Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 27 Januari 2008

Pengontekstualan Pesan Agama
Dimuat di Media Indonesia

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Peneliti pada Pusat Studi Islam dan kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Agama adalah seperangkat nilai yang mengatur kehidupan manusia secara individu dan sosial. Dengan demikian, menurut hemat penulis, hal tersebut dengan sendirinya akan menghasilkan dimensi-dimensi keagamaan dalam kehidupan manusia yang dapat ditampakkan dalam berbagai aspek kehidupan, baik berbangsa, bernegara, maupun bermasyarakat.

Dalam pemahaman umat beragama, setiap fenomena sosial dan individual bisa dilacak akar permasalahannya dari sisi agama. Sehingga, pertanyaan yang muncul kemudian ialah sejauh mana peran agama dalam mengatur kehidupan bangsa kita ini, kini, esok, dan masa yang akan datang?

Bila diyakini bersama bahwa agama telah menjadi sumber pandangan hidup bagi para pemeluknya, lalu mengapa fenomena sosial dan individual yang dijumpai pada saat ini tidak mencerminkan religiusitasnya sebagai orang yang taat terhadap agama? Fenomena kekerasan, budaya korupsi, kesewenang-wenangan, penindasan, ketidakadilan, pengonsumsian obat-obat terlarang, dan lain sebagainya kerap kita jumpai dalam keseharian bangsa kita. Kesemuanya masih mencerminkan perilaku tidak beradab dan tidak memiliki religiusitas sama sekali. Watak retak lebih ditampakkan daripada watak ramah dan toleran.

Atau memang pada kenyataannya, fenomena sosial dan individual seperti itu merupakan cermin dari religiusitas masyarakat kita saat ini. Jika demikian kenyataannya, titik persoalannya ialah pada konstruksi religiusitas, yaitu pada interpretasi agama bukan pada agama itu sendiri. Said al-Asymawi dalam Jauhar al-Islam membedakan antara agama dan pemahaman keagamaan atau dalam perspektif Muhammad Iqbal al-Baqa dan al-Fana.

Agama pada dirinya tetap dan abadi tidak ada yang berubah. Tidak seperti pemahaman keagamaan kita yang selalu mengalami perubahan dan pergeseran makna sesuai dengan perkembangan zaman pada konteksnya. Sehingga, sebuah interpretasi terhadap nilai dan ajaran agama dengan sendirinya akan berpengaruh besar kepada perilaku dan posisi umat beragama dalam kehidupan sosialnya kini, esok, dan masa yang akan datang.

Ketidakadilan, penindasan, dan kesewenang-wenangan merupakan sejumlah masalah yang muncul sebagai akibat dari perkembangan masyarakat modern yang tidak diimbangi dengan kesanggupan agama untuk menyelesaikannya dengan baik dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Ketidaksanggupan itu berpangkal dari cara pandang kita yang masih didominasi pemikiran Islam formal yang menitikberatkan pada ibadah vertikal belaka (teosentris), hubungan manusia dan Tuhannya saja. Dan mengabaikan ibadah horizontal, yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan manusia lainnya. Lalu apa yang harus kita lakukan?

Reinterpretasi
Kondisi tersebut tentunya tidak mungkin terus dibiarkan berlarut-larut karena hal itu akan mengakibatkan kerugian bagi manusia dan kemanusiaannya, baik dalam agama maupun budaya. Tanpa adanya upaya penyegaran kembali paham keagamaan, agama akan semakin mengasingkan manusia dari kenyataan hidupnya. Jika agama sudah terasing dan tidak berakar pada kenyataan yang tengah dihadapi, lalu apa makna agama sebagai pesan Tuhan yang mewartakan perubahan sebagaimana yang telah dilakukan para nabi? Lalu di mana peran manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi?

Jika kondisi tersebut dibiarkan dan diabaikan, agama juga akan mengalami stagnasi dan masa krisis. Sehingga, yang terjadi adalah agama tidak lagi berfungsi sebagai emansipasi kemanusiaan yang emansipatoris, tetapi sebagai kekuatan tertentu yang tidak berdasarkan pada rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, agama tidak bergerak pada aspek kemanusiaan yang lebih tinggi, tetapi melorot melayani hasrat kemanusiaan yang paling primitif dan biadab.

Maka, titik temu atas masalah tersebut harus dicari dan dielaborasi. Pencarian dan elaborasi hanya mungkin dilakukan jika agama 'dibaca' dan 'dipahami' dengan memberi ruang akomodasi dan rekonsiliasi dengan perkembangan masyarakat sesuai dengan hajat hidup orang banyak. Dalam kaidah fikih disebutkan 'Al-Hukmu Yaduru ma'a 'ilatihi Wujudan wa 'Adaman' dan 'Tagayyur al-hukmi bi tagayyur al-amkani wa al-azminati'.

Bahwa hukum atau pemahaman keagamaan akan berubah sesuai dengan kondisi zamannya, karena hukum muncul dari realitas yang ada. Artinya, agama akan memiliki peran yang baik di tengah kondisi zaman yang terus berubah-ubah, jika interpretasi terhadap teks-teks keagamaan dimungkinkan untuk merengkuh pemahaman yang segar dan menzaman.

Di atas itu semua, bahwa kita harus memosisikan agama sebagai seperangkat nilai yang merupakan prinsip dan sumber inspirasi masyarakat, bukan memenjarakan mereka ke dalam jurang kekakuan dan mendekap mereka ke dalam keterasingan. Sebagai tata nilai yang menyeluruh, agama tidak hanya dipahami sebagai doktrin mati, tetapi juga sebagai prinsip-prinsip yang bisa dibaca dan dilaksanakan secara kontekstual. Karena itu, menurut Abou Fadhl, kita harus membedakan antara urusan ibadah yang bersifat tetap dalam agama, dan urusan kemasyarakatan yang dinamis.

Jadi, sepanjang menyangkut masalah ibadah, ketentuan-ketentuan dalam agama bersifat tetap dan baku. Kalaupun ada perbedaan, merupakan perbedaan dalam hal yang bersifat teknis dan detail. Sedangkan dalam hal selain ibadah, yaitu hubungan manusia dengan manusia dan alam yang biasa juga disebut dengan urusan muamalah, bersifat sangat dinamis bergantung pada perkembangan masyarakat. Namun demikian, karena agama adalah tata nilai yang menjadi pedoman hidup manusia, sehingga perkembangan muamalah pun harus berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan. Pendasaran pada nilai-nilai itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis. Nilai-nilai keagamaan bisa berkembang dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi.

Sekali lagi, proses reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan adalah sebuah keniscayaan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental sebagai ciri dari agama itu sendiri. Ali Harb dalam Naqd an-Nash menegaskan bahwa teks bukan 'subjek' yang mati, tetapi dinamis dan dapat diinterpretasikan terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang konstan. Tanpa reinterpretasi, agama akan mengalami pembusukan dari dalam dan dengan sendirinya akan terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman, baik positif maupun negatif. Kita tidak menginginkan agama kita memasung umatnya sendiri.

Oleh karenanya, dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan, baik Alquran maupun Al-Hadits yang paling penting untuk dilakukan adalah bagaimana menangkap pesan teks tersebut dalam makna etika, bukan sebagai ideologi yang dapat dipolitisasi dan dimanipulasi demi kepentingan kelompok atau individu. Teks harus dibebaskan dari macam-macam kepentingan. Ia tidak boleh memihak dan memilih identitas tertentu.

Sisi transendental (ilahiyat) adalah ciri utama dari pola pikir agama. Bahwa segala pemikiran dan tindakan harus berorientasi kepada Tuhan sebagai wujud kesalehan seseorang. Namun demikian, Hassan Hanafi dalam Min al-Aqidah ila Tsaurah menegaskan bahwa penafsiran yang bersifat teosentris harus dihindari dan dijauhi. Karena penafsiran semacam itu hanya berorientasi kepada hal-hal yang bersifat ke-Tuhan-an tanpa memperhatikan aspek sosial. Penafsiran yang melulu teosentris sering mengorbankan manfaat kemanusiaan dan melupakan bahwa sesungguhnya agama itu diturunkan adalah untuk manusia, karena Tuhan sebetulnya tidak membutuhkan apa-apa dari manusia. Lebih parah lagi teosentris mutlak bisa menjebak penganutnya pada pemikiran dan sikap yang mengatasnamakan Tuhan, seperti peperangan dan kekerasan atas nama Tuhan yang dari dulu hingga kini banyak terjadi.

Artinya, penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan harus memerhatikan kepentingan kemanusiaan (anthroposentris). Bahwa sesungguhnya agama diturunkan sebagai rahmat bagi alam, termasuk manusia yang juga dibebani tugas sebagai pemimpin alam. Agama harus berguna bagi kehidupan manusia dan perkembangan sosial sesuai dengan realitas yang dihadapi. Pendekatan antroposentris juga merupakan legitimasi religius terhadap nilai-nilai hak asasi manusia. Pengakuan hak asasi manusia dalam konsep beragama akan memperkuat semangat inklusivitas dan toleransi antarumat beragama serta penolakan cara-cara kekerasan dalam beragama.

Akhirnya, semua kembali kepada manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna dan mulia untuk mengemban kewajibannya sebagai wakil Tuhan yang dengan sendirinya telah dibekali nilai-nilai ke-Tuhan-an (ilahiyah) dan kemanusiaan (insaniyah) dalam ajaran agama-agama. Karenanya, manusia yang hidup dalam masanya, harus bisa memahami dan kemudian mewartakan kejadian dan masalah yang menghadang kemanusiaan pada masa itu serta bagaimana menyelesaikannya. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan reinterpretasi demi terwujudnya penyegaran pemahaman keagamaan kita.

Tidak ada komentar: