Ketika sinar
modernitas mengintip di gurun yang gersang, Albert Hourani menulis Arab
Thought in the Liberal Age (1798–1939), sebagai sebuah karya akademik yang banyak
dirujuk para sarjana dunia. Buku ini seperti kidung panjang tentang kebangkitan
kesadaran, elegi tentang pertarungan ide, dan madah tentang kegelisahan
intelektual di tengah badai kolonialisme yang menghimpit dunia Arab.
Dalam risalah
yang mewakili suara dari Timur itu, Hourani memanggil kembali nama-nama besar:
Rifa‘ah al-Tahtawi, Khayr al-Din al-Tunisi, Jamaluddin al Afghani, Muhammad
Abduh, hingga Thaha Husein. Risalah ini benar-benar menghidupkan ruh mereka
yang berani melawan gelap dengan nyala pena, yang menulis dengan tinta hasrat pembebasan.
Mereka bukan imitator Barat, bukan pula pengekor yang taklid buta, melainkan
penjaga gerbang Timur yang menahan bengisnya gempuran kolonialisme.
Hourani tidak menempatkan
dirinya sebagai hakim, tetapi sebagai penyair sejarah yang tahu bahwa kebenaran
bukan monolit, melainkan cahaya yang memancar dari prisma zaman. Ia mendekati
sejarah Arab dengan cinta seorang anak terhadap bahasa ibunya—penuh hormat,
sabar, dan ingin mengerti, bukan menghakimi. Di tangannya, sejarah liberalisme
Arab bukan hanya kronik, tapi drama ruhani yang membentangkan harapan dan upaya
keras dalam menyeimbangkan iman dengan akal, tradisi dengan pembaruan, masa lalu
dan masa kini, demi masa depan yang lebih baik.
Saat dunia membangun
tembok tinggi antara Timur dan Barat, Hourani membentangkan jembatan yang bisa menghubungkan
keduanya. Ia bukan sekadar peneliti Oriental, tapi anak Timur yang menemukan
suara Timur di dalam hati Barat. Ia lahir
dari jalinan identitas yang lembut dan kompleks—darah Lebanon mengalir dalam
tubuhnya, namun matanya menatap dunia dengan kritisisme Barat—Hourani bukan
sekadar pengamat, ia adalah penyaksi yang lembut terhadap pergolakan ruh dunia
Arab.
Para
Pembawa Lentera:
Dari
Tahtawi Hingga Taha Husein
Dalam hamparan sejarah panjang dunia Arab yang penuh liku, ada beberapa tokoh pembaharu berjalan membawa lentera di tangannya. Mereka adalah para penyeru fajar yang menantang kegelapan zaman. Dari Rifa'ah Rafi' al-Tahtawi hingga Taha Husein, terbentang sebuah jalan cahaya, jalan pembebasan akal dan penyucian jiwa, jalan di mana tradisi lama bertemu hasrat baru akan kebebasan dan pencerahan.
Rifa'ah
al-Tahtawi (1801–1873), imam muda yang mengembara ke tanah Perancis, kembali
dengan mata yang telah dicuci air kebangkitan. Ia menulis tentang
"tanwir" — pencerahan — bukan hanya sebagai adopsi buta terhadap
Barat, melainkan sebagai seruan untuk menggali kembali khazanah Islam sendiri
dengan jiwa merdeka. Dalam Takhlis al-Ibriz, ia menulis seolah-olah
membangunkan umatnya dari tidur panjang: bahwa ilmu pengetahuan, kebebasan
berpikir, dan keadilan sosial adalah kewajiban syar'i, bukan pemberian asing.
Hourani melihat
Tahtawi sebagai "pembuka gerbang" — seorang yang dengan lembut namun
pasti memperkenalkan gagasan bahwa Islam dan modernitas tidaklah dua kutub yang
berseteru, melainkan dua sungai yang bisa bertemu dalam samudera akal sehat dan
nurani. Islam tidak menentang modernitas, malah menyambutnya dengan lapang dada.
Bahkan, begitu banyak ayat-ayat Ilahiyah yang menyeru manusia untuk menggunakan
daya nalar dan mendalami ilmu pengetahuan.
Lalu datang Jamal
al-Din al-Afghani (1838–1897), api yang lebih liar dan menyala. Dengan retorika
yang tajam, ia menyeru dunia Islam untuk tidak hanya bangkit, tetapi juga
melawan. Dalam naskah-naskahnya yang penuh bara perlawanan, Afghani menuntut
umat Islam untuk mengusung rasionalitas dan teknologi, menentang kolonialisme
dengan bukan hanya pedang, tetapi juga pena dan pikiran yang merdeka sebagai senjata.
Maka, tidaklah heran
bila sejarawan Nikki Keddie mencatat bahwa Afghani "adalah penggerak
ideologis pertama dalam sejarah modern Islam" — sosok yang memahami
bahwa pembaruan bukanlah imitasi, melainkan reaktualisasi ruh ijtihad yang
telah lama dikubur. Gagasan Afghani tentang Pan-Islamisme membangkitkan hasrat umat
Islam Dunia untuk bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan.
Kemudian, dari
bara Afghani itu, lahir Muhammad Abduh (1849–1905), murid yang lebih bijak dan memiliki
daya ledak yang lebih luas. Abduh bermimpi membangun sebuah dunia di mana agama
dan akal saling bersenyawa; tidak bertentangan apalagi saling mengalahkan.
Dalam Risalat al-Tawhid, Abduh mempertegas: iman sejati tidak bertentangan
dengan nalar; malah, nalar adalah lentera bagi jalan iman. Ia merintis
reformasi pendidikan, membersihkan aqidah dari kerak taklid buta yang membelenggu,
dan menanam benih rasionalisme di jantung tradisi.
Seperti yang
ditegaskan Malcolm Kerr, Abduh adalah "sang perantara" — antara Timur
dan Barat, antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh kemungkinan.
Ia bukan sekadar pembaharu; ia adalah penjaga jiwa Islam agar tetap hidup di
tengah badai zaman. Abduh tidak sudi melihat umat Islam terperangkap dalam jurang
fatalisme, pemahaman takdir yang psimistis, yang tak memiliki daya juang.
Dan di antara pengikut
Abduh yang melanjutkan gagasan besarnya adalah Taha Husein (1889–1973). Ia memang
buta, tapi melihat lebih dalam dari yang bermata. Dalam Fi al-Shi'r
al-Jahili, ia meruntuhkan keangkuhan sejarah tradisional dan membuka jalan
bagi kritik ilmiah yang bebas dari beban sakralitas palsu. Ia membayangkan
Mesir — dan Arab — sebagai bagian dari peradaban dunia, bukan ghetto nostalgia.
Edward Said
menyebut Taha Husein sebagai "pembebas teks" — sosok yang mengajarkan
bahwa tradisi bukanlah rantai, melainkan ladang luas yang harus dibajak kembali
dengan tangan berani. Ia menolak dikotomi palsu antara Timur dan Barat, seraya
merangkul keduanya sebagai dua sisi dari pencarian manusia yang abadi akan
makna.
Dari karya Hourani
ini, kita bisa melihat sebuah perjalanan agung: dari cahaya kecil yang bergetar
di tangan seorang alim muda, hingga api besar yang membakar belenggu pikiran
kolektif. Mereka adalah para pembawa lentera — bukan untuk memadamkan malam,
melainkan untuk menunjukkan bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada janji
fajar yang menerangi lorong-lorong gelap dan sudut-sudut pengap. Dalam gema
nama-nama mereka, kita mendengar bisikan abadi: bahwa kebangkitan bukan sekadar
bangun dari tidur, tetapi berani menatap dunia dengan mata hati yang menyala.
Edward Said
menyebut Hourani sebagai penjaga nurani Timur, dan Hamid Dabashi menyebutnya
sebagai peziarah hikmah. Keduanya benar. Dalam Hourani, kita tidak membaca
sejarah sebagai museum, tetapi sebagai taman dengan bunga yang bisa tumbuh
kembali—jika kita cukup berani menyiraminya dengan pertanyaan.
Di tengah dunia
Arab yang terus bergolak—dari harap Arab Spring yang gugur sebelum mekar,
hingga reruntuhan Damaskus yang menyimpan sunyi berabad-abad—karya Hourani
seperti jam tua di dinding masjid yang terus berdetak, mengingatkan kita bahwa
waktu bukan musuh, tapi guru. Hourani tidak hanya menulis sejarah, ia mendoakan
mereka yang hidup di dalamnya. Pemikir-pemikir liberal Arab dalam kisahnya
bukan hanya nama dalam daftar pustaka, tetapi roh yang masih menunggu pembaca
yang bersedia merasakan luka dan harapan sekaligus.
Dalam
ketegangan antara iman dan akal, antara warisan dan kebaruan, Hourani menemukan
kemungkinan: bahwa dunia Arab tidak mati dalam tradisi, dan tidak tenggelam
dalam imitasi, tetapi bisa bangkit dengan akarnya sendiri, dan menjulang
sebagai pohon yang bebas—berakar di bumi, tapi rindang di langit.
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar