Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 03 Januari 2025

Kebenaran Berwajah Plural


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam beberapa abad yang silam penyair mistik terbesar sepanjang zaman, Maulana Rumi atau Jalaluddin Rumi, mengurai pokok-pokok pemikirannya dalam Divan-e Kebir, yang kemudian sering dikenal dengan The Great Divan of Rumi.


Dalam buku itu, di antara tema yang dibahas Rumi adalah mengenai kebenaran yang dipersepsi oleh setiap orang; kebenaran yang tak satu orang pun bisa menggapainya walau sekejap mata. Apalagi memperolehnya secara sempurna dan sepanjang masa.


“Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan terpecah berkeping-keping. Tiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh.” Demikian Rumi mengibaratkan kebenaran laksana cermin yang jatuh terserak menjadi kepingan dan potongan-potongan kecil.


Manusia dan para pencari (kebenaran) hanya mampu memungut potongan kecil dari cermin kebenaran itu. Lalu kemudian, masing-masing akan memantulkan kebenaran dari cermin yang diperolehnya. Tentu saja sesuai kadar dan kapasitasnya.


Dalam wacana Filsafat Ilmu, kebenaran tidak tunggal. Justru beragam dan berwajah plural. Hal itu terjadi karena makna kebenaran didekati dari pelbagai perspektif dan sudut pandang yang berbeda.


Makna kebenaran bisa berkonotasi empiris ketika harus dijustifikasi dengan kenyataan aktual/faktual. Makna kebenaran bisa memiliki arti matematis dan logis, menyuguhkan wacana yang bersifat abstrak logis-matematis. Makna kebenaran juga bisa berarti pragmatis, ketika kita menuntut manfaat dan kegunaan praktis dalam kehidupan konkret sehari-hari.


Dalam perkembangannya, arti kebenaran pun tidak hanya berhenti di sana. Ada pula kebenaran performatif yang mengandung makna untuk melakukan sesuatu yang dititahkan oleh figur yang berwenang. Akhirnya, ada pula kebenaran konsensus yang berlaku dalam level kajian saintifik dan kebenaran konsensus dalam level diskursus sosial-politik.


Begitulah manusia. Kita hanya mampu menangkap sekeping kebenaran dari semesta kebenaran yang membentang di hadapan kita. Kita tidak pernah selesai dalam mencandra seluruh realitas yang hadir dalam kehidupan kita. Semua gagasan, wawasan, dan pengetahuan tentang seluruh fenomena kehidupan yang kita konstruksi merupakan konstruksi dari sudut pandang tertentu.


Lalu kita bertanya, adakah kebenaran objektif atau universal yang bisa diterima oleh semua orang?


Tentu saja kebenaran semacam itu ada. Namun ketika hal itu sudah bergumul dengan manusia yang terkurung dengan segala subjektivitasnya, maka makna kebenaran seperti yang dimaksud menjadi bersifat subjektif dan historis.


Apalagi kalau kita bicara makna kebenaran-kebenaran dalam wacana saintifik, kehidupan sosial, dan filsafat pengetahuan. Semuanya hanya mengkonstruksi sepotong makna kebenaran dalam konteksnya masing-masing untuk akhirnya saling bertegus sapa, saling mengkritik, saling mengisi, dan memperkaya makna kebenaran satu sama lain.

Tidak ada komentar: