Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 24 Desember 2024

Harapan di Tahun Yubileum

Selasa, Desember 24, 2024 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Perayaan Natal dan pergantian tahun 2024 kali ini begitu istimewa karena bertepatan dengan Tahun Yubileum. Umat Kristiani memaknainya sebagai tahun penyucian dosa dan pembebasan.

 

Dalam khotbah Misa Malam Natal di Basilika Santo Petrus, Paus Fransiskus menyampaikan pesan yang menggugah tentang hope, tentang sebuah harapan yang bernada dinamis dan optimis.

 

"Pengharapan tidak mati, pengharapan hidup dan memeluk hidup kita selamanya," ucapnya tegas. Harapan mesti dipahami seperti api semangat yang terus menyala dan dipastikan tidak pernah padam.

 

Meski kadang kita merasakan hidup ini begitu absurd seperti klaim Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, tetapi pencarian makna dalam dunia yang tampaknya tidak memiliki makna dan tujuan ini, harus tetap dilakukan.

 

Kita, kata Camus, harus menerima absurditas ini dan tetap memilih untuk hidup dengan penuh kesadaran dan keberanian, meskipun tidak ada jaminan akan adanya harapan atau tujuan yang lebih tinggi.

 

Natal mengajak seluruh umat manusia untuk melangkah bersama sebagai peziarah cahaya, membawa harapan bagi dunia yang gelap, yang masih dilanda perang dan persaingan global yang berdaya destruktif.

 

Perang yang terlanjur digelar di Palestina, dan di beberapa negara-negara Timur Tengah, telah menghancurkan tata dunia. Kemanusiaan hilang, empati sirna, yang tersisa adalah watak binal dari sifat manusia yang purba.

 

Sementara persoalan di “rumah bersama” kita yang bernama NKRI ini masih menumpuk. Mulai dari distribusi keadilan yang belum merata, pendidikan nasional yang masih tanpa arah, kemiskinan yang terus meningkat, penegakkan hukum yang tumpul, ekonomi yang timpang, hingga watak koruptif yang masih menguasai naluri para pemimpin kita.

 

Dalam nestapa keadaan seperti itu, Tahun Yubileum adalah momen untuk menemukan kembali harapan yang sejati, dan memperbarui komitmen kita sebagai pembawa damai dan kasih Tuhan bagi dunia yang dilanda ketidakpastian. Tahun (Yubileum) yang memberi harapan tentang pembebasan yang dicita-citakan umat manusia.


Kamis, 19 Desember 2024

Membedah Sejarah Tuhan

Kamis, Desember 19, 2024 0

 

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Tuhan tidak punya sejarah. Sebab Dia tidak terikat dengan ruang dan waktu. Dia bukan ini, juga bukan itu. Tidak di sini, juga tidak di sana. Dia melampaui semuanya. Seluruhnya.


Dan karena itu, yang dimaksud dengan Sejarah Tuhan (History of God) dalam karya ‘keren’ Karen Armstrong, adalah Tuhan yang dapat dipahami, dimengerti, dan dipirkan oleh manusia.


Sejak dulu hingga kini, dan bahkan pada masa yang akan datang nanti, Tuhan hanya bisa dihampiri melalui apa yang dapat dipersepsi manusia.Sejarah Tuhan melacak sejarah persepsi dan pengalaman umat manusia tentang Tuhan.

 

Begitulah Tuhan, yang menurut Ibn‘Arabi disebut al Illah fi al Ma’rifah (Tuhan dalam Pengetahuan Manusia). Sementara Tuhan yang Hakiki nan Sejati, melampaui semua definisi dan kategori. Nirguna (tanpa sifat), Nirakara (tanpa bentuk), menurut doktrin Advaita Vedanta (Hindu).

 

Karen Armstrong menyadari pemahaman tentang Tuhan sedemikian kompleks, ruwet, berubah seiring perjalanan waktu. Mulai dari agama-agama politeistik yang menganggap Tuhan sebagai entitas yang bisa didekati secara langsung (imanen/tasybih), hingga monoteistik yang menjauhkan Tuhan dari manusia (transenden/tanzih).

 

Di masa lalu, tepatnya pada masa kanak-kanak saya dulu, saya memahmi Tuhan sebagai yang berwujud (berjenis) laki-laki, Maha Besar, yang kebesaran-Nya melampaui gambaran tubuh raksasa. Dia (Tuhan) mengangkangi bumi dan keseluruhan semesta ini. Kapan saja, sebisa Dia mau, mampu menghancurkannya dengan sekali injakan kaki-Nya.

 

Tetapi, seiring berjalan waktu, pengalaman, dan literatur yang saya dalami, pemahaman tentang Tuha seperti saya sebutkan, telah berubah.Tuhan begitu paradoks; Dia menampilkan diri-Nya sebagai Yang Awal sekaligus Yang Akhir; Yang Nampak sekaligus Yang Tersembunyi; Yang Jauh sekaligus Yang Dekat.

 

Karen Armstrong mengajak pembaca untuk memahami evolusi pemikiran tentang Tuhan dari zaman kuno hingga era modern. Terutama evolusi pemikiran komunitas tiga agama besar dunia; Yahudi, Kristen, dan Islam.

 

Buku ini menggabungkan studi sejarah, filsafat, dan teologi untuk memberikan perspektif yang komprehensif mengenai bagaimana berbagai peradaban dan budaya memandang Tuhan. Buku ini juga mengulas berbagai konflik dan perbedaan dalam pemikiran tentang Tuhan yang sering kali memicu perpecahan dan perang, namun juga memunculkan pencarian spiritual yang mendalam.

 

Selamat membaca!