Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Selasa, 18 Februari 2025

Reformasi Abdullahi Ahmed An-Na’im: Meninjau Ulang Hukum Islam


Oleh Mohamad Asrori Mulky
 

Dalam diskursus panjang tak kunjung usai di kalangan akademisi dan pakar mengenai hubungan antara Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM), cendikiawan asal Sudan yang menetap di Amerika Serikat (AS) dan mengajar di Universitas Emory, Abdullahi Ahmed An-Na’im, tidak bisa dikesampingkan. Dia adalah pemikir Islam kontemporer yang punya pandangan progresif dan liberatif tentang tema tersebut.

 

Dalam karyanya yang berjudul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya Indonesia dengan judul Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, An-Na’im menggagas pentingnya reinterpretasi hukum Islam. Upaya ini  menurutnya agar hukum Islam lebih sesuai dengan prinsip-prinsip modern seperti kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan hukum internasional.

 

Dengan pandangan yang mendalam dan berani, ia mengusulkan reformasi Islam yang lebih humanis, mengedepankan keadilan sosial, dan tidak terjebak dalam dogma yang kaku. An-Na’im mengawali gagasannya dengan menyoroti bagaimana hukum Islam atau syariah yang dipraktikkan di banyak negara-negara Muslim saat ini masih bersumber dari interpretasi klasik yang berkembang dalam konteks sejarah tertentu. Menurutnya, hukum Islam perlu dibaca ulang agar dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualnya.

 

Dalam bukunya, An-Na’im menegaskan bahwa hukum yang berbasis agama seharusnya tidak dijadikan dasar kebijakan negara secara absolut, karena dapat memunculkan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas serta kaum perempuan. Bagi An-Na’im, Islam harus memberikan kebebasan kepada individu dalam menjalankan keyakinannya tanpa paksaan dari negara. Dengan melibatkan negara dalam proses penegakan hukum Islam akan mengerangkeng kebebasan warga negara, sehingga mereka terpasung dan tidak memiliki kemerdekaan.

 

Salah satu poin kontroversial dalam bukunya adalah kritiknya terhadap hukum pidana Islam tradisional. Ia berpendapat bahwa penerapan hukuman seperti rajam, potong tangan, dan qisas sudah tidak lagi relevan dalam dunia modern yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dalam pandangannya, Islam tidak boleh menjadi justifikasi untuk pelanggaran Hak Asasi Manusia atas nama tradisi. Oleh karena itu, ia mendorong umat Muslim untuk mengadopsi sistem hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.

 

Lebih jauh, An-Na’im mengusulkan bahwa Islam harus dipraktikkan berdasarkan persuasi, bukan paksaan. Ia menolak gagasan bahwa negara harus menegakkan hukum Islam secara legal-formal, karena menurutnya agama seharusnya hadir dalam kehidupan individu sebagai pilihan sadar, bukan kewajiban yang dipaksakan oleh otoritas negara. Hal ini menjadi landasan bagi gagasannya tentang pemisahan antara agama dan negara, meskipun ia tetap menekankan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi inspirasi dalam kehidupan sosial dan politik.

 

Gagasan-gagasan An-Na’im mendapat berbagai tanggapan dari para pemikir Islam kontemporer. Khaled Abou El Fadl, misalnya, melihat bahwa pendekatan An-Na’im memang menarik, tetapi tetap menghadapi tantangan besar dalam penerapannya, terutama karena banyak masyarakat Muslim masih melihat syariah sebagai hukum ilahi yang tidak bisa diubah. Abou El Fadl adalah cendikiawan asal Kuwait keturunan Mesir yang pakar dalam bidang hukum Islam, punya ambisi ingin membebaskan hukum Islam dari otoritarianisme yang dikendalikan otoritas terntentu, baik oleh kuasa negara maupun oleh kuasa ulama. Ini bisa kita simak dari karyanya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.

 

Selain Abou El Fadl, Mohammad Hashim Kamali, cendikiawan asal negeri konflik, Afghanistan, juga memberikan mengapresiasi tentanga apa yang sudah diupayakan An-Na’im dalam membangun jembatan antara Islam dan hak asasi manusia. Kendati begitu, Hashim Kamali menekankan bahwa reformasi Islam harus tetap berakar dalam Maqashid Syariah agar dapat diterima secara luas oleh umat Muslim. Dalam konteks kebebasan sipil dan hak-hak individu, Kamali berargumen bahwa Islam mengakui kebebasan beragama dan kebebasan berpikir, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al-Baqarah: 256).


 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan ini harus tetap berada dalam kerangka etika Islam dan tidak boleh digunakan untuk merusak tatanan sosial. Di sinilah letak perbedaan Hasani dengan An-Nai’m. Dalam soal ini, An-Na’im menekankan perlunya pemisahan agama dan negara, sementara Kamali lebih memilih pendekatan yang mempertahankan relevansi syariah dengan melakukan reinterpretasi hukum Islam dari dalam tradisi Islam itu sendiri, bukan dengan mengadopsi nilai-nilai sekuler. Ia mengkritik pendekatan yang mengesampingkan syariah secara keseluruhan dan justru menekankan perlunya reformasi hukum Islam yang tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip inti Islam.

 

Sementara itu, Amina Wadud yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan, asal Bethesda, Maryland, Amerika Serikat, menyambut baik ide kesetaraan gender yang dikedepankan An-Na’im. Amina Wadud adalah seorang pemikir feminis Muslim yang fokus pada kesetaraan gender dalam Islam. Pandangannya tentang hak asasi manusia dan kesetaraan perempuan berakar pada reinterpretasi teks-teks Islam, khususnya Al-Qur’an, dengan pendekatan yang lebih adil terhadap perempuan.

 

Menurut Wadud, selama ini tafsir Islam cenderung didominasi oleh laki-laki dan memiliki bias patriarki yang menghambat hak-hak perempuan. Dalam karyanya, seperti Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective, ia menegaskan bahwa Islam pada dasarnya mendukung kesetaraan gender, tetapi praktik dan interpretasi hukum Islam sering kali mencerminkan norma sosial yang patriarkal daripada nilai-nilai asli Islam. Ia berpendapat bahwa perempuan Muslim harus memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kepemimpinan keagamaan. Salah satu pandangan kontroversialnya adalah bahwa perempuan boleh menjadi imam salat berjamaah, termasuk untuk laki-laki.

 

Secara keseluruhan, Toward an Islamic Reformation adalah karya yang sangat berharga dalam perdebatan mengenai Islam dan modernitas, terutama mengenai isu Islam dan Hak Asasi Manusia. An-Na’im menawarkan pandangan yang tajam dan sistematis tentang bagaimana Islam dapat berkembang dalam dunia kontemporer tanpa kehilangan nilai-nilai fundamentalnya. Meskipun mendapat kritik dari berbagai kalangan, gagasannya tetap menjadi referensi utama bagi mereka yang tertarik pada diskusi mengenai Islam, hak asasi manusia, dan hukum internasional.

 

Buku ini bukan hanya sebuah kajian akademik, tetapi juga sebuah ajakan untuk berpikir ulang tentang bagaimana Islam dapat menjadi agama yang lebih inklusif dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman.

Tidak ada komentar: