Oleh Mohamad Asrori Mulky
Ketika agama
menjelma sungai yang keruh, tertimbun endapan kepentingan dan prasangka, maka diperlukan
mata air pemikiran yang bening, yang mengalir tenang namun tak terbendung, meresap
ke relung terdalam, dan mengembalikan kejernihan makna.
Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid (Cak Nur) tak pernah
dimaksudkan memisahkan agama dan dunia secara mutlak seperti yang dituduhkan
kebanyakan orang, apalagi mengasingkan iman dari kehidupan.
Sekularisasi adalah upaya menanggalkan kesakralan semu dari sesuatu
yang sejatinya profan dan keruh (Cak Nur, 2005; Greg Barton, 1999). Sebab,
tidak semua yang mengatasnamakan agama itu suci, dan tidak semua yang berembus
dari dunia itu nista.
Ketika kekuasaan membungkus diri dengan jubah ketuhanan, dan kepentingan
duniawi yang berselimutkan ayat-ayat suci, Cak Nur muncul ingin mengembalikan
agama ke singgasananya yang luhur dan hakiki: sebagai petunjuk moral yang
melampaui kepentingan duniawi, bukan alat legitimasi bagi kekuasaan manusia.
Meski aliran sungai pemikran Cak Nur mengalir begitu jernih, tetap
saja ada jeram yang ditakuti, ada pusaran yang dianggap berbahaya. Gagasan
sekularisasi Cak Nur tak diterima. Ia dihadang, dipersoalkan, dicerca oleh mereka
yang menganggapnya sebagai perusak tradisi, sebagai penyulut api yang bisa
membakar sendi-sendi keyakinan.
Sekularisasi dianggap momok yang menyeret Islam menuju lembah
kehancuran. Padahal, Cak Nur hanya ingin membebaskan agama dari belenggu-belenggu
yang justru mempersempit maknanya. Ia ingin Islam hadir sebagai cahaya yang tak
tertutupi oleh bayang-bayang ambisi dunia, ingin menjauhkan Islam dari upaya politisasi
dan kapitalisasi umat berwatak kotor.
Dalam pandangan Greg Barton, Cak Nur adalah pemikir besar yang mampu
menjembatani dunia Islam dan modernitas, seorang yang berani melawan arus tanpa
kehilangan akar spiritualnya. Bagi Barton, sekularisasi yang ditawarkan oleh
Cak Nur bukanlah ateisme terselubung, melainkan bentuk tertinggi dari pemurnian
iman (Greg Barton, 1999).
Karena itu, jargon Islam Yes, Partai Islam No, bukan ingin
menceraikan Islam dari politik, tetapi ingin melepaskan agama dari eksploitasi
kekuasaan dan kepentingan yang menjijikan. Islam tidak boleh menjadi topeng
bagi kepentingan pragmatis. Islam harus tetap wening dan bening, tetap
bercahaya, tetap menjadi rahmat bagi semesta.
Sekularisasi Cak Nur bukanlah penghapusan nilai-nilai Islam, melainkan
penegasannya dalam ruang yang lebih jujur. Sebab, agama yang sejati tidak butuh
tameng kekuasaan untuk tetap bercahaya. Iman yang murni tidak akan pernah takut
pada dunia, karena ia tumbuh dari keyakinan yang tak tergoyahkan oleh waktu.
Untuk menjernihkan air sungai yang keruh, Cak Nur berani menantang badai
tuduhan. Ia dituduh sebagai pembelot dan merapuhkan sendi-sendi iman. Tetapi,
sebagaimana mata air yang jernih, Cak Nur tetap teguh pada suluh pikirannya. Ia
percaya, Islam yang sejati bukanlah Islam yang membangun dinding pemisah antara
dirinya dan dunia, melainkan Islam yang menjadi pelita bagi semua, dalam segala
zaman dan segala peradaban.
Kini, jejaknya tetap hidup, meski ia telah lama berlalu. Kata-katanya
masih bergema di antara lembar-lembar keilmuan, dalam perdebatan dan pencarian.
Dan sungai yang ia alirkan, tak akan pernah kering. Ia akan terus mengalir,
menjangkau mereka yang dahaga akan kebebasan berpikir, kejujuran beragama, dan
kelapangan jiwa dalam memahami hakikat Islam yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar