Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 11 September 2023

Yang Terbuang Akibat Perang


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam perang yang terlanjur digelar, tak ada yang dimenangkan, tak ada yang dikalahkan. Bahkan ketika perang itu dirancang, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya telah menjadi budak nafsu yang beringas: tanpa empati, tanpa nurani.

 

Bagi yang kalah, tak ada yang tersisa selain kengerian yang mencekam, membayang bersama reruntuhan gedung dan bangunan. Sementara yang menang menyumbang kekacauan di dunia dan di hati mereka yang dikalahkan.

 

Begitulah derita manusia bila negaranya dirundung kecamuk perang; negerinya hancur, masa depan anak-anaknya dipertaruhkan untuk ego orang-orang dewasa. Perang tak melahirkan apa-apa, kecuali penderitaan, kecemasan, dan ketakutan yang membatin. 

 

Beberapa waktu lalu, saya menonton film Ode To My Father. Film ini menceritakan tentang perjuangan orang-orang yang ingin menyambung hidup akibat perang, tentang orang-orang mencari sanak saudara yang hilang terpisah oleh keganasan perang.

 

Perang tak memiliki mata. Siapa saja bisa menjadi korban; tua, remaja, bahkan balita. Perang tak memiliki nurani. Siapa saja bisa terusir dan terbuang. Dan inilah kisah tentang seorang penyair Mourid Barghouti yang terbuang jauh dari negerinya sendiri.

 

I Saw Ramallah (Akhirnya Kuklihat Ramallah) adalah sebuah memoar tentang orang yang terbuang akibat kecamuk perang. Novel yang ditulis Mourid Barghouti ini dipuji oleh Edward Said sebagai salah satu kisah eksistensial terbaik tentang pengungsian warga Palestina.

 

Inilah memoar yang didasarkan pada kepulangan penulisnya ke Ramallah untuk pertama kalinya pada tahun 1990-an setelah lebih dari tiga dekade berada di pengasingan. Kisah tentang perjalanan kembali pulang untuk melihat tanah kelahirannya.

 

Dalam novelnya ini, Mourid Barghouti menceritakan kondisi Palestina yang tertindas akibat pendudukan Israel. Begitu banyak warga Palestina merasakan kesengsaraan, terjajah, bahkan terpisah dari keluarga.

 

Sebagai novel yang mengisahkan perjalanan hidup penulisnya, yakni Mourid Barghouti sendiri, setiap kisah yang dia ceritakan begitu hidup namun pedih dan menyayat hati. Bagaimana misalnya Mourid Barghouti menggambarkan penderitaan orang-orang Palestina karena terpisah dari keluarganya, kehilangan rumah, harta, saudara, bahkan nyawa.

 

Mourid Barghouti memotret Palestina melalui pengalaman pribadinya, melalui pandangannya, melalui apa yang dia rasakan. Ia berusaha membuka mata dunia bahwa perang tidak menghasilkan apapun, melainkan penderitaan yang tak berkesudahan.

 

Menjadi orang yang terbuang dari negerinya sendiri cukup menyakitkan. Dan barangkali pengalaman Mourid Barghouti bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa perang hanya membuat kerusakan dan penderitaan. Bahwa hidup terpisah dari tanah tumpah darah sendiri begitu sulit dan menjadi pengalaman eksistensial yang menyakitkan.

 

Tidak ada komentar: