Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 03 Maret 2025

Cak Nur: Menjernihkan Air yang Keruh


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ketika agama menjelma sungai yang keruh, tertimbun endapan kepentingan dan prasangka, maka diperlukan mata air pemikiran yang bening, yang mengalir tenang namun tak terbendung, meresap ke relung terdalam, dan mengembalikan kejernihan makna.

 

Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid (Cak Nur) tak pernah dimaksudkan memisahkan agama dan dunia secara mutlak seperti yang dituduhkan kebanyakan orang, apalagi mengasingkan iman dari kehidupan.

 

Sekularisasi adalah upaya menanggalkan kesakralan semu dari sesuatu yang sejatinya profan dan keruh (Cak Nur, 2005; Greg Barton, 1999). Sebab, tidak semua yang mengatasnamakan agama itu suci, dan tidak semua yang berembus dari dunia itu nista.

 

Ketika kekuasaan membungkus diri dengan jubah ketuhanan, dan kepentingan duniawi yang berselimutkan ayat-ayat suci, Cak Nur muncul ingin mengembalikan agama ke singgasananya yang luhur dan hakiki: sebagai petunjuk moral yang melampaui kepentingan duniawi, bukan alat legitimasi bagi kekuasaan manusia.

 

Meski aliran sungai pemikran Cak Nur mengalir begitu jernih, tetap saja ada jeram yang ditakuti, ada pusaran yang dianggap berbahaya. Gagasan sekularisasi Cak Nur tak diterima. Ia dihadang, dipersoalkan, dicerca oleh mereka yang menganggapnya sebagai perusak tradisi, sebagai penyulut api yang bisa membakar sendi-sendi keyakinan.

 

Sekularisasi dianggap momok yang menyeret Islam menuju lembah kehancuran. Padahal, Cak Nur hanya ingin membebaskan agama dari belenggu-belenggu yang justru mempersempit maknanya. Ia ingin Islam hadir sebagai cahaya yang tak tertutupi oleh bayang-bayang ambisi dunia, ingin menjauhkan Islam dari upaya politisasi dan kapitalisasi umat berwatak kotor.

 

Dalam pandangan Greg Barton, Cak Nur adalah pemikir besar yang mampu menjembatani dunia Islam dan modernitas, seorang yang berani melawan arus tanpa kehilangan akar spiritualnya. Bagi Barton, sekularisasi yang ditawarkan oleh Cak Nur bukanlah ateisme terselubung, melainkan bentuk tertinggi dari pemurnian iman (Greg Barton, 1999).

 

Karena itu, jargon Islam Yes, Partai Islam No, bukan ingin menceraikan Islam dari politik, tetapi ingin melepaskan agama dari eksploitasi kekuasaan dan kepentingan yang menjijikan. Islam tidak boleh menjadi topeng bagi kepentingan pragmatis. Islam harus tetap wening dan bening, tetap bercahaya, tetap menjadi rahmat bagi semesta.

 

Sekularisasi Cak Nur bukanlah penghapusan nilai-nilai Islam, melainkan penegasannya dalam ruang yang lebih jujur. Sebab, agama yang sejati tidak butuh tameng kekuasaan untuk tetap bercahaya. Iman yang murni tidak akan pernah takut pada dunia, karena ia tumbuh dari keyakinan yang tak tergoyahkan oleh waktu.

 

Untuk menjernihkan air sungai yang keruh, Cak Nur berani menantang badai tuduhan. Ia dituduh sebagai pembelot dan merapuhkan sendi-sendi iman. Tetapi, sebagaimana mata air yang jernih, Cak Nur tetap teguh pada suluh pikirannya. Ia percaya, Islam yang sejati bukanlah Islam yang membangun dinding pemisah antara dirinya dan dunia, melainkan Islam yang menjadi pelita bagi semua, dalam segala zaman dan segala peradaban.

 

Kini, jejaknya tetap hidup, meski ia telah lama berlalu. Kata-katanya masih bergema di antara lembar-lembar keilmuan, dalam perdebatan dan pencarian. Dan sungai yang ia alirkan, tak akan pernah kering. Ia akan terus mengalir, menjangkau mereka yang dahaga akan kebebasan berpikir, kejujuran beragama, dan kelapangan jiwa dalam memahami hakikat Islam yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar: