Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Senin, 21 Oktober 2024

Menjadi Bangsa Pemberani

Senin, Oktober 21, 2024 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Kepemimpinan negeri ini boleh saja datang dan pergi silih berganti. Tetapi masa depan bangsanya tidak boleh mewarisi sifat penakut apalagi pengecut. Indonesia adalah bangsa pemberani yang gagah menghadapi setiap ancaman dan bahaya yang tiba di depan mata.

Spirit keberanian dan penuh optimisme ini disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai dilantik, Minggu (20/10/2024) lalu. Ia sepertinya ingin menularkan semangat tersebut kepada semua anak bangsa, terutama kepada mereka yang akan mendampinginya dalam lima tahun ke depan.

Sebagai mantan prajurit. Sikap patriotisme Prabowo kembali muncul. Seolah ia ingin menegaskan bahwa seorang patriot harus rela dan berani mengorbankan apa saja demi kemajuan dan kemakmuran tanah air yang dicintainya. Darah ptriotnya tiba-tiba saja deras mengalir, menyaksikan bangsanya, yang menurutnya, tidak memiliki keberanian.

Publik pun menaruh harapan besar di tengah gersangnya keberanian yang dimiliki pemimpin negeri ini. Semoga saja pidato yang berapi-api dan nada penuh heroik yang keluar dari lisan Prabowo itu mendapat pijakannya di dunia nyata. Tidak sekedar wacana dan permainan kata-kata semata.

Pemimpin baru punya semangat baru, harapan baru, dan agenda baru. Demikin pada umumnya  seorang pemimpin yang baru saja dilantik. Ia perlu mengeluarkan kalimat yang memberi optimisme untuk semua eleman bangsa yang akan dipimpinnya. Setiap kalimat yang terlontar harus menghidupkan darah para penakut agar lebih berdaya dan berguna bagi kepentingan bangsa.

Keberanian seorang pemimpin adalah mata air keteladanan, yang bila direguk akan membasahi dahaga jiwa-jiwa para penakut. Prabowo mengajak seluruh anak bangsa agar tidak memiliki sikap seperti burung unta, yang bila melihat sesuatu yang tidak enak langsung menjerembabkan kepalanya ke dalam tanah, alias penakut atau pengecut.

Berani bukan asal berani, tapi berani yang terukur dan penuh pertimbangan. Orang bijak mengatakan, bangsa yang besar tidak hanya diukur dari kekuatannya, tetapi juga dari keberaniannya untuk berdiri melawan ketidakadilan. Dan kekuatan yang sejati adalah keberanian mengakui dan mengoreksi kesalahan diri sendiri.

Ada banyak pemimpin negeri enggan mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya meski telah menyengsarakan masyarakat. Ia malah menutupinya dengan berbagai macam topeng kepalsuan. Apa yang ditampilkannya seolah mulia, demi, dan untuk kepentingan bersama. Padahal semunya itu penuh dengan kepura-puraan dan kemunafikan.

Hidup di dunia politik penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Serba berbalut topeng. Rakyat kerap dijadikan dalih dan alat propaganda. Seolah apa yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat. Padahal yang sebenarnya untuk mengantarkan seseorang duduk di kursi kekuasan.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, enggan terlibat dalam urusan politik yang serba kepura-puraan itu. Ia sempat berucap: “aku berlindung kepada Allah dari politik, dari kata politik, dari makna politik, dari setiap huruf yang terucap dari kata politik, dari setiap angan-angan yang terlintas dalam benakku tentang politik, dan dari setiap orang yang berbicara, belajar, menjadi gila, atau berpikir tentang politik”.

أعوذ بالله من السياسة, و من لفظ السياسة, و من معنى السياسة, و من كل حرف يلفظ من كلمة السياسة, و من كل خيال يخطر ببالي من السياسة, و من كل شخص يتكلم أو يتعلم, أو يجن أو يعقل فى السياسة.

Pesimisme Abduh seperti tergambar dalam kalimat di atas, tentu saja sangat beralasan. Yaitu ketika dunia politik hanya menjadi arena saling sikut, saling jegal, dan saling sandera. Bukan untuk memberi keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Lorong gelap politik yang disaksikan Abduh, ternyata masih menyimpan secercah cahaya di mata Prabowo. Lorong gelap itu akan ia singkirkan, dan menggantinya dengan cahaya keberanian. Keberanian itu, kata Mahatma Gandhi, adalah jalan menuju kebebasan. Dan Prabowo sepertinya menyadari hal itu. Semoga!!!

Minggu, 06 Oktober 2024

Dunia yang Dilipat

Minggu, Oktober 06, 2024 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Era digital dengan segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah membuat dunia mengalami transformasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini menciptakan apa yang sering disebut sebagai “dunia yang dilipat”, di mana interaksi sosial kita terjadi secara global dan dimungkinkan terhubung dengan orang-orang di seluruh dunia dalam waktu sekejap mata.


Arus deras informasi melalui dunia maya juga memudahkan kita mengakses segalanya dengan begitu cepat, bebas tanpa batas. Akibatnya perbedaan ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang. Seolah tidak ada lagi batas dan garis tegas yang memisahkan. Ruang dan waktu dilipat. Diringkas menjadi lebih efektif dan efisien.


Pelipatan waktu tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, membuat kita mudah melakukan banyak hal dalam satu waktu tindakan. Dahulu kita melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu. Kini, kita dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan; menyetir sambil menelepon, mendengarkan musik, makan dan sambil bicara.


Dunia yang dilipat muncul sebagai akibat dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi. Jarak ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya. Inilah pelipatan ruang dan waktu. Kecepatan pesawat mampu melipat jarak menjadi lebih singkat dan padat.Begitu juga dengan perkembangan telekomunikasi dan informasi membuat segala macam berita langsung dapat dinikmati tidak lama setelah peristiwa itu terjadi.


Kita mesti menyadari bahwa kita sekarang hidup seperti berada dalam “rumah kaca”yang begitu terbuka dan transparan. Dengan mata telanjang kita bisa menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Semuanya tersaji di hadapan mata dengan begitu jelas. Kita bisa mengintipnya kapan saja. Tapi kita juga bisa diintai oleh masyarakat dunia yang ada di seberang sana. Era digital membuat kita terasa begitu dekat sekaligus jauh. Membuat kita berdaya dan digdaya sekaligus terperdaya.


Era digital benar-benar mengubah cara kita hidup, bersikap, berinteraksi, belajar, dan berbagi pengetahuan. Dalam keadaan seperti ini, Islam, sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai universal, juga tidak luput dari pengaruh dan tantangan yang ditawarkan oleh teknologi mutakhir. Siapa yang tidak memiliki pertahanan kuat akan mudah terperdaya, tertipu, gampang termakan fitnah,adu domba, dan berita hoaks yang dapat menjerumuskan kita.


Akbar S. Ahmed, seorang antropolog dan pemikir terkemuka, dalam buku “Islam Today: A Short History of the Muslim World”, membahas berbagai isu kontemporer yang mungkin bisa dihadapi umat Muslim dewasa ini, termasuk di dalamnya dampak era digital. Dalam buku tersebut, dia memperingatkan bahwa dunia digital bisa menjadi tempat penyebaran ideologi ekstremis. Dia menekankan pentingnya umat Muslim untuk menciptakan narasi yang moderat dan toleran di tengah tantangan ini.


Dalam banyak kesempatan ideologi ekstremisme disusupi melalui media sosial sehingga dengan mudah memerangkap para target.Mereka mengalami indoktrinasi dan kemudian menjadi pendukung gerakan ISIS misalnya setelah membuka situs-situs jihad yang tersebar di media sosial. Era digital selain memberi keuntungan bagi manusia modern, juga menyimpan potensi kerusakan yang besar.

Rabu, 02 Oktober 2024

Nun A Wening Hyun

Rabu, Oktober 02, 2024 0


Namaku
Nun A Wening Hyun. Aku dilahirkan 3 Oktober 2023 lalu, melalui ayah yang berwatak bumi dan ibu yang bersifat air.Tapi aku bukan bumi dan juga bukan air. Bukan ayah dan juga bukan ibu. Aku adalah jelmaan dari keduanya.

Aku adalah Nun (نون), yang menurut Ibnu Arabi, menyimpan makna paling tersembunyi. Aku hanya dapat dipahami melalui pengalaman spiritual dan pemahaman yang mendalam. Aku bukanlah apa yang tampak. Dan apa yang tampak pada diriku berasal dari Yang Tak Tampak.


Wujud lahirku mudah dimengerti. Setiap muslim pernah menyebut namaku. Bahkan ketika aku belum dilahirkan, mereka telah mengejaku dengan cara seksama. Sebab aku adalah salah satu huruf hijaiyyah di antara Mim dan Waw.


Aku (Nun/ن) seperti bahtera Nuh yang menyelamatkan ribuan mahluk dari banjir bandang yang menenggelamkan sebagian isi bumi. Aku mampu menahan terjangan air bah dan gelombang laut yang siap melumat apa dan siapa saja.


Aku seperti tinta yang darinya dituliskan banyak ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Sebab aku disebut Tuhan bersama Qolam-Nya (ن و القلم وما يسطرون).


Aku adalah Wening, yang berarti hening dan bening. Dalam keadaan hening, pikiran akan terasa lebih bening dalam menilai, lebih jernih di saat memilah--clara et distincta dalam istilah Rene Descartes.


Wening itu ilmu mengheningkan diri dari segala hasrat duniawi,untuk membuka mata batin agar dapat menyaksikan keaguangan Gusti Allah Kang Amurba Jagat.


Wening itu perjalanan rohani tingkat tinggi yang dilakoni para raja, ningrat, ksatria, dan pendekar Jawa di masa silam. Fokusnya menyerap kekuatan positif dari semesta.


Aku adalah Hyun, yang berarti arif, budiman, dan bijaksana.Aku mencintai kebenaran. Tapi bukan kebenaran itu sendiri.Aku hanyalah sang pencari (kebenaran) yang tak akan pernah memperolehnya.


Setiap kebenaran yang dicari, kata Rumi,seperti menaiki anak tangga menuju langit tertinggi. Semakin kita jauh mendaki, menaiki tiap anak tangga, langit kebenaran itu semakin menjauh tak bertepi.


Kebenaran seperti cermin yang hancur berkeping-keping karena terlempar dari tangan Tuhan. Kita hanya mampu memungut sebagian kecil saja. Dan tak akan pernah mampu menyusunnya seperti sedia kala.


Aku adalah aku yang otonom (merdeka). Aku adalah anak yang punya tujuan hidup sendiri. Bukan sekedar perpanjangan orangtua. Meski aku dilahirkan melalui mereka. Aku bukan berasal dari mereka berdua. Aku punya hak atas kebebasan dan identitas yang aku pilih sendiri.


"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka datang melalui dirimu tetapi bukan dari dirimu. Meskipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu," kata Kahlil Gibran.


Ibarat anak panah yang melesat dari busurnya. Demikianlah anak yang meluncur mencari masa depannya sendiri.Dalam proses pencarian jati diri itu, anak dihadapkan pada lapisan realitas yang tidak semuanya mudah dilalui.


Kadang terpaan angin kehidupan itu begitu kencang hingga memaksaku memilih dimana aku harus berlabuh, padahal orangtuaku telah mengarahkanku pada tujuan hidup yang menurut mereka paling benar.


Orangtuaku selalu mengingatkan, bahwa betapapun kehidupan ini perih dan penuh dukha, hidup harus tetap berjalan. Aku harus haus darah segar. Aku harus lapar daya hidup.Sebab aku adalah Nun A Wening Hyun.

 

Selasa, 07 November 2023

Dendam yang Dipupuk di Reruntuhan Puing

Selasa, November 07, 2023 0
Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Rentetan tembakan di Gaza hingga kini terus menyala. Ribuan tubuh roboh, ambruk bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Terserak di sembarang tempat. Terhimpit di antara rerutuhan puing-puing dan bangunan.

 

Apa yang hendak didapat dari perang yang terlanjur digelar ini, kecuali kehancuran yang total dan keadaan rakyat yang kian rumit. Perang hanya menyisakah kecemasan yang membatin, luka yang mengarat, dan dendam yang kian menggumpal dalam dada.

 

“Tidak ada contoh negara yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan”, kata Sun Tzu (554 SM), panglima perang China yang kesohor, juga penulis buku The Art of War yang melegenda dari zaman ke zaman.

 

Bagi Sun Tzu, perang hanyalah kesia-siaan yang nyata, yang hadir di pelupuk mata kedua belah pihak. Para pelakunya harus melewati kengerian demi kengerian. Hidup mereka mencekam, penuh dengan teror dan horor, sebab nyawa kapan saja bisa tiba.

 

Dalam perang yang terlanjur digelar, apapun bentuk dan modelnya, apapun motif dan tujuannya, tak ada yang dimenangkan, tak ada yang diuntungkan. Yang didapat oleh mereka yang berseteru hanyalah kekalahan yang nyata, baik materi maupun non-materi.

 

Apa yang nampak dari kemenangan dalam sebuah pertempuran, tidak lain hanyalah kemenangan yang semu dan menipu. Merobohkan puluhan musuh dalam hitungan menit bahkan detik, tidaklah bisa dikatakan kemenangan yang hakiki. Sebab sebenarnya mereka sedang memupuk dendam di hati orang lain.

 

Saat para penduduk dari kalangan perempuan, manula dan anak-anak tak berdosa tewas tergelepar meregang nyawa. Boleh jadi bagi yang lain dianggap balas dendam yang tuntas. Tapi sesungguhnya mereka sedang memelihara kebengisan yang binal, yang disarangkan di dalam jiwa yang terdalam.

 

Kemenangan sejati adalah ketika musuh menyerah tanpa sebuah pertempuran, ketika ketegangan merenggang menjadi ketenteraman, ketika bara dendam padam dibasuh cinta dan kasih sayang. Kemenangan seperti itu tidak hanya milik satu pihak, tapi bisa juga dirasakan oleh kedua pihak.

 

Perang adalah nama lain dari diplomasi yang gagal. Fakta sebenarnya mereka tak mampu menciptakan tatanan dunia baru yang damai penuh persaudaraan. Untuk menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat tak perlu melewati desingan peluru atau harus menumpahkan darah manusia. Duduk bersama dalam satu meja dan mencita-citakan masa depan dunia yang lebih baik, jauh lebih bijaksana.

 

Perang Palestina dan Israel bukan perang yang baru saja terjadi, satu atau dua tahun belakangan. Tapi perang, yang dalam catatan sejarah, sudah tergelar dalam waktu yang cukup lama. Simon Sebag Montefiore dalam Jerusalem The Biography mengungkapkan, bahwa Palestina menyimpan banyak kisah tragis dari dulu hingga kini; perang, pemberontakan, pengkhianatan, intrik politik dan perebutan kekuasan.

 

Apa yang tersaji di Palestina saat ini sulit untuk diungkapkan. Nalar waras kita sulit menerima apa yang terjadi di sana. Lewat pemberitaan di sejumlah media kita disuguhkan aksi biadab yang dilakukan tentara Israel terhadap warga Palestina. Moralitas hilang. Nilai-nilai kemanusiaan tak berarti. Empati mati.

Siapa yang tega menyaksikan kengerian yang terjadi di Palestina, kecuali hati yang sakit, yang tak tersisa lagi empati walau setitik. Siapa yang tak pilu mendengar jerit tangis anak-anak yang kehilangan orangtua. Siapa yang tak pedih menyaksikan tumpukan mayat yang terkena tembakan dan terhimpit  di reruntuhan gedung dan bangunan.

 

Kita hanya bisa menghela nafas dalam-dalam seraya berdoa kepada Sang Pengatur Segala Takdir, agar bangsa Paletina segera dibebaskan, dijauhkan dari selaksa penderitaan. Palestina adalah negeri para nabi, dengan kemuliaan dan karomah mereka, semoga kebebasan, kedamaian, keamanan, dan ketenteraman cepat jadi kenyataan.

 

Saya tidak bisa membayangkan bila Israel terus menggempur warga Gaza. Maka yang terjadi adalah penderitaan yang kian bertambah. Saya tidak bisa membayangkan nasib anak-anak Palestina, yang saat ini masa depannya dipertaruhkan oleh keputusan orang-orang dewasa untuk menggelar perang.

 

Perang yang disulut orang dewasa telah memakan korban anak-anak yang tak berdosa, yang tak tahu apa itu perang. Saya teringat dengan adik kecil bernama Maran, imigran dari Afghanistan yang saya temui di Ciputat. Perang telah membwanya tiba di Indonesia. Di sini dia tidak sendiri. Bersama imigran lain dari negara-negara konflik, dia meminta pelukan kasih.

 

Beginilah derita manusia bila negaranya dirundung perang berkepanjangan. Masa depan anak-anaknya dipertaruhkan semata-mata untuk ego orang-orang dewasa. Perang memang tidak pernah melahirkan apa-apa, kecuali kecemasan yang membatin. Korbannya selalu menggumpalkan dendam dalam dadanya. Dan dendam itu akan terus dipelihara di antara reruntuhan puing dan bangunan.

Sabtu, 16 September 2023

Muhammad Abid Al Jabiri

Sabtu, September 16, 2023 0
Oleh Mohamad Asrori Mulky

Proyek kebangkitan Islam yang digagas para pembaharu generasi awal seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad 'Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Iqbal, Muhamma 'Ali Jinah, Muhammad 'Ali Pasha, dll, dianggap belum mengangkat martabat umat Islam. Islam masih terpuruk. Belum mampu keluar dari problem laten yang dihadapinya.

Keadaan umat Islam dulu dan kini masih diselimuti awan mendung. Begitu banyak kejadian, begitu banyak persoalan yang membebani pundak umat; sengkarut politik di negara-negara Islam masih kusut, perang saudara yang tak kunjung usai, fanatisme agama, korupsi yang terus bertambah, wajah pendidikan yang muram, distribusi keadilan yang belum merata, kebodohan, dan kemiskinan yang terus bertumbuh.

Belum lagi cara berpikir umat yang dogmatis, beku, dan anti-kritisisme. Semua itu menambah ‘pekerjaan rumah’ yang kian menumpuk dan harus dicarikan solusinya. Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Minds, mengajak umat Islam keluar dari keterbelakangan dan kebekuan berpikir dengan cara kembali kepada nalar kritis sembari membuka ruang kebebasan dan toleransi dalam keragaman.

Kesadaran ilmiah, berpikir kritis dan sikap inklusif terhadap keragaman, menurut Akyol, sudah lama hilang dari umat Islam. Dan itu bermula ketika teologi Asy’ariyah di hampir seluruh negara-negara Islam di dunia mendominasi dan dijadikan rujukan. Padahal teologi populer ini kurang menempatkan akal pada posisi yang terhormat. Akal masih dicurigai. Dan perannya dipinggirkan.

Maka, tidaklah heran bila para pembaharu generasi kedua seperti Mohamad Arkoun, Hassan Hanafi, ‘Ali Harb, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Zaki Najib Mahmud, Thayyib Tizini, ‘Ali Ahmad Said (Adonis), dan Muhammad ‘Abid Al Jabiri, lebih banyak mengarahkan proyek kebangkitan Islam pada kritik nalar. Kebudayaan Islam, demikian kata Nasr Hamid Abu Zayd, adalah kebudayaan teks. Islam akan menjadi teks yang mati bila akal dibiarkan tidak terlibat dalam memahami sebuah teks.

Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud mengulas pemikiran semua tokoh yang terlibat dalam proyek kebangkitan Islam generasi kedua. Ulasan singkat ini difokuskan membahas Muhammad ‘Abid Al Jabiri dan kritiknya terhadap epistemologi masyarakat Arab yang cenderung retoris (bayani) dan mistis (irfani).

Dalam proyek intelektualnya itu, Al Jabiri menawarkan sebuah pandangan kritis dengan menempatkan nalar demostratif (burhani), yang menurut Ibn Rusyd, kedudukannya lebih tinggi ketimbang dua nalar lainnya: bayani dan irfani. Al Jabiri menyadari kecenderungan nalar Arab yang berorientasi pada nalar bayani dan irfani itu perlu didekonstruksi dan memberikan tempat yang memadai untuk nalar burhani.

Dalam dunia pemikiran siapa yang tak mengenal Muhammad ‘Abid Al Jabiri. Dia adalah penulis prolifik asal Maroko. Ide pembaruannya banyak dirujuk anak-anak muda progresif di banyak belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dia merupakan seorang muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Di kalangan pemikir Arab, Al Jabiri memang dikenal sebagai seorang filosof kontemporer Arab yang memiliki ide-ide brilian dan mengagumkan.

Al Jabiri dilahirkan di Figuig, sebelah Selatan Maroko pada tahun 1936. Perhatiannya pada pemikiran Ibn Khaldun begitu intens dan mendalam. Gelar masternya diraih setelah menulis Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, Falsafah al Tarikh ‘inda Ibn Khaldun. Sementara gelar doktornya juga menulis tokoh yang sama, yakni Fikr Ibn Khaldun: Al ‘Asyabiyyah wa al Dawlah, Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al Tarikh al Islami.

Karir inteletualnya dimulai dengan menerbitkan buku Nahnu wa al Turâts pada tahun 1980. Disusul dua tahun kemudian dengan al Khitâb al ‘Arabi al Mu’âsir: Dirâsât Naqdiyyah Tahlîliyyah. Kedua buku tersebut sepertinya sengaja dipersiapkan Al Jabiri sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand projek intelektualnya, Naqd al ‘Aql al ‘Arabi (Kritik Nalar Arab). Inilah nanti di kemudian hari yang membedakan dirinya dengan Mohamad Arkoun (Naqd al ‘Aql al Islâmi).

Projek ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Untuk projek pemikiran ini Al Jabiri telah menerbitkan Takwin al ‘Aql al ‘Arabi, Bunyah al ‘Aql al ‘Arabi, al ‘Aql al Siyâsi al ‘Arabi, dan al ‘Aql al Akhlâq al ‘Arabiyyah: Dirasâh Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nuzum al Qiyâm fi Tsaqafah al ‘Arabiyyah.

Kritik atas Proyek Kebangkitan Islam

Melihat keadaan umat Islam yang masih terpuruk dan tertinggal, beku dan jumud dalam berpikir, Al Jabiri punya ambisi membangun sebuah epistemologi baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Sebuah epistemologi yang bisa mendukung kerja-kerja ilmiah, berpikir kritis dan anti dogmatisme. Sejauh ini, Al Jabiri memang tidak puas dengan proyek kebangkitan Islam yang telah dan sedang dilakukan para intelektual muslim.

Al Jabiri misalnya mengkritik usaha pembaruan yang telah dilakukan Muhammad Abduh. Bagi Al Jabiri, gerakan pembaruan Abduh masih jauh dari apa yang diharapkan. Al Jabiri mengakui keberhasilan Abduh dalam mengubah cara berpikir masyarakat muslim yang sebelumnya sangat kaku dalam melakukan inovasi-inovasi pemikiran dalam menjawab tantangan zamanya.

Abduh juga berhasil dalam memerangi khurafat dan taqlid serta mengembalikan prinsip ijtihad dalam kerangka pembaruan Islam. Namun demikian Jabiri menilai, pemikiran Abduh masih berkutat dalam paradigma lama. Konsep akal yang diagungkan Abduh dalam proyek pembaruannya masih berpusat pada konsep akal abad pertengahan, yaitu akal yang berputar-putar dalam tataran teosentris.

Semestinya akal manusia Arab kontemporer, meminjam pemikiran Hassan Hanafi, harus berpijak pada akal antroposentris. Yaitu akal yang berpusat pada manusia. Seluruh daya dan kemampuan akal harus diarahkan pada kebutuhan, kepentingan, dan kebaikan hidup manusia di dunia. Dan seluruh penjelasan Al Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya, saya kira, sejalan dengan apa yang diteorisasikan oleh Hassan Hanafi.

Kritik Nalar Arab Al Jabiri dengan tegas menyasar nalar Salafi. Dia mengkritik gerakan salafi, karena dalam penilaiannya kelompok ini tidak historis (la tarikhiyyah) dalam membaca turats atau tradisi. Hal demikian bisa diperhatikan dalam karyanya, Nahnu wa al Turats. Mereka kalangan Salafi, kata Al Jabiri, terlalu mengagungkan pencapaian masa silam Islam sehingga cenderung mengabaikan realitas empiris yang tengh dihadapi umat. Cara berpikir ahistoris seperti ini, justru akan makin menghambat Islam untuk maju dan perkembang.

Dalam urusan politik, kelompok Salafi ini mengidealkan sistem khilafah yang sebetulnya tidak lagi relevan diterapkan dalam konsep negara bangsa (nation state). Cita-cita mendirikan negara khilafah itu sangat utopis. Tidak masuk akal. Apalagi rujukannya realitas masa lalu Islam yang keadaannya jauh berbeda dengan problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini.

Di Indonesia sendiri, dan beberapa negara Islam di Timur Tengah, tidak menjadikan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Bukan karena sistem itu tidak lagi relevan. Tapi juga akan mendatangkan kesulitan bagi umat Islam, terutama soal penentuan kepemimpinan tunggal yang akan memimpin umat Islam dunia.

Cara berpikir ahistoris kelompok Salafi ini juga bisa kita lihat dalam menyikapi teks-teks keagamaan yang terlalu literal. Sementara untuk memahami sebuah teks tidak boleh meminggirkan sisi lain dari teks itu sendiri, yaitu konteksnya. Setiap teks pasti ada konteksnya. Melepaskan konteks dari teksnya secara sepihak akan mengaburkan makna dan signifikansinya secara sekaligus. Inilah yang tidak dikehendaki oleh Al Jabiri.

Al Jabiri juga tidak ragu mengkritik model pembaruan kelompok liberal yang secara membabibuta mengadopsi peradaban Barat untuk membangun peradaban umat ini. Kelompok liberal ini sangat terpukau dengan capaian peradaban Barat hingga mereka lupa jati diri mereka sendiri. Bagaimana mungkin, kata Al Jabiri, kita dapat mencangkok seluruh elemen yang datang dari Barat, sementara setting sejarah kedua komunitas ini sangat jauh berbeda. Apa yang baik dan cocok bagi Barat belum tentu revelan diterapkan di dunia Arab.

Kelompok liberal selalu berdalih bahwa keberhasilan Barat melakukan modernisasinya setelah berhasil melakukan pemutusan hubungan dengan masa pra-modern mereka sendiri. Andaikan pola pemutusan ini dilakukan oleh masyarakat Arab-Islam, kata Al Jabiri, maka yang menjadi pertanyaannya adalah periode sejarah mana yang harus diputuskan bangsa Arab sehingga mereka bisa maju seperti Barat. Padahal masa silam mereka tidak sama seperti sejarah masa lalu Barat, dan problem yang dihadapi bangsa Arab tidak sama dengan bangsa Eropa. Oleh sebab itu menurut Al Jabiri, tidak mungkin mengadopsi seluruh budaya Barat hanya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Arab.

Kritik atas Kritik

Menurut Al Jabiri, problem yang dihadapi bangsa Arab adalah salah satunya problem epistemologi. Untuk bisa keluar dari epistemologi bayani dan irfani yang kini mendominasi dan membatasi kreativitas akal, diperlukan epistemologi burhani yang kritis dan rasional. Model epistemologi burhani sebetulnya pernah dikembangkan dengan baik oleh Umat Islam terdahulu, terutama masyarakat Islam di Cordoba (Spanyol).

Adapun masyarakat Arab Islam yang hidup di bagian Timur, menurut Al Jabiri, lebih berpikir retoris (bayani) dan mistik (irfani). Demarkasi semacam ini sengaja dibuat Al Jabiri untuk memetakan model epistemologi yang cocok diterapkan bagi masyarakat Arab Islam saat ini. Al Jabiri mengelompokkan Ibn Sina, Al Farabi, Al Kindi, Al Ghazali, kedalam pemikiran filsafat Arab Islam bagian Timur. Sementara Ibn Rusyd, Ibn Thufayl, dan Ibn Khaldun masuk kedalam filosof rasional dari bagian Barat (Cordoba) yang dijadikan percontohan.

Secara tegas Al Jabiri mengklasifikasi pemikiran Arab Timur dalam kategori irrational (alla-ma’qul al dini), dan Arab Barat dalam kategori al ma’qul al dini. Al Jabiri menegaskan, untuk melihat pemikiran Islam berkembang dan maju seperti yang dicita-citakan, umat Islam, kata dia,  perlu melakukan apa yang disebut dengan al qati’ah al ibistimulujiyyah (epistemic rupture). Sebab keberhasilan Barat, kata Al Jabiri, dalam membangun pemikirannya dan mencapai kemajuannya disebabkan oleh keberhasilannya melakukan epistemic rupture ini.

Meski demikian, seluruh gagasan brilian dengan segala kritiknya terhadap kebudayaan Arab Islam, tidak lepas dari kritik. Tidak sedikit buku dan artikel dari kalangan kritikus dan intelektual yang secara tajam mengkritisi pemikiran Al Jabiri, terutama kajian epistemologinya sebagaimana disebutkan di atas. Di antara kritikus tajam yang mengkritik Al Jabiri adalah George Tarabisi dalam Nazariyyah al ‘Aql dan Wihdah al ‘Aql al ‘Arabi al Islami. Kedua buku tersebut merupakan rangkaian dari projek Tarabisi dalam Naqd Naqd al ‘Aql al ‘Arabi.

Dalam kritiknya, George Tarabisi menyebut kalau Al Jabiri bukanlah orang pertama pengusung proyek Kritik Akal Arab. George Tarabisi kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud di majalah Ruz al Yusuf yang terbit pada tahun 1977 dengan judul al ‘Aql al ‘Arabi Yatadahwar. Dari kajian yang dilakukan George Tarabisi secara intens dan mendalam, sampai pada kesimpulan bahwa ide Al Jabiri tidak orosinil dan bahkan secara implisit dia menyebut Al Jabiri telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas sumber itu dari orang lain.

Selain George Tarabisi, adalah Ali Harb pemikir asal Lebanon yang juga melakukan kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Jabiri. Menurut penulis Naqd al Nash (Ali Harb) ini, kajian turats Al Jabiri penuh dengan muatan ideologis, Arab Maghribi Centris, bahkan secara khusus Sunni Arab Maghribi Minded. Jadi menurut Ali Harb, Al Jabiri tidak lain adalah seorag ideolog, yang telah memiliki pola berpikir dan ideologi tertentu, yang kemudian dia gunakan untuk menelaah tradisi Islam.

Kritik dalam dunia pemikiran dan ilmu pengetahuan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab kritik itu, apapun bentuk dan wujudnya, selama masih dalam batasan konstruktif, bisa menjadi energi dan semangat ilmiah untuk terus dikembangkan. Karena itu, segala kritik ilmiah yang dialamatkan kepada Al Jabiri akan ‘menyehatkan’ masa peradaban Arab Islam di kemudian hari. Wallahu’alambisshawab.

Senin, 11 September 2023

Yang Terbuang Akibat Perang

Senin, September 11, 2023 0


Oleh Mohamad Asrori Mulky

Dalam perang yang terlanjur digelar, tak ada yang dimenangkan, tak ada yang dikalahkan. Bahkan ketika perang itu dirancang, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya telah menjadi budak nafsu yang beringas: tanpa empati, tanpa nurani.

 

Bagi yang kalah, tak ada yang tersisa selain kengerian yang mencekam, membayang bersama reruntuhan gedung dan bangunan. Sementara yang menang menyumbang kekacauan di dunia dan di hati mereka yang dikalahkan.

 

Begitulah derita manusia bila negaranya dirundung kecamuk perang; negerinya hancur, masa depan anak-anaknya dipertaruhkan untuk ego orang-orang dewasa. Perang tak melahirkan apa-apa, kecuali penderitaan, kecemasan, dan ketakutan yang membatin. 

 

Beberapa waktu lalu, saya menonton film Ode To My Father. Film ini menceritakan tentang perjuangan orang-orang yang ingin menyambung hidup akibat perang, tentang orang-orang mencari sanak saudara yang hilang terpisah oleh keganasan perang.

 

Perang tak memiliki mata. Siapa saja bisa menjadi korban; tua, remaja, bahkan balita. Perang tak memiliki nurani. Siapa saja bisa terusir dan terbuang. Dan inilah kisah tentang seorang penyair Mourid Barghouti yang terbuang jauh dari negerinya sendiri.

 

I Saw Ramallah (Akhirnya Kuklihat Ramallah) adalah sebuah memoar tentang orang yang terbuang akibat kecamuk perang. Novel yang ditulis Mourid Barghouti ini dipuji oleh Edward Said sebagai salah satu kisah eksistensial terbaik tentang pengungsian warga Palestina.

 

Inilah memoar yang didasarkan pada kepulangan penulisnya ke Ramallah untuk pertama kalinya pada tahun 1990-an setelah lebih dari tiga dekade berada di pengasingan. Kisah tentang perjalanan kembali pulang untuk melihat tanah kelahirannya.

 

Dalam novelnya ini, Mourid Barghouti menceritakan kondisi Palestina yang tertindas akibat pendudukan Israel. Begitu banyak warga Palestina merasakan kesengsaraan, terjajah, bahkan terpisah dari keluarga.

 

Sebagai novel yang mengisahkan perjalanan hidup penulisnya, yakni Mourid Barghouti sendiri, setiap kisah yang dia ceritakan begitu hidup namun pedih dan menyayat hati. Bagaimana misalnya Mourid Barghouti menggambarkan penderitaan orang-orang Palestina karena terpisah dari keluarganya, kehilangan rumah, harta, saudara, bahkan nyawa.

 

Mourid Barghouti memotret Palestina melalui pengalaman pribadinya, melalui pandangannya, melalui apa yang dia rasakan. Ia berusaha membuka mata dunia bahwa perang tidak menghasilkan apapun, melainkan penderitaan yang tak berkesudahan.

 

Menjadi orang yang terbuang dari negerinya sendiri cukup menyakitkan. Dan barangkali pengalaman Mourid Barghouti bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa perang hanya membuat kerusakan dan penderitaan. Bahwa hidup terpisah dari tanah tumpah darah sendiri begitu sulit dan menjadi pengalaman eksistensial yang menyakitkan.