Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 28 Januari 2008

Kegagalan Annapolis
Dimuat di SINDO (Selasa 04 Des 2007)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Annapolis merupakan sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu yang terletak di Negeri Bagian Maryland, dekat Washington DC. Di kota kecil itulah Konferensi Damai Palestina-Israel yang digagas Amerika Serikat (AS) diselenggarakan, dengan dihadiri hampir 52 negara dan organisasi internasional, termasuk di dalamnya Indonesia. Konferensi yang digelar selama dua hari, 27-28 November 2007 ini diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal, yaitu menciptakan perdamaian Palestina-Israel yang sudah sekian tahun hingga kini masih saja terjadi konflik bedarah. Namun, setelah dua hari para peserta konferensi dari berbagai negara dunia itu berembuk dan melakukan negosiasi, hasil yang dicapai hanya kegagalan dan kekecewaan belaka. Mereka pulang ke negerinya masing-masing dengan tangan hampa, tanpa ada hasil yang dapat diberikan untuk kesejahteraan masyarakat Palestina.

Jauh sebelum diselenggarakanya konferensi itu banyak kalangan, baik dari pengamat politik nasional maupun internasional memprediksikan kemungkinan besar capaian yang akan didapat adalah ‘kegalan’. Mereka menyebutkan bahwa konferensi damai di Annapolis hanya sekedar konsumsi publik semata untuk memperbaiki citra pemerintah Presiden AS George Walker Bush yang akan mengakhiri jabatanya pada tahun 2008 nanti. Sepertinya Bush dalam hal ini ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat dunia bahwa Bush bukanlah tokoh yang selalu harus dipersalahkan, teruatama setelah kegegalanya dalam perang Irak dan Afghanistan.

Pada kesempatan lain, beberapa hari sebelum diselenggarakanya konferensi Annapolis, Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Olmert menyatakan, seakan memberikan sikap psimisnya akan hasil yang akan dicapai dalam konferensi itu, “Jangan berharap terlalu banyak dari Annapolis. Di sana nanti tidak akan ada keputusan yang bersifat spesifik. Dan bahkan mungkin tidak ada pernyataan bersama Palestina-Israel”.

Pernyataan Olmert di atas semakin diperkuat dengan munculnya pemberitaan dari Harian Israel, Haretz, Kamis (22/11) lalu. Dalam beritanya, Haretz membocorkan draf dokumen politik bersama yang gagal dicapai antara perundingan Israel dan Pelstina. Dalam draf itu Israel menolak untuk memecah kota Jerusalem dan membahas isu nasib pengungsi Palestina, serta menuntut Palestina mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi yang legal (sah).

Sejauh analisis penulis, kegagalan konferensi Annapolis disebabkan, paling tidak karena diabaikanya dua faktor penting oleh para peserta konferensi. Pertama, tidak dilibatkanya dua unsur yang dapat menentukan masa depan perdamaian Palestina-Israel, yaitu Negeri para Mullah, Iran dan Hamas yang hingga kini seharusnya diakui sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Palestina.

Dan kedua, isu-isu penting dalam konteks konflik Palestina-Israel seperti status kota Jerusalem, perbatasan, pengungsi Palestina, sama sekali tidak disinggung. Padahal, isu-isu tersebut merupakan tuntutan dan harapan dari masyarakat Palestina.

Dengan diabaikanya dua faktor penting tersebut menunjukan ketidakkonsistenan AS untuk menciptakan perdamaian abadi Palestina-Israel. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan negara-negara yang hadir dalam konferensi damai tersebut.

Kepentingan AS-Israel
Seorang Pakar politik Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya Menyandera Timur Tengah, menuturkan bahwa AS dalam setiap kebijakannya di Timur Tengah, khususnya terkait dengan perdamaian Palestina-Israel akan selalu mendukung dan melindungi kepentingan Israel secara penuh daripada Palestina. Ini disebabkan karena AS selalu berpatokan pada doktrin “Israel First”, sebagai dasar utama untuk melindungi kepentingan Israel. Bagi AS, Israel adalah segala-galanya karena ia (Israel) anak kandung AS sendiri yang diciptakan dan dibentuk sedemikian rupa untuk kepentingannya dalam melawan negara-negara Timur Tengah.

Seiring dengan pernyataan Riza Sihbudi di atas, Michael C. Hudson, Direktur Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University menyebutkan bahwa terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS terkait dengan sikap AS terhadap negara-negara Arab (khususnya Palestina). Pertama, aliran “Isarel First” yang membela dan mendukung kepentingan negeri Yahudi, Israel. Dan kedua, aliran “Evenhanded”, yaitu aliran yang menghendaki agar AS bersikap “lebih adil” dan “bijaksana” di Timur Tengah. Namun, kata Hudson, dalam kenyataanya pendukung doktrin “Isarel First” di AS lebih mendominasi ketimbang pendukung aliran “Evenhanded”.

Akibatnya, bisa kita prediksi bahwa dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan AS terkait isu damai Palestina-Israel, AS lebih mengedepankan kepentingan Israel. Apalagi dominasi pengikut doktrin “Israel First” dalam proses pembuatan kebijakan di AS mendapatkan dukungan lebih dari para pejabat penting baik di Dewan Keamanan Nasional (NSC), Pentagon, Departemen Luar Negeri, maupun kalangan intelijen (CIA). Dari pembacaan di atas, kita dapat menimbang bahwa konferensi damai di Annapolis yang direncanakan langsung oleh pihak AS untuk terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel tidak akan menguntungkan dan memberikan apa-apa bagi pihak Palestina. Justru hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan AS-Israel semata. Hal ini terbukti dengan tidak adanya hasil konkret yang dapat diberlakukan dalam konteks perdamaian Palestina-Israel.

Maka sangat disayangkan sekali kehadiran negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Irak, Mesir, dan Yordania, juga negara luar Timur Tengah seperti Malaysia dan Indonesia yang menjadi delegasi dalam menghadiri konferensi damai Annapolis itu. Kehadiran mereka, khusunya Indonesia dalam konferensi tersebut sebetulnya tidak akan membawa dampak apa-apa bagi perbaikan dan perkembangan Palestina, terutama bagi bangsa Indonesia sendiri, selain membuang-buang waktu, energi dan tenaga saja. Dengan begitu, Indonesia dan juga peserta konferensi damai di Annapolis harus mengambil pelajaran dari kegagalan berbagai konferensi damai Palestina-Israel yang pernah diselengagrakan AS. Jauh sebelum Bush, Bill Clinton pernah mempertemukan pemimpin Palestina Yaseer Arafat waktu itu dan PM Israel Ehud Barak di Camp David pada 2000 lalu. Namun hasilnya pun sama, hanya menghasilkan “proses perdamaian”, bukan perdamaian itu sendiri.

Akhirnya, kita hanya bisa mencatat dan mengingat bahwa konferensi damai di Annapolis atas prakarsa AS itu merupakan satu dari sekian sejarah kegagalan AS dalam upayanya menciptakan perdamaian Palestina-Israel. Sejarah itu hanya sebagai kenangan yang berlalu tanpa makna besar, khususnya bagi kedua pihak yang bertikai Palestina dan Israel. Yang jelas, konferensi damai di Annapolis tidak membawakan hasil yang konkret ke arah perdamaian, hanya keputusan final yang akan dicapai pada akhir 2008. Satu hal yang harus menjadi catatan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan PM Israel Ehud Olmert, apakah mereka masih ingin melakukan negosisi kembali di penghujung tahun 2008? Jika mereka masih melakukan negosiasi, tidak cukupkah hasil yang dicapai (kegagalan) di Annapolis kemarin? Kita serahkan pada mereka berdua untuk memilih mana yang terbaik demi terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel. Kita tunggu di penghujung 2008 nanti.

Tidak ada komentar: