Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 02 Februari 2008

800 Tahun Maulana Jalaluddin Rumi


Mohamad Asrori Mulky 
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina.
Dimuat di Sinar Harapan (12 Nopember 2007) 

Maulana Jalaluddin Rumi dikenal tidak saja sebagai penyair-mistik, tapi juga sebagai tokoh humanis terbesar sepanjang masa. Ia lahir pada tahun 604 Hijriah (30 September 1207) di Kota Balkhan, salah satu kota kecil yang dulu merupakan bagian dari Provinsi Khurasan di Iran, dan kini telah menjadi bagian dari Afganistan.

Seorang ulama terkenal di Nishafur, Fariruddin Attar, penulis buku Mantiq at-Thair yang bercerita tentang sekelompok burung yang mencari tuhannya, pernah meramalkan bahwa pada suatu saat nanti Maulana Rumi akan menjadi orang terkenal. Ramalan ini menjadi kenyataan, kini siapa yang tidak pernah mengenal Rumi. Ia adalah tokoh humanis-toleran yang selalu menebarkan cinta kasih dan perdamaian untuk manusia. UNESCO menetapkan tahun ini sebagai tahun Maulana Rumi. 6 September 2007 lalu, badan PBB itu merayakan kelahiran Rumi yang dihadiri oleh Dirjen UNESCO, Koichiro Matsura, dan tiga orang menteri yang mewakili Afghanistan, Iran, dan Turki.

Disusul kemudian Negeri para Mullah, Iran menggelar Konferensi Internasional peringatan Maulana Rumi pada 28-30 Oktober 2007. Dan pada 25 Oktober 2007 lalu, beberapa kedutaan untuk Indonesia seperti Iran dan Turki juga menggelar acara yang sama di Taman Ismail Marzuki. Selama hidupnya, Rumi memiliki banyak guru yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan tahapan kenabian dan ketuhanan. Syamsi Tabriz adalah salah satu guru Rumi yang paling memberikan kesan dalam hatinya. Syam adalah orang yang mengenalkan kepada Rumi tarian sufi, Sama’. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi. Bagi Rumi, Tabriz adalah pembakar api, sedangkan Rumi sendiri sang penangkap api.

Pertemuan keduanya telah mengubah Rumi menjadi seorang tokoh mistik terbesar sepanjang sejarah. Maka untuk berterima kasih kepadanya (Syam), Rumi membuat bait-bait syair cinta yang dikumpulkannya dalam sebuah buku tebal berjudul Diwan-Syamsi-Tabriz.

Seruling Perdamaian 
Sebagai tokoh humanis terbesar, Maulana Rumi mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan kemanusiaan. Pada setiap karyanya, terutama Matsnawi dan Fihi Ma Fihi terkandung pesan yang begitu berharga bagi kehidupan manusia di dunia, yaitu terciptanya “perdamaian abadi”.

Buku ini, khususnya Matsnawi bagi masyarakat Iran dianggap sebagai “kitab suci kedua” setelah al-Quran, karena mengandung petunjuk dan ajaran mulia bagi umat manusia yang dapat mengantarkan mereka ke tujuan paripurna.

Kini kita hidup 800 tahun setelah Maulana Rumi, namun pesan damai yang sempat ditorehkannya dalam lembaran-lembaran kitab dan petuah-petuah nasehat rasanya masih relevan dengan kehidupan manusia zaman ini. Zaman di mana pertikaian sering terjadi, kebencian dan kemurkaan dipeliha-ra, kekerasan dan penindasan ditanamkan, serta kejujuran dan kebenaran selalu diabaikan.

Pada zaman seperti itu, damai adalah kata yang teramat mahal bagi setiap orang, bangsa, dan kelompok. Damai menjadi kata yang terus diperjuangkan dan dipertaruhkan. Setiap usaha untuk menggapainya tak jarang menelan korban harta dan jiwa yang begitu banyak. Hingga kini, betapa jurang pemisah di antara bangsa-bangsa dunia semakin menganga lebar, ditambah kemudian dengan sikap intoleransi, dan pupusnya solidaritas sosial semakin membangkitkan sikap egoisme dan individualisme. Konflik yang saat ini masih terjadi di Irak dan Afghanistan, serta ratusan konflik yang pernah melanda Indonesia semakin membenarkan hal itu semua.

Untuk menyelesaikan konflik yang kian menyambang kehidupan manusia dari masa ke masa, Maulana Rumi mencari akar penyebabnya, sekaligus menawarkan sebuah solusi yang dapat menghantarkan mereka kepada kedamaian dan perdamaian abadi. ”Seruling Bambu” bagi Rumi adalah simbol perdamaian. Menurutnya, seruling merupakan analogi yang tepat bagi bangsa dunia yang mendambakan perdamaian. Karena, darinya lahir berbagai lagu yang coba diekspresikan melalui kekuatan angin yang keluar dari mulut seseorang saat meniup alat musik itu.

Bila setiap bangsa, dan juga komunitas dunia meniup seruling itu dengan penuh kesadaran dan dalam kesatuan yang padu, maka akan mengeluarkan suara yang merdu dan menggugah setiap pendengarnya hingga menyejukan hati dan mendamaikan jiwa. Dengan cara memadukan seruling yang satu dengan seruling yang lainnya akan tercipta perdamaian dan kedamaian abadi. Kesadaran inilah yang harus diciptakan masyarakat dunia.

Humanisme-toleran
Kehadiran Rumi di tengah kepenatan hidup dan kebekuan berpikir seperti sekarang ini sungguh sangat diperlukan dan dinanti. Ia tidak saja mampu melantunkan bait-bait syair yang merdu di tengah kebisingan dunia, tapi juga memiliki ajaran-ajaran mulia yang dibutuhkan manusia modern saat ini. Sebagai guru sejagat, Rumi laksana lautan tak bertepi dan bumi tak terjejaki. Ia selalu mengajarkan kepada murid-muridnya untuk bersikap toleran dan solider terhadap sesama, peduli akan penderitaan nasib orang, menerima kelompok lain untuk hidup berdampingan sambil bergandengan tangan tanpa pertentangan dan perselisihan, serta memiliki tanggung jawab untuk mengabdikan hidupnya demi kemanusiaan.

Sikap egois, ingin menang sendiri, dan merasa dirinya paling suci dan benar seperti yang terjadi dan bahkan mewarnai kehidupan dunia ini menjadi kritikan dan perhatian Rumi. Baginya, sikap-sikap seperti itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah dalam hubungannya dengan orang di luar diri kita dan kelompok yang berbeda pandangan dengan kita.

Hal demikian justru hanya akan memperuncing masalah, mempertajam perselisihan, menyulut api peperangan, menanamkan kebencian, dan sesekali akan melahirkan tragedi yang berdarah-darah.

Untuk itu, selama hidupnya, Rumi bergaul dan memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai kalangan, agama, suku, budaya, dan tradisi. Mereka semua diperlakukan Rumi dengan penuh cinta dan kasih sayang, tanpa pandang bulu. Baginya sikap seperti ini akan melahirkan kedamaian dalam diri seseorang dan kedamaian untuk alam semesta. Setelah memberi pelajaran hidup yang sangat bermakna, Rumi berpulang ke pangkuan Illahi dalam usia 68 tahun. Ia wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H. Kepergian Rumi untuk selamanya mengundang kesedihan banyak orang. Tak terhitung jumlah orang yang berkerumun untuk mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, baik dari agama Yahudi, Kristen, dan juga Zoroaster. Mereka sangat kehilangan orang yang selama ini mensabdakan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.

Tidak ada komentar: