Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Rabu, 10 September 2025

Cak Nur: Lilin Pembaruan dalam Gelapnya Zaman


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Ibarat lilin yang menyinari gelapnya malam. Meski sinarnya tak bisa menerangi seluruh lorong kosong, tapi cahayanya mampu memberi arah bagi mereka yang mau pulang ke jalan yang terang.

 

Gagasan Pembaruan Islam Nurcholish Madjid (Cak Nur) seperti lilin. Terangnya baru menyusup ke sebagian kecil alam pikir manusia Indonesia. Dan di sebagian yang lain, gelap itu masih begitu pekat menyelimuti, terhalang dogmatisme agama yang mengangkangi nalar kritis kita.

 

Memang, tidak semua orang bisa mengikuti setiap seruan yang datang. Bahkan bila seruan itu diarahkan pada jalan kebenaran sekali pun, tetap saja akan masih ada yang menolaknya, bahkan mencibirnya sebagai yang aneh dan nyeleneh.

 

Namun demikian, sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menyalakan cahaya di tengah pekatnya malam. Cak Nur adalah penyalur nyala itu, penggerak ruh pembaruan, dan pengingat bahwa agama bukanlah bekuan dogma yang membatu, melainkan mata air yang senantiasa mengalir, menyuburkan tanah kehidupan.

 

Cak Nur mengingatkan umat bahwa ungkapan “Islam yes, partai Islam no” bukanlah sekadar jargon politik, melainkan sebuah kesadaran historis dan spiritual yang sejati. Ia ingin menegaskan bahwa Islam terlalu agung untuk dikecilkan dalam kotak sempit partai atau kendaraan politik praktis. Bagi Cak Nur, Islam adalah sumber nilai, inspirasi moral, dan energi transendental yang harus menjiwai seluruh denyut kehidupan bangsa.

 

Slogan itu lahir bukan untuk menolak peran Islam dalam ruang publik, melainkan untuk mengangkat martabat agama agar tidak jatuh menjadi alat rebutan kekuasaan yang fana. Dengan begitu, Islam tetap hadir sebagai cahaya yang memandu, bukan sebagai bendera yang diperebutkan; sebagai rumah bersama, bukan sekadar markas bagi segelintir orang yang haus kuasa.

 

Konon, Azyumardi Azra pernah menyebut Cak Nur sebagai “anak zaman” yang paling berhasil menangkap denyut modernitas tanpa kehilangan akar tradisi. Pembaruan yang ditawarkan Cak Nur bukanlah pemutusan tali sejarah, melainkan upaya menyalakan kembali suluh peradaban Islam yang pernah begitu gemilang.

 

Cak Nur adalah jembatan yang kokoh sekaligus lentur, yang menghubungkan Islam Indonesia dengan percakapan intelektual global. Dari riak pemikiran di kampung-kampung pesantren hingga pusaran wacana akademik dunia, ia hadir sebagai penghubung yang membuat Islam Nusantara tidak terjebak dalam lingkaran sempit lokalitas, tetapi juga tidak kehilangan akarnya yang membumi.

 

Ia mampu mengaitkan Timur Tengah dengan Indonesia, menghidupkan kembali warisan klasik sembari membuka pintu lebar terhadap tantangan modernitas. Ia menjadikan Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan al-Farabi akrab dalam ruang pikir mahasiswa Indonesia, tetapi pada saat yang sama memperkenalkan suara nyaring John Locke, Kant, atau Harvey Cox ke dalam percakapan keislaman di tanah air.

 

Cak Nur telah meninggalkan kita sejak 2005. Namun nyala lilinnya masih ada, menyala di ruang-ruang akademik, dalam percakapan publik, dan di hati mereka yang merindukan Islam yang sejuk dan mencerahkan. Tugas kita bukanlah mengkultuskan Cak Nur, tetapi meneruskan semangatnya, menghidupkan kembali gagasan-gagasannya, dan menyalakan api baru di tengah generasi yang haus arah.

 

Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa setiap generasi memikul tugas untuk menjadi “penjaga api”. Bukan sekadar menyalin gagasan Cak Nur, melainkan merawat ruh pembaruan itu, menyesuaikannya dengan tantangan zaman. Karena, sebagaimana dikatakan Greg Barton, “modernisasi Islam ala Nurcholish Madjid adalah proyek yang belum selesai.” Ia adalah jalan panjang yang memerlukan keberanian, ketekunan, dan kejernihan visi.


Seperti lilin yang terus berpindah tangan, cahaya itu tak boleh padam. Ia harus dirawat, dijaga, dan diperbanyak. Sebab hanya dengan cara itulah, pembaruan pasca-Cak Nur akan terus hidup, tidak redup, bahkan semakin terang menyinari masa depan bangsa ini. 

Tidak ada komentar: