Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 30 November 2022

Rayap Agama


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Agama seperti pisau bermata dua: bisa melukai sekaligus melindungi. Keberadaannya bergantung pada sikap pemeluknya. Sekalipun misi profetik agama ramah membawa berkah, tapi pemeluknya kerap menampilkan wajah agama yang sangar penuh marah.

Inilah dua wajah agama yang kontradiktif. Kedua sisinya bisa menampilkan wajah agama yang berbeda. Pertanyaannya, wajah mana yang sering kita tampilkan?

Dalam beberapa tahun belakangan ruang publik beragama kita disesaki aksi kekerasan. Korbannya, lagi-lagi kelompok minoritas. Masjid dibakar. Gereja dirusak. Pura dan Vihara disegel. Jama’ahnya jadi korban perundungan, bahkan jadi sasaran kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa manusia.

Ahamadiyah memang takdirnya bagai di tepi jurang. Salah sedikit melangkah nasibnya akan makin terperosok kedalam ketidak-pastian. Hingga kini, keberadaan mereka masih dianggap duri di tubuh umat Islam. Entah berapa kali kelompok ini jadi sasaran amuk massa. Tak terbilang. Tak terbayangkan.

Sementara hubungan Sunni-Syi’ah masih tidak lebih menjadi baik. Dari waktu ke waktu, konflik saudara ini kerap menyisakan luka bercoreng karat. Pengalaman traumatik dalam sejarah tidak membuat keduanya berlapang dada untuk saling menerima perbedaan. Masing-masing justru mengklaim paling punya otoritas untuk dianggap paling benar.

Perbedaan tak membuat umat beragama menjadi dewasa. Padahal Tuhan tak pernah bermaksud membuat perbedaan tak pernah ada. Entah mengapa perbedaan disikapi dengan begitu menakutkan, seolah seperti teror yang mengancam kelangsungan hidup umat beragama. Padahal perbedaan adalah sunatullah (hukum alam) yang mustahil kita seragamkan.

Perbedaan agama: Islam, Katolik, Protestan, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Zoroaaster, Sikh, dll, adalah fakta yang tak seorang pun mampu menolaknya. Perbedaan aliran teologis: Sunni, Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, Salafisme, Wahabisme, dll, adalah kenyataan yang juga tidak mungkin disangkal keberadaannya.

Lalu mengapa kesombongan manusia ingin menyeragamkan perbedaan dan membuatnya hanya menjadi satu aliran dan keyakinan? Berhentilah seolah menjadi tuhan. Karena Tuhan yang sesungguhnya pun tidak pernah mengharapkan umat manusia menjadi satu golongan.

Apa yang ditampilkan umat beragama sejauh ini, hemat saya, masih jauh dari misi profetik para nabi. Agama sejak semula hadir untuk membawa kedamaian dan kemaslahatan. Justru berubah menjadi petaka bagi kelangsungan hidup umat manusia. Jika ajaran agama sudah tidak lagi menawarkan kehidupan bagi kelangsungan umat beragama, lantas apa fungsi agama?

Charles Kimbell nampaknya mampu menangkap sisi kelam dari agama. Dalam When Religion Becomes Evil, (2013), dia memotret ragam bencana yang dibawa agama. Dalam banyak episode sejarah yang lalu berapa sudah tragedi berdarah berlatar agama yang memakan banyak korban. Berapa kisah pertempuran antar golongan disulut dengan dalih mempertahankan iman dan keyakinan.

Perang Salib terjadi berulang kali. Dan setiap perang itu pecah, korbannya sungguh tak terbilang. Perang atas nama agama tidak terjadi pada abad-abad yang lampau semata. Di era modern, yang katanya menjunjung rasionalitas dan humanisme, perang itu justru semakin mengerikan dan mendebarkan.

Tragedi 11 September 2001 masih menyisakan mimpi buruk bagi warga dunia. Ribuan nyawa manusia tak berdosa melayang hanya dalam sekejap mata. Perang terhadap terorisme pun dikumandangkan. Tapi setiap seruan itu digemakan setiap itu pula aksi teror makin membabibuta.

Benar apa yang dikatakan Charles Kimbell mengenai agama menjelma bencana. Yaitu ketika pelaku kejahatan mendalihkan seluruh kegiatan jahatnya pada teks-teks kitab suci. Situasi ini benar-benar membuat agama menjadi rumit dipahami. Di satu sisi sebagian memahami agama sebagai sumber cinta dan kasih sayang, tapi ada sebagian lain mencurigai agama sebagai sumber petaka.

Lihatlah sekarang bagaimana caci maki terhadap keyakinan agama yang berbeda menjadi persoalan yang belum juga terselesaikan. Sialnya, pelaku kebencian itu justru bersumber dari mulut pemuka agama yang disebarkan di majelis taklim-majelis taklim dan mimbar-mimbar agama. Padahal sejatinya mulut para juru dakwah itu dijaga agar tidak mengeluarkan bau busuk yang mencemar peradaban.

Dan yang paling mengerikan lagi adalah saat agama dijadikan alat propaganda untuk mengalahkan lawan-lawan politik seseorang. Politisasi agama dipraktikkan secara massif dan terorganisir. Hingga tak jarang berdampak pada pembelahan masyarakat menjadi dua. Di mana masing-masing kubu mengaku paling benar dan paling sahih.

Menjadikan agama sebagai alat politik telah mendegradasi esensi dan kesejatian agama. Pada saat itulah agama menjadi busuk. Dia menjadi busuk bukan karena ajaranya, tapi karena dibusukkan oleh pemeluknya sendiri, oleh kebodohan umatnya, dan kedunguan para pemuka agamanya. “Al Islâm Bain ‘Ajzi Ummatihi Wa Jahli Ulamâ’ihi”, begitulah Syaikh Abdul Qadir Audah pernah mengatakan.

Semua itu adalalah rayap agama yang menggerogoti sendi-sendi agama ini hingga keropos dan rapuh. Agama tidak boleh roboh oleh rayap agama yang seolah berdalih untuk Tuhan padahal demi perut dan nafsu dunia. Rayap agama adalah noda yang hanya bisa dibasuh oleh cinta dan kasih sayang.

Tidak ada komentar: