Mohamad Asrori Mulky

ketika cahaya bintang mengintip bayang-bayang sinar rembulan, kuketuk jendela rahasia malam yang tergurat di dedaun nasib. dan aku tak pernah mengerti di mana letak titik yang pasti....

Jumat, 12 September 2008

Agama Menjunjung Martabat Perempuan

Dimuat di Media Indonesia (Jum’at, 05 September 2008)

Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta


DALAM
karya agungnya, Fushus al-Hikam, Ibnu Arabi menjelaskan laki-laki dan perempuan diciptakan semartabat dan sederajat, sebagai manusia yang diciptakan secitra dengan Allah SWT. Allah tidak membedakan keduanya. Hanya keimanan dan takwanya yang menjadi kriteria penilaian-Nya. Karena itu, sejatinya, antara laki-laki dan perempuan bisa hidup saling memberi, mengasihi, dan melindungi, demi terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis di muka bumi ini.

Namun, bila kita amati dalam realitas sosial-kultural-agama, di antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang berujung pada tindak kekerasan, terutama terhadap perempuan. Isu perbedaan gender yang menguasai realitas sosial kultural kita sekarang ini menjadi bukti nyata dari ketidakharmonisan di antara keduanya. Ironisnya lagi, pembedaan itu telah banyak merugikan dan memojokkan pihak perempuan atas kondisi dan posisinya, baik di kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, agama dituduh sebagai arus utama yang menyebabkan perempuan itu menjadi tertindas. Benarkah demikian?

Di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan dengan berbagai bentuk dan manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah secara domestik (dalam rumah) maupun publik (dilakukan oleh masyarakat, agama, media massa, kekuatan ekonomi, politik, dan negara) kerap menjadi tontonan gratis yang membuat hati kita teriris sedih dan perih. Lalu, langkah apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana kita melakukannya?

Teologi Feminis
Sampai detik ini, agama sering dituduh sebagai biang keladi lahirnya kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Kaum agamawan, dari dulu hingga kini, dianggap telah menyalahtafsirkan doktrin, ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang cenderung meminggirkan peran perempuan dalam agama.

Kenapa perempuan tidak boleh menjadi imam? Mengapa pembagian harta warisan cenderung tidak adil (perempuan 1/4, sementara laki-laki 1/2)? dan kenapa dua saksi dari perempuan dianggap kurang akurat jika dibandingkan dengan laki-laki? Demikianlah pertanyaan yang sering dilontarkan kaum hawa.

Media Indonesia

Dalam pandangan teologis Abrahamic Religions (Kristen dan Islam) misalnya, kedua agama itu memiliki kisah yang sama mengenai Hawa, perempuan yang 'dituduh' sebagai sumber 'dosa asal' karena terbujuk iblis untuk memetik dan makan buah terlarang, dan kemudian memberikannya kepada Adam. Beberapa kalangan agamawan menganggap kisah itu sebagai peminggiran terhadap nasib perempuan. Bahkan, beberapa pihak menafsirkan tradisi Kristen dan Islam telah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada perempuan dalam 'doktrin dosa asal'-nya itu.

Pandangan seperti ini tentu saja sangat memojokkan pihak perempuan dan menjadikan mereka makin terisolasi. Secara substansial, agama, baik Kristen maupun Islam tidak sama sekali mengajarkan kekerasan dan penindasan pada perempuan. Justru agama pada dirinya ingin mengubah paradigma lama itu dan menggantinya dengan paradigma baru yang melihat kaitan antara perempuan dan agama secara lebih positif dan objektif. Dan kita sebagai umat beragama harus mendukung perubahan paradigma itu demi terwujudnya kehidupan perempuan yang lebih layak dan semestinya. Paling tidak, dari kandungan keprihatinan atas kekerasan terhadap perempuan, melahirkan gerakan aliansi yang berjuang mengembalikan martabat perempuan.

Dalam perspektif agama, gerakan aliansi ini mendapat tempatnya dalam teologi feminis sebagai teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan berorientasi pada refleksi-aksi demi pemerdekaan dan pembelaan terhadap harkat kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial yang tertindas oleh 'pemiskinan', demikian pula dengan teologi feminis. Teologi ini ingin mengembalikan harkat dan martabat perempuan pada posisinya sebagai manusia merdeka dan bermartabat.

Lebih jelasnya, bahwa secara khusus, teologi feminis menanggapi masalah-masalah kemiskinan dalam kaitannya dengan ketimpangan gender, diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan.

Agama dan Jaringan Pembebasan
Bila kita melihat kembali teks-teks utama agama (Alquran salah satunya), kita akan menemukan betapa perempuan mendapatkan perhatian dan perlindungan yang penuh dari agama. Dalam tradisi agama Islam, peran itu diakui secara istimewa dalam diri Maryam, ibunda Nabi Isa, yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama surah dalam Alquran (Surah Maryam). Bahkan, Maryam--atau Maria dalam agama Kristen--diakui juga sebagai sosok perempuan yang memiliki peranan penting dan istimewa.

Dalam posisi seperti itu, martabat perempuan di mata agama mendapatkan perhatian yang cukup istimewa dan diangkat ke tempat yang tinggi. Selain Maryam, dalam Alquran juga kita mengenal nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah peradaban Islam, seperti Khadijah, Aisyah, dan Fatimah Az-Zahra. Mereka diakui sebagai wanita yang perkasa, yang mampu memberikan segala hal untuk kebaikan dan perkembangan agama Islam.

Dalam sejarah perempuan dan agama di dunia Kristen misalnya, kita juga mengenal Bunda Theresa dari Calcutta, India. Dia merupakan simbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, di kalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman (dan agama) berhadapan dengan kekerasan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Dan, agama (Katolik) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, kekerasan, marginalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.

Sejatinya, kekerasan (terhadap perempuan) telah menjadi fenomena kontrabudaya. Oleh karena itu, sinergi antara agama dan perempuan dalam melawan kekerasan dapat menjadi gerakan kultural melawan kekerasan, bukan saja terhadap perempuan, melainkan juga terhadap martabat kemanusiaan manusia. Dalam konteks ini, kita mencita-citakan alangkah indahnya bila jaringan-jaringan yang membela perempuan terhadap kekerasan dapat bekerja sama dengan agama.

Kita mengenal tokoh-tokoh feminis muslim seperti Rif'at Hasan, Aminah Wadud, dan Fatimah Mernisi. Mereka mencoba menyinergikan antara agama dan jaringan pembebasan perempuan yang menjadi konsentrasi mereka hingga kini. Karena mereka meyakini, bahwa secara normatif, semua agama adalah antikekerasan. Maka, normativitas ini cukup menjadi alasan untuk jalinan kerja sama dengan jaringan-jaringan pembela perempuan yang ada. Seandainya dapat terjadi demikian, efektivitas dan efisiensi gerakan itu akan semakin kuat dan kokoh dalam melawan kekerasan terhadap perempuan dan kemanusiaan.

Tak hanya itu, sinergi antara agama dan jaringan pembela perempuan juga akan memaksimalkan usaha untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan gender. Penegakan keadilan gender dan pembelaan korban ketidakadilan gender akan semakin teberdayakan. Kesempatan ini harus kita optimalkan dengan sebaik-baiknya, terutama sekali oleh para kaum perempuan yang menginginkan kesetaraan dan keadilan dalam tata nilai kehidupan. Kaum perempuan harus mulai bangkit memperjuangkan dan membela hak-haknya yang selama ini terampas.

Bila kesempatan ini tidak segera kita raih, kapan kita akan mampu menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan, dan asah-asih-asuh keibuan? "Percayalah wahai perempuan, kelembutan dan kasih sayang adalah kekuatan yang kalian miliki. Maka gunakanlah kekuatan itu," kata Mohamad Iqbal.

Tidak ada komentar: