman bagi sesamanya, bukan mangsa bagi yang lainnnya.

Dari uraian di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa di dalam diri manusia ada sifat predator layaknya mesin pembunuh dan sifat bersahabat yang berorientasi melestarikan hidup harmonis antar sesama manusia. Kedua sifat ini pada akhirnya berusaha untuk saling mempengaruhi perilaku manusia. Mana yang lebih dominan, maka itulah yang mempengaruhi cara hidup manusia.

Singkatnya, manusia sudah diberikan pilihan. Dan manusia pula-lah yang menentukan; sebagai homo homini lupus atau homo homini socius.

 

Tidak ada komentar: