Oleh Mohamad Asrori Mulky
Ada jargon yang terlalu lama kita ulangi hingga
kehilangan daya gugatnya:المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح, menjaga tradisi lama yang
baik,dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Jargon ini terdengar seperti mantera yang bijak dan menenangkan.
Namun justru karena itu, ia telah menjadi kalimat yang meninabobokan, bahkan ia
kini, telah kehilangan daya magisnya di tengah zaman yang terus mencipta. Ia
membuat kita merasa telah melakukan sesuatu, padahal sejatinya kita hanya
bertahan—bukan bergerak.
Mustafa Akyol, dalam Reopening Muslim Minds,
menelanjangi kemunduran umat Islam dengan nada getir sekaligus jujur. Ia
menunjukkan bahwa penderitaan umat bukan semata akibat tekanan eksternal,
melainkan lahir dari konflik teologis dan ideologis yang terus bersarang di
tubuh Islam sendiri, diperparah oleh cara berpikir dogmatis, eksklusif, dan
alergi terhadap perbedaan.
Ketika akal dikurung oleh klaim kebenaran tunggal,
tradisi berubah menjadi benteng pertahanan, bukan jembatan peradaban. Di titik
inilah Akyol seakan menyerukan sebuah jalan keluar: tradisi tidak cukup dijaga,
ia harus dibuka kembali, dibongkar secara kritis, dan dibangun ulang agar mampu
melahirkan horizon baru bagi umat.
Tanpa rekonstruksi cara berpikir dan keberanian
mentransformasikan warisan intelektual Islam ke dalam bahasa zaman, umat akan
terus terjebak dalam konflik internal, sementara dunia bergerak tanpa menunggu.
Membangun peradaban baru, dengan demikian, bukanlah soal kembali ke masa lalu,
melainkan menghidupkan kembali nalar Islam agar sanggup mencipta masa depan.
Menjaga, betapapun pentingnya, adalah bahasa orang
yang takut kehilangan, bukan bahasa mereka yang berani mencipta. Dan peradaban
tidak pernah dibangun oleh mereka yang sekadar menjaga. Peradaban lahir dari
keberanian merombak, membangun ulang, dan melahirkan yang baru.
Karena itu, sudah waktunya kita menggeser orientasi
epistemik dan peradaban menuju satu pernyataan yang lebih jujur dan lebih
berdaya terhadap tantangan zaman: إعادةُ بناءِ القديمِ الصالح، وإنتاجُ
الجديدِ الأَصلح, membangun ulang
tradisi yang baik, dan memproduksi tradisi baru yang lebih baik.
Tradisi dan Artefak Museum
Dalam praktik keseharian umat, jargon lama telah
menjelma menjadi etos pelestarian yang kering, nyaris tanpa makna. Tradisi
diperlakukan seperti artefak museum: boleh dikagumi, tidak boleh disentuh.
Kitab-kitab dibaca, tetapi tidak diolah; mazhab dihormati, tetapi tidak
ditransformasikan; ulama dikutip, tetapi tidak dilanjutkan proyek
intelektualnya.
Akibatnya, umat Islam menjadi ahli waris yang miskin:
mewarisi istana pengetahuan, tetapi hidup di beranda sejarah tanpa kuasa
membangunnya kembali. Kita menghafal kemenangan masa lalu seperti doa yang
diulang tanpa penghayatan; kita menyebut nama-nama besar peradaban sebagaimana
silsilah leluhur, tetapi gagal menurunkannya menjadi kerja intelektual yang
hidup. Kita kaya akan memori—kitab, kisah, dan nostalgia—namun miskin produksi
makna, miskin keberanian melahirkan gagasan baru.
Kita tahu apa yang telah terjadi, bahkan dengan detail
yang nyaris sakral, tetapi gagap menjawab apa yang sedang berdenyut di hadapan
kita. Sejarah dipuja sebagai altar, bukan dijadikan cermin. Masa lalu dijaga
dengan kecemburuan, tetapi masa depan dibiarkan yatim tanpa panduan. Di titik
inilah ingatan berubah menjadi beban: ia mengikat, bukan menggerakkan;
menghibur, tetapi tidak membebaskan.
Pengetahuan berhenti menjadi pencarian, lalu menjelma
menjadi pengulangan. Tradisi tidak lagi ditafsirkan, hanya dipertahankan. Teks
tidak lagi diajak berdialog, melainkan dikunci dalam tafsir tunggal yang
menolak waktu. Maka umat hidup dalam paradoks yang sunyi: merasa paling dekat
dengan kebenaran, tetapi paling jauh dari kenyataan; merasa paling setia pada
warisan, tetapi paling abai pada amanat kreatifnya.
Dalam keadaan demikian, Islam tidak kekurangan
jawaban, tetapi kehilangan pertanyaan yang hidup. Dan tanpa pertanyaan, wahyu
kehilangan ruang untuk berbicara kepada zaman. Yang tersisa hanyalah gema—bukan
suara; hafalan—bukan hikmah; kepatuhan—tanpa kesadaran.
Ibn Khaldun telah lama mengingatkan bahwa peradaban
runtuh bukan karena kekurangan nilai, melainkan karena hilangnya daya
produktif. Dalam al-Muqaddimah, ia menulis bahwa ilmu yang tidak lagi
relevan dengan realitas sosial akan kehilangan fungsi historisnya. Tradisi yang
tidak dibangun ulang akan menjadi beban sejarah, bukan sumber kekuatan.
Produksi, Bukan Repetisi
Pemikir kontemporer Malik Bennabi menyebut krisis umat
sebagai krisis produksi peradaban. Umat Islam, menurutnya, terlalu lama
menjadi konsumen ide dan sistem yang diciptakan orang lain. Mereka sibuk
menjaga identitas, tetapi gagal menciptakan masa depan.
Fazlur Rahman melangkah lebih jauh dengan menyatakan
bahwa Al-Qur’an bukan kumpulan jawaban siap pakai, melainkan sumber nilai moral
yang menuntut kreativitas historis. Tanpa keberanian memproduksi yang baru,
teks suci akan berubah menjadi dokumen beku—suci tetapi tidak lagi berbicara kepada
zaman.
Sementara Wael Hallaq mengingatkan bahwa ilmu modern
yang hegemonik hari ini kehilangan fondasi etikanya. Di sinilah Islam
seharusnya tampil bukan sebagai peniru, tetapi sebagai arsitek epistemologi
alternatif—namun itu hanya mungkin jika tradisi dibangun ulang, bukan sekadar
dijaga.
Jargon إعادةُ بناءِ القديمِ الصالح، وإنتاجُ
الجديدِ الأَصلح bukan sekadar permainan kata. Ia adalah pernyataan sikap revolusioner: Membangun
ulang berarti berani membongkar struktur lama, memilah nilai dari beban
sejarah. Memproduksi yang baru berarti menempatkan umat sebagai subjek
pencipta, bukan pengulang yang pasif. Ini adalah seruan untuk mengubah fiqh
menjadi etika publik, turāth menjadi epistemologi produktif, pendidikan
menjadi laboratorium masa depan.
Menjaga memang perlu. Tetapi menjaga saja adalah
bentuk lain dari menyerah. Peradaban menuntut lebih: ia menuntut keberanian
untuk membangun ulang dan melahirkan yang baru. Tradisi yang tidak kita bangun
ulang akan membangun penjara bagi kita. Dan masa depan hanya akan lahir dari
mereka yang berani mencipta. Kita harus berani mencipta lebih dari sekedar
menjaga.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar