Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Sabtu, 16 September 2023

Muhammad Abid Al Jabiri

Oleh Mohamad Asrori Mulky

Proyek kebangkitan Islam yang digagas para pembaharu generasi awal seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad 'Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Muhamma 'Ali Jinah, Muhammad 'Ali Pasha, dll, dianggap belum mengangkat martabat umat Islam. Islam masih terpuruk. Belum mampu keluar dari problem laten yang dihadapinya.

Keadaan umat Islam dulu dan kini masih diselimuti awan mendung. Begitu banyak kejadian, begitu banyak persoalan yang membebani pundak umat; sengkarut politik di negara-negara Islam masih kusut, perang saudara yang tak kunjung usai, fanatisme agama, korupsi yang terus bertambah, wajah pendidikan yang muram, distribusi keadilan yang belum merata, kebodohan, dan kemiskinan yang terus bertumbuh.

Belum lagi cara berpikir umat yang dogmatis, beku, dan anti-kritisisme. Semua itu menambah ‘pekerjaan rumah’ yang kian menumpuk dan harus dicarikan solusinya. Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Minds, mengajak umat Islam keluar dari keterbelakangan dan kebekuan berpikir dengan cara kembali kepada nalar kritis sembari membuka ruang kebebasan dan toleransi dalam keragaman.

Kesadaran ilmiah, berpikir kritis dan sikap inklusif terhadap keragaman, menurut Akyol, sudah lama hilang dari umat Islam. Dan itu bermula ketika teologi Asy’ariyah di hampir seluruh negara-negara Islam di dunia mendominasi dan dijadikan rujukan. Padahal teologi populer ini kurang menempatkan akal pada posisi yang terhormat. Akal masih dicurigai. Dan perannya dipinggirkan.

Maka, tidaklah heran bila para pembaharu generasi kedua seperti Mohamad Arkoun, Hassan Hanafi, ‘Ali Harb, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Zaki Najib Mahmud, Thayyib Tizini, ‘Ali Ahmad Said (Adonis), dan Muhammad ‘Abid Al Jabiri, lebih banyak mengarahkan proyek kebangkitan Islam pada kritik nalar. Kebudayaan Islam, demikian kata Nasr Hamid Abu Zayd, adalah kebudayaan teks. Islam akan menjadi teks yang mati bila akal dibiarkan tidak terlibat dalam memahami sebuah teks.

Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengulas pemikiran semua tokoh yang terlibat dalam proyek kebangkitan Islam generasi kedua. Ulasan singkat ini difokuskan membahas Muhammad ‘Abid Al Jabiri dan kritiknya terhadap epistemologi masyarakat Arab yang cenderung retoris (bayani) dan mistis (irfani).

Dalam proyek intelektualnya itu, Al Jabiri menawarkan sebuah pandangan kritis dengan menempatkan nalar demostratif (burhani), yang menurut Ibn Rusyd, kedudukannya lebih tinggi ketimbang dua nalar lainnya: bayani dan irfani. Al Jabiri menyadari kecenderungan nalar Arab yang berorientasi pada nalar bayani dan irfani itu perlu didekonstruksi dan memberikan tempat yang memadai untuk nalar burhani.

Dalam dunia pemikiran siapa yang tak mengenal Muhammad ‘Abid Al Jabiri. Dia adalah penulis prolifik asal Maroko. Ide pembaruannya banyak dirujuk anak-anak muda progresif di banyak belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dia merupakan seorang muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Di kalangan pemikir Arab, Al Jabiri memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide brilian dan mengagumkan.

Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936. Perhatiannya pada pemikiran Ibn Khaldun begitu intens dan mendalam. Gelar masternya diraih setelah menulis Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Falsafah al Tarikh ‘inda Ibn Khaldun. Sementara gelar doktornya juga menulis tokoh yang sama, yakni Fikr Ibn Khaldun: Al ‘Asyabiyyah wa al Dawlah, Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami.

Karir inteletualnya dimulai dengan menerbitkan buku Nahnu wa al Turâts pada tahun 1980. Disusul dua tahun kemudian dengan al Khitâb al ‘Arabi al Mu’âsir: Dirâsât Naqdiyyah Tahlîliyyah. Kedua buku tersebut sepertinya sengaja dipersiapkan Al Jabiri sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand projek intelektualnya, Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (Kritik Nalar Arab). Inilah nanti di kemudian hari yang membedakan dirinya dengan Mohamad Arkoun (Naqd al ‘Aql al Islâmi).

Projek ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk projek pemikiran ini Al Jabiri telah menerbitkan Takwin al ‘Aql al ‘Arabi, Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi, al ‘Aql al Siyâsi al ‘Arabi, dan al ‘Aql al Akhlâq al ‘Arabiyyah: Dirasâh Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al Qiyâm fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah.

Kritik atas Proyek Kebangkitan Islam

Melihat keadaan umat Islam yang masih terpuruk dan tertinggal, beku dan jumud dalam berpikir, Al Jabiri punya ambisi membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Sebuah epistemologi yang bisa mendukung kerja-kerja ilmiah, berpikir kritis dan anti dogmatisme. Sejauh ini, Al Jabiri memang tidak puas dengan proyek kebangkitan Islam yang telah dan sedang dilakukan para intelektual muslim.

Al Jabiri misalnya mengkritik usaha pembaruan yang telah dilakukan Muhammad Abduh. Bagi Al Jabiri, gerakan pembaruan Abduh masih jauh dari apa yang diharapkan. Al Jabiri mengakui keberhasilan Abduh dalam mengubah cara berpikir masyarakat muslim yang sebelumnya sangat kaku dalam melakukan inovasi-inovasi pemikiran dalam menjawab tantangan zamanya.

Abduh juga berhasil dalam memerangi khurafat dan taqlid serta mengembalikan prinsip ijtihad dalam kerangka pembaruan Islam. Namun demikian Jabiri menilai, pemikiran Abduh masih berkutat dalam paradigma lama. Konsep akal yang diagungkan Abduh dalam proyek pembaruannya masih berpusat pada konsep akal abad pertengahan, yaitu akal yang berputar-putar dalam tataran teosentris.

Semestinya akal manusia Arab kontemporer, meminjam pemikiran Hassan Hanafi, harus berpijak pada akal antroposentris. Yaitu akal yang berpusat pada manusia. Seluruh daya dan kemampuan akal harus diarahkan pada kebutuhan, kepentingan, dan kebaikan hidup manusia di dunia. Dan seluruh penjelasan Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya, saya kira, sejalan dengan apa yang diteorisasikan oleh Hassan Hanafi.

Kritik Nalar Arab Al Jabiri dengan tegas menyasar nalar Salafi. Dia mengkritik gerakan salafi, karena dalam penilaiannya kelompok ini tidak historis (la tarikhiyyah) dalam membaca turats atau tradisi. Hal demikian bisa diperhatikan dalam karyanya, Nahnu wa al Turats. Mereka kalangan Salafi, kata Al Jabiri, terlalu mengagungkan pencapaian masa silam Islam sehingga cenderung mengabaikan realitas empiris yang tengh dihadapi umat. Cara berpikir ahistoris seperti ini, justru akan makin menghambat Islam untuk maju dan perkembang.

Dalam urusan politik, kelompok Salafi ini mengidealkan sistem khilafah yang sebetulnya tidak lagi relevan diterapkan dalam konsep negara bangsa (nation state). Cita-cita mendirikan negara khilafah itu sangat utopis. Tidak masuk akal. Apalagi rujukannya realitas masa lalu Islam yang keadaannya jauh berbeda dengan problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini.

Di Indonesia sendiri, dan beberapa negara Islam di Timur Tengah, tidak menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Bukan karena sistem itu tidak lagi relevan. Tapi juga akan mendatangkan kesulitan bagi umat Islam, terutama soal penentuan kepemimpinan tunggal yang akan memimpin umat Islam dunia.

Cara berpikir ahistoris kelompok Salafi ini juga bisa kita lihat dalam menyikapi teks-teks keagamaan yang terlalu literal. Sementara untuk memahami sebuah teks tidak boleh meminggirkan sisi lain dari teks itu sendiri, yaitu konteksnya. Setiap teks pasti ada konteksnya. Melepaskan konteks dari teksnya secara sepihak akan mengaburkan makna dan signifikansinya secara sekaligus. Inilah yang tidak dikehendaki oleh Al Jabiri.

Al Jabiri juga tidak ragu mengkritik model pembaruan kelompok liberal yang secara membabibuta mengadopsi peradaban Barat untuk membangun peradaban umat ini. Kelompok liberal ini sangat terpukau dengan capaian peradaban Barat hingga mereka lupa jati diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin, kata Al Jabiri, kita dapat mencangkok seluruh elemen yang datang dari Barat, sementara setting sejarah kedua komunitas ini sangat jauh berbeda. Apa yang baik dan cocok bagi Barat belum tentu revelan diterapkan di dunia Arab.

Kelompok liberal selalu berdalih bahwa keberhasilan Barat melakukan modernisasinya setelah berhasil melakukan pemutusan hubungan dengan masa pra-modern mereka sendiri. Andaikan pola pemutusan ini dilakukan oleh masyarakat Arab-Islam, kata Al Jabiri, maka yang menjadi pertanyaannya adalah periode sejarah mana yang harus diputuskan bangsa Arab sehingga mereka bisa maju seperti Barat. Padahal masa silam mereka tidak sama seperti sejarah masa lalu Barat, dan problem yang dihadapi bangsa Arab tidak sama dengan bangsa Eropa. Oleh sebab itu menurut Al Jabiri, tidak mungkin mengadopsi seluruh budaya Barat hanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Arab.

Kritik atas Kritik

Menurut Al Jabiri, problem yang dihadapi bangsa Arab adalah salah satunya problem epistemologi. Untuk bisa keluar dari epistemologi bayani dan irfani yang kini mendominasi dan membatasi kreativitas akal, diperlukan epistemologi burhani yang kritis dan rasional. Model epistemologi burhani sebetulnya pernah dikembangkan dengan baik oleh Umat Islam terdahulu, terutama masyarakat Islam di Cordoba (Spanyol).

Adapun masyarakat Arab Islam yang hidup di bagian Timur, menurut Al Jabiri, lebih berpikir retoris (bayani) dan mistik (irfani). Demarkasi semacam ini sengaja dibuat Al Jabiri untuk memetakan model epistemologi yang cocok diterapkan bagi masyarakat Arab Islam saat ini. Al Jabiri mengelompokkan Ibn Sina, Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali, kedalam pemikiran filsafat Arab Islam bagian Timur. Sementara Ibn Rusyd, Ibn Thufayl, dan Ibn Khaldun masuk kedalam filosof rasional dari bagian Barat (Cordoba) yang dijadikan percontohan.

Secara tegas Al Jabiri mengklasifikasi pemikiran Arab Timur dalam kategori irrational (alla-ma’qul al dini), dan Arab Barat dalam kategori al ma’qul al dini. Al Jabiri menegaskan, untuk melihat pemikiran Islam berkembang dan maju seperti yang dicita-citakan, umat Islam, kata dia,  perlu melakukan apa yang disebut dengan al qati’ah al ibistimulujiyyah (epistemic rupture). Sebab keberhasilan Barat, kata Al Jabiri, dalam membangun pemikirannya dan mencapai kemajuannya disebabkan oleh keberhasilannya melakukan epistemic rupture ini.

Meski demikian, seluruh gagasan brilian dengan segala kritiknya terhadap kebudayaan Arab Islam, tidak lepas dari kritik. Tidak sedikit buku dan artikel dari kalangan kritikus dan intelektual yang secara tajam mengkritisi pemikiran Al Jabiri, terutama kajian epistemologinya sebagaimana disebutkan di atas. Di antara kritikus tajam yang mengkritik Al Jabiri adalah George Tarabisi dalam Nazariyyah al ‘Aql dan Wihdah al ‘Aql al ‘Arabi al Islami. Kedua buku tersebut merupakan rangkaian dari projek Tarabisi dalam Naqd Naqd al ‘Aql al ‘Arabi.

Dalam kritiknya, George Tarabisi menyebut kalau Al Jabiri bukanlah orang pertama pengusung proyek Kritik Akal Arab. George Tarabisi kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud di majalah Ruz al Yusuf yang terbit pada tahun 1977 dengan judul al ‘Aql al ‘Arabi Yatadahwar. Dari kajian yang dilakukan George Tarabisi secara intens dan mendalam, sampai pada kesimpulan bahwa ide Al Jabiri tidak orosinil dan bahkan secara implisit dia menyebut Al Jabiri telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas sumber itu dari orang lain.

Selain George Tarabisi, adalah Ali Harb pemikir asal Lebanon yang juga melakukan kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Jabiri. Menurut penulis Naqd al Nash (Ali Harb) ini, kajian turats Al Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab Maghribi Centris, bahkan secara khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi menurut Ali Harb, Al Jabiri tidak lain adalah seorag ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam.

Kritik dalam dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab kritik itu, apapun bentuk dan wujudnya, selama masih dalam batasan konstruktif, bisa menjadi energi dan semangat ilmiah untuk terus dikembangkan. Karena itu, segala kritik ilmiah yang dialamatkan kepada Al Jabiri akan ‘menyehatkan’ masa peradaban Arab Islam di kemudian hari. Wallahu’alambisshawab.

Tidak ada komentar: