Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Minggu, 27 April 2025

Pemikiran Liberal di Gurun yang Gersang




Oleh Mohamad Asrori Mulky

 

Ketika sinar modernitas mengintip di gurun yang gersang, Albert Hourani menulis Arab Thought in the Liberal Age (1798–1939), sebagai sebuah karya akademik yang banyak dirujuk para sarjana dunia. Buku ini seperti kidung panjang tentang kebangkitan kesadaran, elegi tentang pertarungan ide, dan madah tentang kegelisahan intelektual di tengah badai kolonialisme yang menghimpit dunia Arab.

 

Dalam risalah yang mewakili suara dari Timur itu, Hourani memanggil kembali nama-nama besar: Rifa‘ah al-Tahtawi, Khayr al-Din al-Tunisi, Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, hingga Thaha Husein. Risalah ini benar-benar menghidupkan ruh mereka yang berani melawan gelap dengan nyala pena, yang menulis dengan tinta hasrat pembebasan. Mereka bukan imitator Barat, bukan pula pengekor yang taklid buta, melainkan penjaga gerbang Timur yang menahan bengisnya gempuran kolonialisme.

 

Hourani tidak menempatkan dirinya sebagai hakim, tetapi sebagai penyair sejarah yang tahu bahwa kebenaran bukan monolit, melainkan cahaya yang memancar dari prisma zaman. Ia mendekati sejarah Arab dengan cinta seorang anak terhadap bahasa ibunya—penuh hormat, sabar, dan ingin mengerti, bukan menghakimi. Di tangannya, sejarah liberalisme Arab bukan hanya kronik, tapi drama ruhani yang membentangkan harapan dan upaya keras dalam menyeimbangkan iman dengan akal, tradisi dengan pembaruan, masa lalu dan masa kini, demi masa depan yang lebih baik.

 

Saat dunia membangun tembok tinggi antara Timur dan Barat, Hourani membentangkan jembatan yang bisa menghubungkan keduanya. Ia bukan sekadar peneliti Oriental, tapi anak Timur yang menemukan suara Timur di dalam hati Barat. Ia lahir dari jalinan identitas yang lembut dan kompleks—darah Lebanon mengalir dalam tubuhnya, namun matanya menatap dunia dengan kritisisme Barat—Hourani bukan sekadar pengamat, ia adalah penyaksi yang lembut terhadap pergolakan ruh dunia Arab.

 

Para Pembawa Lentera:

Dari Tahtawi Hingga Taha Husein

Dalam hamparan sejarah panjang dunia Arab yang penuh liku, ada beberapa tokoh pembaharu berjalan membawa lentera di tangannya. Mereka adalah para penyeru fajar yang menantang kegelapan zaman. Dari Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi hingga Taha Husein, terbentang sebuah jalan cahaya, jalan pembebasan akal dan penyucian jiwa, jalan di mana tradisi lama bertemu hasrat baru akan kebebasan dan pencerahan.

 

Rifa'ah al-Tahtawi (1801–1873), imam muda yang mengembara ke tanah Perancis, kembali dengan mata yang telah dicuci air kebangkitan. Ia menulis tentang "tanwir" — pencerahan — bukan hanya sebagai adopsi buta terhadap Barat, melainkan sebagai seruan untuk menggali kembali khazanah Islam sendiri dengan jiwa merdeka. Dalam Takhlis al-Ibriz, ia menulis seolah-olah membangunkan umatnya dari tidur panjang: bahwa ilmu pengetahuan, kebebasan berpikir, dan keadilan sosial adalah kewajiban syar'i, bukan pemberian asing.

 

Hourani melihat Tahtawi sebagai "pembuka gerbang" — seorang yang dengan lembut namun pasti memperkenalkan gagasan bahwa Islam dan modernitas tidaklah dua kutub yang berseteru, melainkan dua sungai yang bisa bertemu dalam samudera akal sehat dan nurani. Islam tidak menentang modernitas, malah menyambutnya dengan lapang dada. Bahkan, begitu banyak ayat-ayat Ilahiyah yang menyeru manusia untuk menggunakan daya nalar dan mendalami ilmu pengetahuan.


Lalu datang Jamal al-Din al-Afghani (1838–1897), api yang lebih liar dan menyala. Dengan retorika yang tajam, ia menyeru dunia Islam untuk tidak hanya bangkit, tetapi juga melawan. Dalam naskah-naskahnya yang penuh bara perlawanan, Afghani menuntut umat Islam untuk mengusung rasionalitas dan teknologi, menentang kolonialisme dengan bukan hanya pedang, tetapi juga pena dan pikiran yang merdeka sebagai senjata.

 

Maka, tidaklah heran bila sejarawan Nikki Keddie mencatat bahwa Afghani "adalah penggerak ideologis pertama dalam sejarah modern Islam" — sosok yang memahami bahwa pembaruan bukanlah imitasi, melainkan reaktualisasi ruh ijtihad yang telah lama dikubur. Gagasan Afghani tentang Pan-Islamisme membangkitkan hasrat umat Islam Dunia untuk bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan.

 

Kemudian, dari bara Afghani itu, lahir Muhammad Abduh (1849–1905), murid yang lebih bijak dan memiliki daya ledak yang lebih luas. Abduh bermimpi membangun sebuah dunia di mana agama dan akal saling bersenyawa; tidak bertentangan apalagi saling mengalahkan. Dalam Risalat al-Tawhid, Abduh mempertegas: iman sejati tidak bertentangan dengan nalar; malah, nalar adalah lentera bagi jalan iman. Ia merintis reformasi pendidikan, membersihkan aqidah dari kerak taklid buta yang membelenggu, dan menanam benih rasionalisme di jantung tradisi.

 

Seperti yang ditegaskan Malcolm Kerr, Abduh adalah "sang perantara" — antara Timur dan Barat, antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh kemungkinan. Ia bukan sekadar pembaharu; ia adalah penjaga jiwa Islam agar tetap hidup di tengah badai zaman. Abduh tidak sudi melihat umat Islam terperangkap dalam jurang fatalisme, pemahaman takdir yang psimistis, yang tak memiliki daya juang.

 

Dan di antara pengikut Abduh yang melanjutkan gagasan besarnya adalah Taha Husein (1889–1973). Ia memang buta, tapi melihat lebih dalam dari yang bermata. Dalam Fi al-Shi'r al-Jahili, ia meruntuhkan keangkuhan sejarah tradisional dan membuka jalan bagi kritik ilmiah yang bebas dari beban sakralitas palsu. Ia membayangkan Mesir — dan Arab — sebagai bagian dari peradaban dunia, bukan ghetto nostalgia.

 

Edward Said menyebut Taha Husein sebagai "pembebas teks" — sosok yang mengajarkan bahwa tradisi bukanlah rantai, melainkan ladang luas yang harus dibajak kembali dengan tangan berani. Ia menolak dikotomi palsu antara Timur dan Barat, seraya merangkul keduanya sebagai dua sisi dari pencarian manusia yang abadi akan makna.

 

Dari karya Hourani ini, kita bisa melihat sebuah perjalanan agung: dari cahaya kecil yang bergetar di tangan seorang alim muda, hingga api besar yang membakar belenggu pikiran kolektif. Mereka adalah para pembawa lentera — bukan untuk memadamkan malam, melainkan untuk menunjukkan bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada janji fajar yang menerangi lorong-lorong gelap dan sudut-sudut pengap. Dalam gema nama-nama mereka, kita mendengar bisikan abadi: bahwa kebangkitan bukan sekadar bangun dari tidur, tetapi berani menatap dunia dengan mata hati yang menyala.


Edward Said menyebut Hourani sebagai penjaga nurani Timur, dan Hamid Dabashi menyebutnya sebagai peziarah hikmah. Keduanya benar. Dalam Hourani, kita tidak membaca sejarah sebagai museum, tetapi sebagai taman dengan bunga yang bisa tumbuh kembali—jika kita cukup berani menyiraminya dengan pertanyaan.

 

Di tengah dunia Arab yang terus bergolak—dari harap Arab Spring yang gugur sebelum mekar, hingga reruntuhan Damaskus yang menyimpan sunyi berabad-abad—karya Hourani seperti jam tua di dinding masjid yang terus berdetak, mengingatkan kita bahwa waktu bukan musuh, tapi guru. Hourani tidak hanya menulis sejarah, ia mendoakan mereka yang hidup di dalamnya. Pemikir-pemikir liberal Arab dalam kisahnya bukan hanya nama dalam daftar pustaka, tetapi roh yang masih menunggu pembaca yang bersedia merasakan luka dan harapan sekaligus.

 

Dalam ketegangan antara iman dan akal, antara warisan dan kebaruan, Hourani menemukan kemungkinan: bahwa dunia Arab tidak mati dalam tradisi, dan tidak tenggelam dalam imitasi, tetapi bisa bangkit dengan akarnya sendiri, dan menjulang sebagai pohon yang bebas—berakar di bumi, tapi rindang di langit.

 

Selamat membaca!



Tidak ada komentar: