![]() |
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Ibarat lilin
yang menyinari gelapnya malam. Meski sinarnya tak bisa menerangi seluruh lorong
kosong, tapi cahayanya mampu memberi arah bagi mereka yang mau pulang ke jalan
yang terang.
Gagasan
Pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) seperti lilin. Terangnya baru
menyusup ke sebagian kecil alam pikir manusia Indonesia. Dan di sebagian yang
lain, gelap itu masih begitu pekat menyelimuti, terhalang dogmatisme agama yang
mengangkangi nalar kritis kita.
Memang,
tidak semua orang bisa mengikuti setiap seruan yang datang. Bahkan bila seruan
itu diarahkan pada jalan kebenaran sekali pun, tetap saja akan masih ada yang
menolaknya, bahkan mencibirnya sebagai yang aneh dan nyeleneh.
Namun
demikian, sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menyalakan cahaya di
tengah pekatnya malam. Cak Nur adalah penyalur nyala itu, penggerak ruh
pembaruan, dan pengingat bahwa agama bukanlah bekuan dogma yang membatu,
melainkan mata air yang senantiasa mengalir, menyuburkan tanah kehidupan.
Cak Nur
mengingatkan umat bahwa ungkapan “Islam yes, partai Islam no” bukanlah
sekadar jargon politik, melainkan sebuah kesadaran historis dan spiritual yang sejati.
Ia ingin menegaskan bahwa Islam terlalu agung untuk dikecilkan dalam kotak
sempit partai atau kendaraan politik praktis. Bagi Cak Nur, Islam adalah sumber
nilai, inspirasi moral, dan energi transendental yang harus menjiwai seluruh
denyut kehidupan bangsa.
Slogan itu
lahir bukan untuk menolak peran Islam dalam ruang publik, melainkan untuk
mengangkat martabat agama agar tidak jatuh menjadi alat rebutan kekuasaan yang
fana. Dengan begitu, Islam tetap hadir sebagai cahaya yang memandu, bukan
sebagai bendera yang diperebutkan; sebagai rumah bersama, bukan sekadar markas
bagi segelintir orang yang haus kuasa.
Konon, Azyumardi
Azra pernah menyebut Cak Nur sebagai “anak zaman” yang paling berhasil
menangkap denyut modernitas tanpa kehilangan akar tradisi. Pembaruan yang
ditawarkan Cak Nur bukanlah pemutusan tali sejarah, melainkan upaya menyalakan
kembali suluh peradaban Islam yang pernah begitu gemilang.
Cak Nur
adalah jembatan yang kokoh sekaligus lentur, yang menghubungkan Islam Indonesia
dengan percakapan intelektual global. Dari riak pemikiran di kampung-kampung
pesantren hingga pusaran wacana akademik dunia, ia hadir sebagai penghubung
yang membuat Islam Nusantara tidak terjebak dalam lingkaran sempit lokalitas,
tetapi juga tidak kehilangan akarnya yang membumi.
Ia mampu mengaitkan
Timur Tengah dengan Indonesia, menghidupkan kembali warisan klasik sembari
membuka pintu lebar terhadap tantangan modernitas. Ia menjadikan Al-Ghazali,
Ibnu Khaldun, dan al-Farabi akrab dalam ruang pikir mahasiswa Indonesia, tetapi
pada saat yang sama memperkenalkan suara nyaring John Locke, Kant, atau Harvey
Cox ke dalam percakapan keislaman di tanah air.
Cak Nur
telah meninggalkan kita sejak 2005. Namun nyala lilinnya masih ada, menyala di
ruang-ruang akademik, dalam percakapan publik, dan di hati mereka yang
merindukan Islam yang sejuk dan mencerahkan. Tugas kita bukanlah mengkultuskan
Cak Nur, tetapi meneruskan semangatnya, menghidupkan kembali
gagasan-gagasannya, dan menyalakan api baru di tengah generasi yang haus arah.
Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa setiap generasi memikul tugas untuk menjadi “penjaga api”. Bukan sekadar menyalin gagasan Cak Nur, melainkan merawat ruh pembaruan itu, menyesuaikannya dengan tantangan zaman. Karena, sebagaimana dikatakan Greg Barton, “modernisasi Islam ala Nurcholish Madjid adalah proyek yang belum selesai.” Ia adalah jalan panjang yang memerlukan keberanian, ketekunan, dan kejernihan visi.
Seperti lilin yang terus berpindah tangan, cahaya itu tak boleh padam. Ia harus dirawat, dijaga, dan diperbanyak. Sebab hanya dengan cara itulah, pembaruan pasca-Cak Nur akan terus hidup, tidak redup, bahkan semakin terang menyinari masa depan bangsa ini.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar