Oleh Mohamad Asrori Mulky
Kepemimpinan negeri ini boleh saja datang dan pergi
silih berganti. Tetapi masa depan bangsanya tidak boleh mewarisi sifat penakut
apalagi pengecut. Indonesia adalah bangsa pemberani yang gagah menghadapi setiap
ancaman dan bahaya yang tiba di depan mata.
Spirit keberanian dan penuh optimisme ini disampaikan Presiden
Prabowo Subianto dalam pidato pertamanya usai dilantik, Minggu (20/10/2024)
lalu. Ia sepertinya ingin menularkan semangat tersebut kepada semua anak bangsa,
terutama kepada mereka yang akan mendampinginya dalam lima tahun ke depan.
Sebagai mantan prajurit. Sikap patriotisme Prabowo
kembali muncul. Seolah ia ingin menegaskan bahwa seorang patriot harus rela dan
berani mengorbankan apa saja demi kemajuan dan kemakmuran tanah air yang
dicintainya. Darah ptriotnya tiba-tiba saja deras mengalir, menyaksikan
bangsanya, yang menurutnya, tidak memiliki keberanian.
Publik pun menaruh harapan besar di tengah gersangnya
keberanian yang dimiliki pemimpin negeri ini. Semoga saja pidato yang berapi-api
dan nada penuh heroik yang keluar dari lisan Prabowo itu mendapat pijakannya di
dunia nyata. Tidak sekedar wacana dan permainan kata-kata semata.
Pemimpin baru punya semangat baru, harapan baru, dan
agenda baru. Demikin pada umumnya seorang
pemimpin yang baru saja dilantik. Ia perlu mengeluarkan kalimat yang memberi
optimisme untuk semua eleman bangsa yang akan dipimpinnya. Setiap kalimat yang terlontar harus menghidupkan darah para penakut agar lebih berdaya dan berguna bagi kepentingan bangsa.
Keberanian seorang pemimpin adalah mata air
keteladanan, yang bila direguk akan membasahi dahaga jiwa-jiwa para penakut. Prabowo
mengajak seluruh anak bangsa agar tidak memiliki sikap seperti burung unta,
yang bila melihat sesuatu yang tidak enak langsung menjerembabkan kepalanya ke
dalam tanah, alias penakut atau pengecut.
Berani bukan asal berani, tapi berani yang terukur dan
penuh pertimbangan. Orang bijak mengatakan, bangsa yang besar tidak hanya
diukur dari kekuatannya, tetapi juga dari keberaniannya untuk berdiri melawan
ketidakadilan. Dan kekuatan yang sejati adalah keberanian mengakui dan
mengoreksi kesalahan diri sendiri.
Ada banyak pemimpin negeri enggan mengakui kesalahan
yang pernah diperbuatnya meski telah menyengsarakan masyarakat. Ia malah
menutupinya dengan berbagai macam topeng kepalsuan. Apa yang ditampilkannya seolah
mulia, demi, dan untuk kepentingan bersama. Padahal semunya itu penuh dengan
kepura-puraan dan kemunafikan.
Hidup di dunia politik penuh dengan kepalsuan dan
kepura-puraan. Serba berbalut topeng. Rakyat kerap dijadikan dalih dan alat propaganda.
Seolah apa yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat. Padahal yang sebenarnya
untuk mengantarkan seseorang duduk di kursi kekuasan.
Itulah mengapa Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, enggan
terlibat dalam urusan politik yang serba kepura-puraan itu. Ia sempat berucap: “aku
berlindung kepada Allah dari politik, dari kata politik, dari makna politik,
dari setiap huruf yang terucap dari kata politik, dari setiap angan-angan yang
terlintas dalam benakku tentang politik, dan dari setiap orang yang berbicara,
belajar, menjadi gila, atau berpikir tentang politik”.
أعوذ بالله من السياسة, و من لفظ السياسة, و من معنى
السياسة, و من كل حرف يلفظ من كلمة السياسة, و من كل خيال يخطر ببالي من السياسة,
و من كل شخص يتكلم أو يتعلم, أو يجن أو يعقل فى السياسة.
Pesimisme Abduh seperti tergambar dalam kalimat di
atas, tentu saja sangat beralasan. Yaitu ketika dunia politik hanya menjadi
arena saling sikut, saling jegal, dan saling sandera. Bukan untuk memberi
keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Lorong gelap politik yang disaksikan Abduh, ternyata masih
menyimpan secercah cahaya di mata Prabowo. Lorong gelap itu akan ia singkirkan,
dan menggantinya dengan cahaya keberanian. Keberanian itu, kata Mahatma Gandhi,
adalah jalan menuju kebebasan. Dan Prabowo sepertinya menyadari hal itu.
Semoga!!!