Oleh Mohamad Asrori Mulky
Pribumisasi Islam, sebagaimana digagas oleh
Abdurrahman Wahid—Gus Dur, adalah sulaman halus antara keyakinan dan kearifan
lokal, antara agama dan nusantara. Ia menempatkan Islam dalam pelukan budaya,
bukan sebagai arus yang menghanyutkan, melainkan sebagai sungai yang
menyuburkan tanah yang dilaluinya.
Dalam pandangannya, Islam bukan pedang yang
mencabik tradisi, tetapi cahaya yang menyinari tanpa menyilaukan. Ia membiarkan
agama ini berlayar di samudra kebudayaan, berbaur tanpa kehilangan jati diri,
meresapi tanpa menenggelamkan. Islam, dalam tafsirnya, adalah hikmah yang
menyesap dalam ruh kehidupan, menyatu dengan nafas bumi tempatnya berakar.
Gus Dur memahami Islam bukan sebagai ajaran
yang hadir untuk menggusur apa saja yang sebelumnya tumbuh subur, melainkan
untuk membaurkan antara prinsip-prinsip universal dengan nilai-nilai lokal.
Islam, baginya, bukanlah entitas asing yang mesti meniadakan kearifan
Nusantara, melainkan ia harus berakar dalam tanah peradaban yang telah lama
tumbuh.
Pribumisasi Islam adalah upaya
mengharmoniskan ajaran Islam dengan budaya lokal tanpa harus kehilangan esensi
dan substansi ajaran wahyu. Pribumisasi adalah jembatan yang menghubungkan pesan
langit dengan budaya yang ada di bumi. Ini bukanlah sinkretisme, bukan pula
akomodasi yang menggadaikan nilai-nilai tauhid, melainkan cara Islam hadir
sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Gus Dur membiarkan Islam bertumbuh dalam
kebudayaan tanpa tercerabut dari akar syariahnya, sebagaimana air yang mengisi
bejana sesuai dengan bentuknya. Islam yang tumbuh di tanah Arab tak serta-merta
bisa diterapkan secara kaku di bumi pertiwi, sebab Islam adalah ruh yang harus
menyatu dengan gerak zaman dan kehidupan.
Pribumisasi Islam bukan sekadar jargon,
melainkan dialektika panjang yang diperjuangkan Gus Dur dalam lintasan sejarah.
Ia menolak arabisasi yang membelenggu dan menolak puritanisme yang menafikan
keragaman. Baginya, Islam harus hadir sebagai spirit yang menyejukkan, bukan
palu godam yang menghancurkan khazanah kebangsaan.
Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di
Jombang, dari rahim keluarga ulama besar. Ia tumbuh dalam asuhan pesantren yang
mengajarkannya keluasan berpikir dan kebebasan jiwa. Ia melanglang buana ke
berbagai negeri, menyerap ilmu dari Timur dan Barat, hingga menjelma menjadi
cendekiawan yang melampaui sekat-sekat dogma.
Sebagai pemimpin, Gus Dur adalah oase di
tengah padang pasir politik yang kering oleh intrik. Dalam setiap tutur
katanya, ada kebijaksanaan yang menyerupai hujan yang menyuburkan nurani. Ia
membela kaum tertindas yang dipaksa oleh sistem dan keadaan, membela pluralisme
sebagai fakta dan sunatullah, dan memperjuangkan Islam sebagai jalan kasih,
bukan jalan pedang yang membabat sana sini.
Saat menjadi presiden, ia tetap menjadi
seorang resi yang berjalan di koridor kekuasaan tanpa kehilangan pijakan moral.
Ia dicerca, ditertawakan, bahkan dijatuhkan, tetapi tetap teguh dalam prinsip.
Baginya, Islam bukan alat untuk berkuasa, melainkan kendaraan menuju keadilan
dan kesejahteraan. Dalam prinsipnya, ia tidak perlu mempertahankan kekuasaan
bila harus menumpahkan darah sesama anak bangsa.
Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam
mendapat perhatian luas dari banyak intelektual, salah satunya Greg Barton.
Dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid,
Barton menyebut Gus Dur sebagai pemikir yang berani menantang ortodoksi Islam
konservatif dengan membawa Islam dalam kebudayaan yang lebih luas dan inklusif.
Baginya, Gus Dur adalah jembatan yang menghubungkan nilai-nilai tradisi Islam
dengan modernitas.
Barton menegaskan bahwa konsep pribumisasi
Islam adalah strategi yang menghindarkan Islam dari keterasingan di tanahnya
sendiri. Dengan cara ini, Islam tetap menjadi kekuatan spiritual dan sosial
tanpa terjebak dalam konservatisme yang kaku. Bahkan ketika awal kemunculannya
di tanah Arab, Islam mampu berbaur dengan budaya setempat.
Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa
pemikiran Gus Dur merupakan antitesis dari arabisasi yang cenderung
menghilangkan identitas lokal. Islam Nusantara yang diperjuangkan Gus Dur,
menurut Azra, adalah bentuk Islam yang sejati, yang mampu berdialog dengan
kebudayaan tanpa harus kehilangan substansinya. Arabisasi bukan spirit Islam
yang hakiki yang diperjuangkan baginda Nabi.
Seperti daun yang jatuh tidak pernah membenci
angin, Gus Dur telah meninggalkan kita dengan kebijaksanaan yang tak lekang
oleh waktu. Pemikirannya tentang pribumisasi Islam terus bersemayam dalam
sanubari bangsa, menjadi mercusuar bagi mereka yang mencari jalan tengah antara
iman dan tradisi.
Kini, meskipun jasadnya telah kembali ke
tanah, pikirannya tetap hidup, berdesir dalam angin, berpendar dalam cahaya.
Gus Dur bukan sekadar nama, ia adalah gagasan yang terus berdenyut dalam nadi
peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar