Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 04 Maret 2025

Gus Dur: Islam dalam Pelukan Nusantara


Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Pribumisasi Islam, sebagaimana digagas oleh Abdurrahman Wahid—Gus Dur, adalah sulaman halus antara keyakinan dan kearifan lokal, antara agama dan nusantara. Ia menempatkan Islam dalam pelukan budaya, bukan sebagai arus yang menghanyutkan, melainkan sebagai sungai yang menyuburkan tanah yang dilaluinya.

 

Dalam pandangannya, Islam bukan pedang yang mencabik tradisi, tetapi cahaya yang menyinari tanpa menyilaukan. Ia membiarkan agama ini berlayar di samudra kebudayaan, berbaur tanpa kehilangan jati diri, meresapi tanpa menenggelamkan. Islam, dalam tafsirnya, adalah hikmah yang menyesap dalam ruh kehidupan, menyatu dengan nafas bumi tempatnya berakar.

 

Gus Dur memahami Islam bukan sebagai ajaran yang hadir untuk menggusur apa saja yang sebelumnya tumbuh subur, melainkan untuk membaurkan antara prinsip-prinsip universal dengan nilai-nilai lokal. Islam, baginya, bukanlah entitas asing yang mesti meniadakan kearifan Nusantara, melainkan ia harus berakar dalam tanah peradaban yang telah lama tumbuh.

 

Pribumisasi Islam adalah upaya mengharmoniskan ajaran Islam dengan budaya lokal tanpa harus kehilangan esensi dan substansi ajaran wahyu. Pribumisasi adalah jembatan yang menghubungkan pesan langit dengan budaya yang ada di bumi. Ini bukanlah sinkretisme, bukan pula akomodasi yang menggadaikan nilai-nilai tauhid, melainkan cara Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.

 

Gus Dur membiarkan Islam bertumbuh dalam kebudayaan tanpa tercerabut dari akar syariahnya, sebagaimana air yang mengisi bejana sesuai dengan bentuknya. Islam yang tumbuh di tanah Arab tak serta-merta bisa diterapkan secara kaku di bumi pertiwi, sebab Islam adalah ruh yang harus menyatu dengan gerak zaman dan kehidupan.

 

Pribumisasi Islam bukan sekadar jargon, melainkan dialektika panjang yang diperjuangkan Gus Dur dalam lintasan sejarah. Ia menolak arabisasi yang membelenggu dan menolak puritanisme yang menafikan keragaman. Baginya, Islam harus hadir sebagai spirit yang menyejukkan, bukan palu godam yang menghancurkan khazanah kebangsaan.

 

Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, dari rahim keluarga ulama besar. Ia tumbuh dalam asuhan pesantren yang mengajarkannya keluasan berpikir dan kebebasan jiwa. Ia melanglang buana ke berbagai negeri, menyerap ilmu dari Timur dan Barat, hingga menjelma menjadi cendekiawan yang melampaui sekat-sekat dogma.

 

Sebagai pemimpin, Gus Dur adalah oase di tengah padang pasir politik yang kering oleh intrik. Dalam setiap tutur katanya, ada kebijaksanaan yang menyerupai hujan yang menyuburkan nurani. Ia membela kaum tertindas yang dipaksa oleh sistem dan keadaan, membela pluralisme sebagai fakta dan sunatullah, dan memperjuangkan Islam sebagai jalan kasih, bukan jalan pedang yang membabat sana sini.

 

Saat menjadi presiden, ia tetap menjadi seorang resi yang berjalan di koridor kekuasaan tanpa kehilangan pijakan moral. Ia dicerca, ditertawakan, bahkan dijatuhkan, tetapi tetap teguh dalam prinsip. Baginya, Islam bukan alat untuk berkuasa, melainkan kendaraan menuju keadilan dan kesejahteraan. Dalam prinsipnya, ia tidak perlu mempertahankan kekuasaan bila harus menumpahkan darah sesama anak bangsa.

 

Pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam mendapat perhatian luas dari banyak intelektual, salah satunya Greg Barton. Dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Barton menyebut Gus Dur sebagai pemikir yang berani menantang ortodoksi Islam konservatif dengan membawa Islam dalam kebudayaan yang lebih luas dan inklusif. Baginya, Gus Dur adalah jembatan yang menghubungkan nilai-nilai tradisi Islam dengan modernitas.

 

Barton menegaskan bahwa konsep pribumisasi Islam adalah strategi yang menghindarkan Islam dari keterasingan di tanahnya sendiri. Dengan cara ini, Islam tetap menjadi kekuatan spiritual dan sosial tanpa terjebak dalam konservatisme yang kaku. Bahkan ketika awal kemunculannya di tanah Arab, Islam mampu berbaur dengan budaya setempat.

 

Sementara itu, Azyumardi Azra menilai bahwa pemikiran Gus Dur merupakan antitesis dari arabisasi yang cenderung menghilangkan identitas lokal. Islam Nusantara yang diperjuangkan Gus Dur, menurut Azra, adalah bentuk Islam yang sejati, yang mampu berdialog dengan kebudayaan tanpa harus kehilangan substansinya. Arabisasi bukan spirit Islam yang hakiki yang diperjuangkan baginda Nabi.

 

Seperti daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, Gus Dur telah meninggalkan kita dengan kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu. Pemikirannya tentang pribumisasi Islam terus bersemayam dalam sanubari bangsa, menjadi mercusuar bagi mereka yang mencari jalan tengah antara iman dan tradisi.

 

Kini, meskipun jasadnya telah kembali ke tanah, pikirannya tetap hidup, berdesir dalam angin, berpendar dalam cahaya. Gus Dur bukan sekadar nama, ia adalah gagasan yang terus berdenyut dalam nadi peradaban.

Tidak ada komentar: